Bukti-bukti yang Konvergen

Penelitian oleh Dhani Irwanto, 4 September 2015
Kisah Atlantis berasal dari dialog Sokrates, “Timaios” dan “Kritias”, yang ditulis oleh Plato pada sekitar 360 SM. Dalam dialog tersebut, Plato menjelaskan bahwa Solon, satu dari tujuh orang bijak, seorang penyair Athena dan penata hukum yang terkenal, pernah ke Mesir dimana para pendeta bercerita tentang kisah Atlantis yang tertulis pada sebuah tugu didalam kuil mereka. Atlantis dikatakan sebagai sebuah “kisah nyata”, yang hancur, dalam sehari semalam, 9.000 tahun sebelum Solon atau sekitar 11.600 tahun lalu. Ini secara akurat bertepatan dengan bencana dahsyat pada akhir periode Dryas Muda.

Plato menyebutkan bahwa pulau Atlantis telah dilanda gempa dan banjir, dan kemudian berangsur-angsur terbenam kedalam laut. Dalam beberapa penjelasan lainnya, tersirat bahwa banjir tersebut datangnya dari laut, sehingga kemungkinan adalah sebuah tsunami. Plato tidak mengenal “tsunami” sehingga menyamakannya dengan “banjir”. Gempa dan tsunami sangat sering berkorelasi.

Pulau itu kemudian berangsur-angsur terbenam kedalam laut, yang berarti oleh kenaikan permukaan laut selama periode Pasca-glasial.

Solon, ketika sedang menulis puisinya, menanyakan arti dan pengetahuan nama-nama tersebut yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Mesir; saat menyalinnya lagi menerjemahkannya kedalam bahasa Yunani. Dengan demikian, nama-nama dalam cerita Solon ini telah dipinjam dari mitos Yunani agar orang-orang Athena dapat memahami.

Kisah Atlantis memiliki garis waktu sebagai berikut.
  1. Suatu waktu sebelum 10.000 tahun sebelum Solon, masyarakat “Athena” terbentuk.
  2. Suatu waktu sebelum 9.000 tahun sebelum Solon, masyarakat “Mesir” terbentuk.
  3. Sesaat sebelum 9.000 tahun sebelum Solon, wilayah dari “Libya” sampai “Mesir” dan “Tirenia” ditaklukkan oleh Atlantis.
  4. 9.000 tahun sebelum Solon, terjadi perang antara Atlantis dan “Athena”.
  5. 8.000 tahun sebelum Solon, orang-orang Mesir mencatat register sucinya.
  6. Antara 9.000 tahun sebelum Solon dan waktu Solon, terjadi berkali-kali banjir besar dan tenggelamnya daratan.
  7. Sekitar 600 SM, pendeta Mesir menceritakan kisah Atlantis kepada Solon.
  8. Sekitar 360 SM, Plato menulis “Timaios” dan “Kritias”.
Sejak tulisan pertama kisah Atlantis, yang ditulis oleh filsuf Yunani Plato lebih dari 2.300 tahun lalu, terus terjadi perdebatan serius apakah Atlantis pernah benar-benar ada atau tidak. Keberadaan Atlantis didukung oleh fakta yang dijelaskan secara sangat terinci oleh Plato. Selain itu, berbagai kondisi, peristiwa dan barang yang tidak diketahui oleh Plato juga dijelaskan dengan kata-kata yang rinci dan panjang. Plato sendiri menegaskan bahwa itu adalah kisah nyata.

Ada banyak lokasi yang diusulkan sebagai lokasi Atlantis. Salah satunya adalah di Sundalandia atau Indonesia.

Gagasan pertama tentang hubungan antara Atlantis dan Indonesia berasal dari seorang theosophist terkemuka, CW Leadbeater, dan Letnan-Gubernur Inggris di Jawa, Thomas Stamford Raffles, pada abad ke-19. Salah satu peneliti pertama Atlantis disana, pada pertengahan tahun 1990, adalah seorang polymath Amerika William Lauritzen. Konsep Atlantis Sundalandia telah diberi dorongan besar oleh penerbitan buku almarhum profesor Brasil Arysio Nunes dos Santos “Atlantis: Benua yang Hilang Akhirnya Ditemukan” pada tahun 2005.

Penggenangan prasejarah wilayah Sundalandia telah tercakup secara ekstensif oleh seorang dokter anak dan ahli genetika, Stephen Oppenheimer pada tahun 1998. Hipotesis atlantologi Sundalandia juga telah disisipkan oleh penelitian dari seorang ahli geologi dan geofisika, Robert M Schoch bersama-sama dengan Robert Aquinas McNally pada tahun 2003.

Contoh menarik lainnya tentang lokasi Atlantis ini adalah dari seorang ahli biologi molekuler Sunil Prasannan, yang telah berkontribusi pada sejumlah forum internet yang berkaitan dengan Atlantis. Zia Abbas dalam bukunya “Atlantis: The Final Solution” pada tahun 2002 mengklaim telah membuktikan bahwa Atlantisnya Plato dapat ditemukan di landas kontinen di Laut Tiongkok Selatan, yang dikenal dengan Sundalandia.

Pada tahun 2013, Danny Hilman Natawijaya dalam bukunya “Plato Tidak Bohong, Atlantis Ada di Indonesia”, menyatakan bahwa piramida Gunungpadang di provinsi Jawa Barat rupanya dibangun oleh orang-orang menjadi bentuk piramida sekitar 13.000 tahun lalu, adopsi Atlantis yang berada di yang sekarang Indonesia.

Graham Hancock mengusulkan asal usul berbagai karya arsitektural dan artistik di Sundalandia dalam masa sebelum bencana dahsyat sebagai lokasi Atlantis yang sebenarnya, dalam bukunya “Magicians of the Gods”, yang diterbitkan pada tahun 2015.

Dukungan lebih lanjut tentang Atlantis di Indonesia adalah dengan diterbitkannya sebuah buku, “Atlantis: Kota yang hilang ada di Laut Jawa” oleh Dhani Irwanto pada bulan April 2015. Ia berusaha mengidentifikasi ciri-ciri kota yang hilang dengan rincian didalam naskah Plato dengan sebuah lokasi di Laut Jawa di lepas pantai pulau Kalimantan.

Secara keseluruhan, Dhani Irwanto telah mengumpulkan 60 bukti yang konvergen untuk menyimpulkan bahwa Atlantis adalah sesuai dengan ciri-ciri Sundalandia, serta ibukotanya kemungkinan besar terletak di Laut Jawa.

1. Pada suatu tempat yang jauh di “Samudera Atlantik” (pemahaman Yunani kuno)
Timaios: 24e

Apa yang kita sebut sekarang dengan nama “Samudera Atlantik” tidak sama dengan yang dahulu. Herodotos, Aristoteles, Plato, Strabon dan beberapa penulis kuno lainnya dengan sangat spesifik menyebutkan bahwa “Samudera Atlantik” adalah keseluruhan “samudera yang mengelilingi bumi” dan saling menyambung, yang sekarang kita sengaja membaginya menjadi Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik.

Ungkapan “pada titik yang jauh di Samudera Atlantik” menyiratkan bahwa Atlantis berada jauh di samudera yang kita kenal sekarang dengan Samudera Hindia bagian timur atau Samudera Pasifik.

Plato diduga telah mewujudkan “Athena”sebagai bagian dalam kisah Atlantis. Dugaan perwujudan tersebut didukung oleh ungkapan-ungkapan sebagai berikut.

Negara Atlantis terletak pada titik yang jauh di Samudera Atlantik, dengan sendirinya menempatkan kota Athena di lokasi yang jauh pula karena kedua wilayah adalah berdekatan seperti yang dikisahkannya.

Atlantis dan “Athena” dibatasi oleh Tugu-tugu Herakles yang antara lain ditempatkan di sebuah selat yang disebut Selat Herakles. Kota Atlantis terletak didalam selat, yang berarti bahwa kota “Athena” berada di luar selat dan laut itu. Deskripsi geografis ini tidak sesuai dengan keberadaan Atlantis di sekitar Laut Mediterania.

Pernyataan bahwa “’Athena’ yang sebelumnya memiliki lahan yang luas dan subur, pada masa Solon telah tenggelam hampir seluruhnya dan yang tersisa hanyalah sebagian kecil yang berbatu-batu, dan hanya beberapa pohon yang tumbuh dan hampir seluruhnya terdiri dari tanah kosong sehingga air hujan hanya mengalir di atasnya saja dan kemudian hilang ke laut”, tidak menggambarkan kondisi kota Athena pada masa Solon.

Pernyataan bahwa kota “Athena” telah didirikan seribu tahun sebelum Mesir juga tidak sesuai.

2. Jalan menuju pulau-pulau lain
Timaios: 24e

3. Dapat mencapai benua di seberangnya yang meliputi samudera yang sebenarnya
Timaios: 24e

4. Lebih besar dari gabungan “Libya” dan “Asia” (Asia Kecil) (pemahaman Yunani kuno)
Timaios: 24e – Kritias: 108e

5. Bentang daratan seluruh negeri, di wilayah pada sisi samudera, adalah menjulang tinggi dan terjal.
Kritias: 118a

Permukaan laut pada masa Atlantis, sekitar 11.600 tahun yang lalu, adalah sekitar 60 meter dibawah permukaan laut sekarang.

Ungkapan Plato bahwa “Atlantis adalah jalan untuk menuju pulau-pulau lain, dan dari sana dapat mencapai ke benua di seberangnya yang meliputi samudera yang sebenarnya” dengan tepat menunjuk ke Sundalandia. Bepergian dari sana, seseorang dapat mencapai beberapa pulau seperti Nusatenggara, Sulawesi, Maluku, Mindanao dan Luzon, dan dapat mencapai benua di seberangnya, yaitu “Benua Sahul” yang besar gabungan Australia, Papua dan daratan yang menghubungkannya.

“Daratan Atlantis lebih besar dari Libya dan Asia Kecil” juga dengan tepat menegaskan ukurannya. Ungkapan bahwa “wilayah yang di sisi samudera dikatakan menjulang dan terjal” lebih lanjut menegaskan bahwa Sundalandia adalah lokasi Atlantis. Ungkapan “didalam selat dan di laut yang dikelilingi oleh benua tak berbatas” menegaskan lokasi ibukotanya.

6. Beriklim dua musim – “panas” (kemarau) dan “dingin” (hujan)
Kritias: 112d, 118e

7. Berlimpah air berkat curah hujan yang tinggi
Kritias: 111c

8. Iklim dengan suhu udara yang amat nyaman
Kritias: 111e, 112d

Dikatakan bahwa Atlantis memiliki “matahari di atasnya”, “manfaat dari curah hujan tahunan”, “kelimpahan air”, “iklim hangat yang sangat baik” dan “musim panas dan musim dingin”. Hal ini sangat mencirikan iklim tropis. Musim “panas” dan “dingin” mengacu pada musim “kemarau” dan “hujan”, dimana kata-kata tersebut tidak terdapat di Yunani kuno.

9. Tanahnya subur, terbaik untuk kayu-kayuan, pertanian dan peternakan
Kritias: 111e, 113c

10. Berlimpah makanan untuk setiap satwa, liar maupun jinak, untuk mempertahankan peradaban dan menciptakan angkatan perang (sekitar 20 juta orang)
Kritias: 111e, 118b, 118e, 119a

11. Keragaman flora dan fauna yang sangat luas
Kritias: 114e, 115a, 115b

Atlantis memiliki “tanah yang subur”, “kayu yang berlimpah”, “budidaya petani sejati”, “alam yang mulia”, “tanah yang terbaik di dunia”, “hewan yang berlimpah”, “kelapa”, “hasil bumi rempah-rempah” dan “dua kali panen setiap tahun”. Ini adalah ciri alam yang sebenarnya di wilayah Sundalandia. Kelimpahan makanan dan kayu yang dibutuhkan untuk mempertahankan lebih dari dua puluh juta penduduk, untuk membentuk lebih dari satu juta tentara dan untuk membangun lebih dari dua ratus kapal, yang tidak mungkin di bagian lain dunia dalam masa tersebut.

Plato juga menyebutkan bahwa “terdapat berbagai jenis satwa-satwa lain, baik yang hidup di danau-danau dan rawa-rawa dan sungai, dan juga yang hidup di pegunungan-pegunungan dan di dataran-dataran, dan terdapat satwa yang paling besar dan paling tamak.”

Spesies besar seperti harimau, badak, orangutan, gajah dan macan ada di wilayah tersebut, yang meliputi hampir seribu spesies mamalia yang mendiami wilayah ini. Selain itu, terdapat hampir seribu spesies burung dan lebih dari seribu spesies ikan.


12. Gajah, kuda, “banteng” dan lumba-lumba
Kritias: 114e, 116e, 117c to 117e, 119b, 119d sampai 120a

Dijelaskan bahwa “terdapat banyak gajah di Atlantis.”

Dua dari empat sub spesies gajah Asia terdapat di Indonesia dan Malaysia. Gajah Sumatera terdapat di pulau Sumatera, dan gajah Kalimantan di pulau Kalimantan. Gajah Jawa yang sekarang telah punah dan pernah menghuni Jawa adalah identik dengan gajah Kalimantan.

Plato menyebutkan bahwa terdapat kuda, untuk pacuan maupun untuk perang.

Berbagai jenis keturunan kuda asli Indonesia adalah pendek dan ramping, tetapi masih kuat dan kokoh, sehingga lebih cocok disebut poni daripada kuda. Kuda-kuda poni Indonesia telah terus-menerus disilangkan dengan darah tambahan, umumnya kuda Arab untuk meningkatkan kualitasnya, sehingga dapat diperkirakan bahwa aslinya adalah lebih ramping dan lebih pendek dari apa yang kita lihat sekarang.

Plato menjelaskan bahwa ada pengorbanan banyak banteng.

Banteng adalah satwa asli Asia Tenggara. Mereka telah dijinakkan di beberapa tempat, digunakan sebagai hewan pekerja dan untuk pedaging.

Apa yang dimaksud oleh Plato dengan “banteng” mungkin adalah kerbau, yang asli Asia Tenggara dan anak benua India.

Orang awam umumnya tidak bisa membedakan antara “banteng” dan “kerbau”. Plato tidak mengenal “kerbau” tetapi satwa yang menyerupai “banteng” karena hewan ini tidak terdapat di Yunani kuno dan sekitarnya.

Plato mengatakan bahwa ada seratus patung Dewi Laut yang mengendarai lumba-lumba.

Sebagian besar spesies lumba-lumba hidup di daerah dangkal di perairan tropis dan hangat, sehingga merupakan kondisi ideal untuk laut-laut setelah tenggelamnya Sundalandia, seperti Laut Jawa dan Laut Tiongkok Selatan.

13. “Buah” yang berkulit keras, menghasilkan air yang dapat diminum, daging dan minyak urap
Kritias: 115b

Plato menyebutkan bahwa terdapat “buah-buahan yang berkulit keras, menghasilkan air yang dapat diminum, daging dan minyak urap” di Atlantis. Buah-buahan ini tidak lain adalah kelapa.

Kelapa memiliki sejarah panjang dan dihormati di kalangan budaya di daerah Asia Tenggara, Asia Selatan dan Pasifik. Analisis DNA menunjukkan bahwa kelapa pertama kali dibudidayakan di kepulauan Asia Tenggara, yang berarti Filipina, Malaysia dan Indonesia, dan mungkin di daratan benua juga. Kelapa diperkenalkan ke Samudera Hindia beberapa ribu tahun yang lalu oleh Austronesia kuno yang membangun jalur perdagangan yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Madagaskar dan pesisir timur Afrika. Genetika kelapa juga memperlihatkan catatan jalur perdagangan prasejarah dan kolonisasi Amerika.

14. Hasil bumi  yang dibusukkan dengan dipelihara, untuk cuci mulut setelah makan malam
Kritias: 115b

Plato menyebutkan bahwa terdapat “hasil bumi yang dibusukkan dengan menjaganya, yang kita konsumsi setelah makan malam” di Atlantis. Ini bisa jadi adalah makanan tradisional terfermentasi yang dimakan sebagai makanan penutup, secara lokal dikenal sebagai tapai”.

“Tapai” adalah asli dan populer di seluruh Asia Tenggara. Berupa pasta alkohol yang manis atau asam dan dapat digunakan secara langsung sebagai makanan atau dalam pembuatan kue tradisional.

“Tapai” dapat dibuat dari berbagai sumber karbohidrat, tetapi biasanya dari singkong, beras putih atau beras ketan. Fermentasinya dilakukan melalui berbagai campuran dengan menambahkan sumber karbohidrat dengan mikroorganisme yang diperlukan dalam pengembangan awal, yang dikenal sebagai “ragi”. “Tapai” juga digunakan untuk membuat minuman beralkohol yang dikenal sebagai “arak” atau “brem”.

15. Akar-akaran, daun-daunan, kayu-kayuan dan esens disuling dari “buah” dan bunga
Kritias: 115a

Plato menyebutkan bahwa “terdapat akar-akaran, atau daun-daunan, atau kayu-kayuan, atau esens-esens yang disaring dari buah dan bunga.” Ini bisa jadi adalah ramuan herbal yang terbuat dari bahan-bahan alami, yang  dikenal sebagai “jamu”, atau campuran rempah-rempah penyedap makanan, yang dikenal sebagai “bumbu”.

16. Hasil bumi yang dibudidayakan, dikeringkan, untuk makanan dan lainnya, digunakan sebagai makanan pokok – nama umumnya “butiran curah”
Kritias: 115a

“Terdapat hasil bumi yang dibudidayakan, dikeringkan, memberikan makanan dan lainnya, digunakan sebagai makanan pokok – yang kita sebut secara umum dengan nama ‘butiran curah’.” Ini tiada lain adalah padi atau beras, yang menjadi makanan pokok wilayah ini.

17. Sejenis kastanye, yang memberikan kesenangan dan hiburan
Kritias: 115a

18. Semua hasil bumi itu menakjubkan dan dalam kelimpahan tak terbatas
Kritias: 115a

“Terdapat sejenis kastanye, yang memberikan kesenangan dan hiburan.” Ini bisa jadi adalah kopi, yang tumbuh baik di wilayah ini.

19. Emas
Kritias: 114e, 116c, 116d

20. Perak
Kritias: 114e, 116c, 116d, 116e

21. Timah
Kritias: 116b, 116c

22. “Kuningan”/”perunggu” (tembaga, timah dan seng)
Kritias: 116b, 116c

23. “Orichalcum”, mineral lebih berharga dari apa pun kecuali emas, gemerlap, berwarna merah
Kritias: 114e, 116c, 116d

24. “Orichalcum” digali dari bumi di banyak bagian daratan
Kritias: 114e

Atlantis memiliki kelimpahan mineral: emas, perak, tembaga, timah dan “orichalcum”. Ini juga ciri sejati alam di wilayah Asia Tenggara.

Apakah itu “orichalcum”?

“Orichalcum” tidak dikenal oleh orang Yunani, lebih berharga pada masa itu dari apa pun kecuali emas dan “gemerlap” dengan “cahaya merah”, atau “seperti api”.

Dhani Irwanto mengidentifikasi “orichalcum” sebagai zirkon karena memiliki ciri-ciri yang sama dengan deskripsinya. Produk zirkon adalah benar-benar berharga kedua setelah emas; memiliki kualitas batu permata dan dikenal sebagai berlian tiruan. Zirkon dapat diproses untuk menghasilkan warna-warna yang berbeda, yang merah dikenal dengan nama “hyacinth”. Setelah dipoles, sifatnya berkilau seperti berlian yang tidak dimiliki oleh logam, oleh karena itu Plato menggambarkannya dengan kata-kata “gemerlap” dan “bercahaya”, secara khusus. Tidak ada logam yang dikenal berbercahaya dan gemerlap dengan warna merah, atau seperti api, sehingga “orichalcum” bukanlah sebuah logam.

Ungkapan bahwa itu “digali dari bumi di banyak bagian daratan” adalah benar karena terdapat berlimpah di wilayah Kalimantan.

25. Di dekat dan di sekitar kota terdapat dataran yang rata.
Kritias: 118a

26. Datarannya halus dan tidak bergelombang.
Kritias: 118a

27. Datarannya dikelilingi oleh pegunungan yang menurun menuju laut.
Kritias: 118a

28. Datarannya mengarah ke selatan, terlindung dari utara.
Kritias: 118b

29. Datarannya dikelilingi oleh sederetan pegunungan besar dan kecil yang indah, dengan desa-desa dan rakyat yang makmur, sungai, rawa dan padang rumput.
Kritias: 118b

30. Pada datarannya terdapat berbagai macam kayu – berlimpah untuk setiap macam karya.
Kritias: 118b

Plato menjelaskan bahwa terdapat “sebuah dataran yang rata, halus dan tidak bergelombang, turun menuju laut”,“dikelilingi oleh sederetan pegunungan besar dan kecil yang indah”, “menghadap kearah selatan dan terlindung dari utara” dan “terdapat desa-desa dan rakyat yang makmur, sungai, danau dan padang rumput”.

Dhani Irwanto dalam bukunya menyatakan bahwa dataran yang memiliki ciri-ciri wilayah tersebut terdapat di Kalimantan sisi selatan dimana sebagian kini terendam dibawah Laut Jawa. Datarannya memiliki kemiringan yang sebagian besar kurang dari 1% menurun ke selatan menuju Laut Jawa dan tidak ada gundukan yang terlihat pada seluruh dataran. Menghadap ke sebelah selatan dan terlindung oleh Pegunungan Muller-Schwaner dan Meratus di sebelah utara, sebagian besar tertutup oleh hutan primer, dihuni oleh bermacam-macam satwa dan sebagai kediaman puluhan suku asli Dayak. Memiliki curah hujan yang tinggi dan suhu hangat sepanjang tahun, banyak sungai besar dan anak-anak sungainya sehingga sangat subur dan kaya sumberdaya makanan
dan kebutuhan sehari-hari.

31. Bentuk umum datarannya adalah persegi panjang dan lonjong.
Kritias: 118a, 118c

32. Datarannya membentang dalam arah memanjang 3.000 stadium (± 555 km), melintang 2.000 stadium (± 370 km).
Kritias: 118a

Plato menjelaskan bahwa dataran itu “berbentuk persegi dan lonjong, panjangnya 3.000 stadium atau sekitar 555 kilometer dan lebarnya 2.000 stadium atau sekitar 370 kilometer”. Bentuk dataran di wilayah Kalimantan bagian selatan dan Laut Jawa yang berdekatan adalah persegi panjang di sebelah selatan dan lonjong di sebelah utara, hampir persis panjangnya 555 kilometer dan lebarnya 370 kilometer.

33. Saluran keliling adalah luar biasa besarnya, tak diduga bahwa itu buatan.
Kritias: 118c

34. Saluran keliling dalamnya 100 kaki (± 30 m), lebarnya 1 stadium (± 185 m), panjangnya 10.000 stadium (± 1.850 km).
Kritias: 118c

35. Saluran keliling memperoleh aliran dari pegunungan.
Kritias: 118d

36. Saluran pedalaman adalah lurus, lebarnya sekitar 100 kaki (30 m), intervalnya sekitar 100 stadium (18,5 km) dan bermuara kedalam saluran keliling.
Kritias: 118d

Mengenai saluran air di dataran tersebut, Plato menjelaskan bahwa “saluran keliling dalamnya 100 kaki atau sekitar 30 meter, lebarnya 1 stadium atau sekitar 185 meter, panjangnya 10.000 stadium atau sekitar 1.850 kilometer, melingkari seluruh dataran, mendapatkan aliran dari pegunungan, berliku di sekitar dataran, bertemu di kota dan bermuara ke laut”.

Plato menggambarkan bahwa “saluran pedalaman adalah lurus,  lebarnya 100 kaki atau sekitar 30 meter, intervalnya 100 stadium atau sekitar 18,5 kilometer dan bermuara kedalam saluran keliling.”

Menurut Dhani Irwanto, ada saluran-saluran air yang sesuai dengan ciri-ciri tersebut. Sungai Barito, Kapuas-Murung, Kahayan dan Sebangau yang ada di wilayah itu diidentifikasi sebagai saluran-saluran tersebut. Mereka berasal dari Pegunungan Muller-Schwaner dan Meratus. Sungai-sungai ini lebarnya rata-rata sekitar 600 hingga 800 meter dan dalamnya 8 meter.

Banjir dan sedimentasi sungai di dataran yang sangat datar selama 11.600 tahun terakhir telah mengubah rezimnya. Pertukaran aliran dan orde diantara mereka mungkin juga telah terjadi. Namun, secara umum kelurusan dan orientasi sungainya masih dapat dilihat sampai saat ini, yaitu sejajar satu sama lain dan kearah utara-selatan.

Dengan menghitung kapasitas aliran,
yaitu luas × kecepatan, dan dengan asumsi kecepatan aliran yang sama karena kemiringan energi gravitasi yang sama, luas penampang aliran, yaitu lebar × kedalaman, seperti yang dijelaskan oleh Plato adalah sekitar 185 × 30 = 5.550 meter persegi. Sementara luas alirannya saat ini adalah luar biasa hampir tepat, 700 (rata-rata) × 8 = 5.600 meter persegi.

Jarak rata-rata sungai-sungai ini adalah sekitar 20 kilometer, dapat dianggap mendekati sekitar 18,5 kilometer yang dikatakan oleh Plato.

37. Terusan digali dari saluran pedalaman yang satu ke yang lain.
Kritias: 118e

Plato menyebutkan bahwa “terdapat terusan yang digali dari satu saluran pedalaman ke yang lainnya”.

Dengan mengamati peta kita dapat melihat berbagai terusan yang ada di wilayah tersebut, beberapa diantaranya dibangun atau direhabilitasi akhir-akhir ini. Terusan ini dikenal secara lokal dengan “anjir”, yaitu saluran yang menghubungkan dua sungai sebagai bagian jaringan transportasi.

38. Saluran pedalaman dan terusan digunakan untuk mengangkut kayu dan hasil bumi menggunakan kapal.
Kritias: 118e

Sebagian besar sungai-sungai di Kalimantan bagian selatan dapat dilayari. Semua sungai dan anak sungainya adalah merupakan jaringan sistem transportasi, menjadi sarana vital bagi masyarakat dan telah menjadi urat nadi ekonomi karena sebagian besar kegiatan ekonomi mereka dilakukan melalui dan di sungai sejak zaman kuno. Berbagai jenis hasil hutan, pertambangan dan pertanian diangkut ke tempat pengumpulan
atau pelabuhan melalui jaringan sungai.

39. Saluran irigasi menyadap dari saluran yang lain.
Kritias: 118e

40. Saluran irigasi mengairi lahan di “musim panas” (musim kemarau) sementara di “musim dingin” (musim hujan) mendapatkan air dari hujan, menghasilkan dua kali panen dalam setahun.
Kritias: 118e

Plato menyebutkan bahwa “terdapat saluran irigasi yang menyadap dari saluran lain untuk mengairi lahan di musim panas (musim kemarau) tetapi dari hujan di musim dingin (musim hujan)
menghasilkan dua kali panen dalam setahun”.

Praktek saat ini sistem irigasi rawa pasangsurut di Kalimantan bagian selatan secara tradisional dikenal dengan “sistem anjir” dimana saluran primernya disebut “anjir” atau “antasan” yang dibuat dengan menghubungkan dua sungai pasangsurut, juga digunakan sebagai keperluan navigasi. Saluran didalam lahan dibuat untuk mengairi dan menguras sawah dari dan kedalam “anjir”, yaitu: saluran sekunder yang disebut “handil” atau “tatah” dan saluran tersier disebut “saka”. Sewaktu air surut, saluran-saluran ini membuang air beracun dan pada saat pasang air tawar dialirkan kedalam saluran dan disampaikan ke sawah. Sistem ini menghasilkan dua kali panen padi dalam setahun.

Semua fakta ini benar-benar konsisten dengan ungkapan Plato.

41. Pulau kotanya ada di laut yang dikelilingi oleh benua tak terbatas, yang lainnya adalah samudera yang nyata.
Timaios: 25a

43. Kota itu terdapat didepan sebuah selat.
Timaios: 24e, 25a

44. Ada beberapa pulau di laut itu.
Timaios: 24e – Kritias: 114c

Plato menggambarkan bahwa “pulau ibukota dimana terdapat sebuah kota dengan benteng dan cincin perairan adalah ada di laut yang nyata didalam selat dan dikelilingi oleh benua tak berbatas”. Benua tak berbatas itu adalah Sundalandia yang tersambung dengan Benua Asia, dan satu-satunya laut yang dikelilingi olehnya pada masa itu adalah Laut Jawa kuno, menunjukkan bahwa pulau dan ibukotanya terletak di Laut Jawa.

44. Di dan di sekitar kota terdapat dataran dan semua saluran bertemu di kota dan bermuara ke laut.
Kritias: 118a, 118d

45. Sebuah bukit kecil (pulau pusat) dan sebuah dataran rata yang luas di dekat laut dapat dicapai dengan kapal dan perahu dari laut.
Kritias: 113c, 113e

Pernyataan bahwa “pulau itu terletak didekat dataran dan semua saluran bertemu di kota dan bermuara ke laut”, menunjukkan bahwa pulau itu terletak di sebelah selatan dataran, di suatu tempat yang sekarang terdapat dibawah Laut Jawa.

Lokasinya diidentifikasi oleh para pelaut sebagai Gosong Gia atau Annie Florence Reef, sebuah terumbu karang digambarkan berukuran kecil dan muncul ke permukaan saat laut surut.

Kota Atlantis adalah sebuah pulau dengan sebuah bukit kecil didekat pusatnya. Kota dan pulau ini sudah ada cukup lama dan dibangun oleh banyak raja. Memiliki cincin-cincin perairan dan lintasan dari laut menuju cincin terdalam. Mereka membuat jembatan diantara zona laut yang mengelilingi kota metropolitan kuno itu. Sebuah dinding batu dimulai dari laut dan mengelilinginya. Mereka menggunakan orichalcum, timah dan kuningan atau perunggu untuk melapisi dinding luar kota mereka.

Ada sebuah bukit, tidak terlalu tinggi, di dekat pusat pulau sentral. Di puncak bukit sentral, sebuah kuil dibangun untuk menghormati Poseidon, dimana terdapat patungnya yang sangat besar terbuat dari emas. Mereka membangun istana di tempat kediaman para dewa dan leluhur, yang terus diperindah oleh generasi-generasi setelahnya.

Di dermaganya terdapat kapal-kapal dan banyak perlengkapan angkatan laut.

46. Laut di ibukota Atlantis “sekarang” (waktu Solon) tidak dapat dilewati dan ditembus karena adanya “beting tanah liat” (terumbu karang), akibat “penurunan” pulau (kenaikan permukaan laut).
Timaios: 25d

47. Bekas kotanya sekarang berada dibawah laut.
Timaios: 25d

Ungkapan “karena suatu alasan, laut di bagian itu tidak dapat dilewati dan ditembus, karena ada sebuah beting lumpur, atau tanah liat, di tempat itu” menegaskan lokasinya. Terumbu karang adalah langka di Mediterania sehingga orang Yunani dan Mesir tidak memiliki istilah tersebut, maka Plato menuliskannya sebagai “beting lumpur, atau tanah liat”.

Terumbu karang tumbuh dengan baik di perairan yang hangat, dangkal, jernih, terang dan tidak tenang, dan pada permukaan keras dibawah laut, sehingga merupakan kondisi yang ideal di Laut Jawa. Hal ini ditegaskan lebih lanjut oleh ungkapan “yang disebabkan oleh penurunan pulau”, karena tumbuhnya terumbu karang disebabkan oleh kenaikan permukaan laut dalam periode glasial terakhir.

Permukaan laut terus naik sampai kira-kira 6.000 tahun lalu. Karang tumbuh pada permukaan keras. Bersamaan dengan sedimentasi dan proses lainnya.

Saat ini, terdapat terumbu karang yang disebut Gosong Gia atau Annie Florence Reef di Laut Jawa. Bagian atas terumbu terdapat kira-kira 10 meter dibawah permukaan laut rata-rata, dan dasar laut kira-kira 55 meter dibawah permukaan laut rata-rata. Struktur kotanya masih terlihat dari pola terumbu karang ini. Kedalaman laut di sini adalah persis sama dengan elevasi daratan sekitar 11.600 tahun lalu. Namun demikian, penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui apa yang ada di dalam terumbu karang itu.

48. Kotanya berada di seberang tugu batas, orang Yunani (kuno) menyebutnya “Tugu Herakles”.
Timaios: 24e, 25c – Kritias: 108e, 114b

Plato menyebutkan bahwa “perang dikatakan telah terjadi antara mereka yang tinggal diluar Tugu Herakles dan semua yang tinggal didalamnya”. Herakles adalah nama yang
dipinjam dari mitologi Yunani.

Apakah arti “Tugu Herakles” sebenarnya?

Pendeta Mesir mengatakan kepada Solon tentang batas teritorial antara Atlantis dan seterunya sebagai “yang oleh Anda disebut Tugu Herakles” untuk menggambarkan gerbang masuk atau tanda batas negara yang terletak di sebuah selat. Kata-kata “oleh Anda” bisa berarti bahwa penanda itu biasa dikenal oleh orang Athena tetapi bukan yang mereka maksud, atau dengan kata lain “seperti Tugu Herakles”. Seperti disebutkan sebelumnya, batas Atlantis tidak sesuai dengan wilayah di Mediterania. Selain itu, Solon meminjam istilah mitologi Yunani dalam kisahnya.

Penulis Yunani klasik sering merujuk tugu-tugu itu tanpa secara spesifik menyebutkan lokasinya. Penyair Pindar menyebutkan bahwa penanda batas tersebut adalah metafora batas pengetahuan geografi masyarakat Yunani, suatu batas yang tidak pernah statis. Tugu-tugu itu pada zaman dulu diidentifikasi sebagai Selat Sisilia, tetapi semenjak masa Erastosthenes, sekitar tahun 250 SM, metaforanya dipindahkan untuk merujuk pada Selat Gibraltar, yang mencerminkan perluasan pengetahuan maritim Yunani.

Dhani Irwanto berhipotesis bahwa tugu-tugu itu adalah monumen yang dibangun di tempat-tempat di gerbang atau tapal batas negara dan bisa dimana saja di tempat-tempat tertentu di sepanjang perbatasan. “Tugu” telah menjadi tradisi di Indonesia sampai sekarang untuk menandai batas atau gerbang masuk suatu wilayah. Tugu-tugu itu seringkali dihiasi dengan wajah batara Kala, yang banyak terdapat dimana-mana di Jawa dan Bali.

Akan dibahas kemudian bahwa batara Kala
adalah analog dengan Herakles di Yunani.

49. Mata air panas dan dingin
Kritias: 113e, 117a

50. Batu-batu berwarna putih, hitam dan merah
Kritias: 116a, 116b

51. Batuan dilubangi untuk atap galangan ganda
Kritias: 116a, 116b

Pulau Bawean di lepas pantai Laut Jawa merupakan purwarupa pulau Atlantis karena memiliki lingkungan, formasi geologi dan proses tektonik yang sama, serta letaknya berdekatan. Pulau Bawean dan Atlantis keduanya terletak pada sebuah busur geologi yang diidentifikasi oleh para ahli geologi sebagai Busur Bawean.

Dijelaskan bahwa “mereka memiliki mata air, yang satu dingin dan lainnya panas”. Terdapat beberapa sumber air panas dan dingin di Pulau Bawean yang dihasilkan oleh kegiatan tektonik di wilayah tersebut.

Deskripsi “batu-batu itu digali dari pulau pusat dan zona-zona, dengan warna putih, hitam dan merah” dan “dilubangi menjadi galangan ganda, yang memiliki atap terbentuk dari batuan asli” juga sesuai. Batu-batu itu rupanya mirip dengan batuan beku yang terdapat di Pulau Bawean. Yang putih bersifat asam, hitam abu-abu bersifat basa dan merah dari oksida besi. Batuan beku ini keras dan kuat memiliki kekuatan alam yang cukup untuk berdiri sebagai atap galangan yang dilubangi.

52. “Poseidon” (dewa laut atau air, penata hukum pertama, berkendaraan makhluk laut, dewa tertinggi di masa awal)
Kritias: 113c sampai 113e, 116c, 116d, 117b, 119c, 119d

Kerajaan Atlantis didirikan oleh dewa bernama Poseidon, dipinjam dari mitos Yunani. Daratan itu dibagi menjadi sepuluh bagian yang diberikan kepada anak-anaknya. Ada sebuah kuil suci yang didedikasikan untuk Poseidon dan istrinya, Kleitous di tengah benteng.

Poseidon adalah salah satu dari jajaran dua belas dewa Olimpus dalam mitologi Yunani. Kekuasaan utamanya adalah lautan, sehingga ia disebut “Dewa Laut”, yang mengendarai makhluk laut yang menyerupai kuda. Dalam karya-karya awal sastra Yunani kuno, Poseidon lebih banyak dikenal daripada Zeus dan dianggap sebagai dewa tertinggi, sebagaimana disebutkan dalam tablet Linear B dari Zaman Perunggu Yunani pra-Olimpus. Homer dalam “Iliad” menyebutnya sebagai pelindung kota masyarakat Helena.

Poseidon adalah analog dengan Nethuna dalam peradaban Etruska, sekitar abad ke-1 SM, yang juga disebut “Dewa Laut”. Dalam bahasa Latin, nama itu diubah menjadi Neptunus dalam mitologi Romawi. Neptunus digambarkan sebagai dewa yang mengendarai makhluk laut menyerupai kuda berekor naga dan bersenjatakan trisula, seperti Poseidon. Hal ini menunjukkan pengaruh mitologi Yunani yang kuat.

Plato menjelaskan bahwa sepuluh rajanya dikatakan memiliki kontrol mutlak warganya, dengan penegakan hukum yang diatur oleh perintah Poseidon yang telah diwariskannya.

Poseidon di Yunani adalah analog dengan dewa Baruna atau Waruna di kepulauan Nusantara yang dijuluki “Dewa Air”, penguasa laut dan samudera. Dalam mitologi pra-dharma, Baruna dianggap sebagai dewa tertinggi terhadap yang lainnya dan penata hukum yang pertama di dunia.

Baruna digambarkan mengendarai raksasa laut yang disebut Makara, dimana di bagian depan menyerupai binatang, dengan gigi dan taring besar, dan di bagian belakang menyerupai ekor naga raksasa, kadang-kadang berkaki. Dalam mitologi India, Makara digambarkan sebagai makhluk darat di separuh bagian depannya, seperti rusa, buaya atau gajah, dan makhluk air di separuh belakangnya, seperti ikan atau anjing laut, atau kadang-kadang ekor merak atau bunga.

Dari hal tersebut, Dhani Irwanto menyimpulkan bahwa Poseidon dan Baruna adalah analog, dibuktikan bahwa keduanya adalah dewa laut atau samudera, menjadi penata hukum pertama, merupakan dewa tertinggi di masa awal, dan mengendarai makhluk laut mitologi.

Selain beberapa nama lain, Kalimantan dikenal dengan nama Warunapura, yang artinya tanah dewa Baruna. Babad Jawa kuno “Nagarakretagama” menyebutkan sebuah negara kuno dalam lingkup pengaruh Majapahit yang disebut “BarunĂ©”, kemudian diidentifikasi sebagai “Barunai”, yang sekarang menjadi kerajaan Brunei. Sumber-sumber Eropa lebih lanjut dalam abad ke-16 menunjukkan nama pulau ini sebagai “BurnĂ©” oleh Antonio Pigafetta atau “Bornei” oleh Duarte Barbosa. Babad Tiongkok dinasti Song dan Ming menunjukkan nama “Boni”. Penjajah Belanda dan Inggris menamai pulau ini “Borneo”.

Ini adalah kesimpulan lain bahwa Kalimantan, atau Borneo, yang dulunya pulau dewa Baruna, adalah analog dengan pulau Poseidon, dan terkait dengan keberadaan Atlantis di wilayah tersebut.

53. “Herakles” (anak dewa tertinggi Zeus, kelahirannya tidak senonoh, memiliki selera yang tak terpuaskan, sangat kasar, brutal dan keras)
Timaios: 24e, 25c – Kritias: 108e, 114b

Herakles, atau diromanisasi menjadi Herkules, adalah putera dari perselingkuhan Zeus dengan wanita fana Alkmena. Zeus merayu dan bercinta dengan Alkmena setelah menyamar sebagai suaminya, Amphitryon, raja Theba. Zeus bersumpah bahwa anak berikutnya yang lahir dari rumah Perseides harus menjadi penguasa Yunani, tetapi oleh muslihat istri Zeus yang pencemburu, Hera, anak yang lain, Eurystheus yang sakit-sakitan, lahir lebih dulu dan menjadi raja. Ketika Herakles telah dewasa, ia harus mengabdi kepadanya dan juga menderita atas penganiayaan Hera yang pendendam. Selain kegilaan akibat Hera, Herakles memiliki karakter yang sangat brutal.

Herakles di Yunani adalah analog dengan batara Kala di kepulauan Nusantara. Kala adalah dewa alam gaib dalam mitologi Jawa dan Bali kuno.

Menurut legenda Jawa, Kala adalah putera Guru. Guru memiliki istri yang sangat cantik bernama Uma. Suatu hari Guru, dengan nafsu yang tidak terkendali, memperkosa Uma. Mereka melakukan hubungan seksual diatas Andini, seekor sapi suci. Perilaku ini mempermalukan Uma yang kemudian mengutuk Guru tapi Guru mengutuk kembali Uma sehingga berubah menjadi raksasa yang buruk dan menakutkan. Bentuk jahat Uma ini juga dikenal dalam mitologi Jawa sebagai Durgha. Dari hubungan ini, Kala dilahirkan dengan sosok seorang raksasa.

Kala digambarkan memiliki nafsu yang tak terpuaskan dan berperilaku sangat kasar. Ia dikirim oleh para dewa ke bumi untuk menghukum manusia atas kebiasaannya yang jahat. Namun, Kala hanya tertarik untuk memangsa manusia demi memuaskan nafsunya. Karena khawatir, para dewa kemudian memanggil kembali Kala dari bumi. Ia kemudian menjadi penguasa alam gaib.

Analogi Kala dan Herakles adalah bahwa masing-masing adalah putera seorang dewa tertinggi, baik Guru atau Zeus. Kelahiran mereka adalah secara tidak senonoh; Kala lahir dari nafsu tak terkendali Guru terhadap Uma sedangkan Herakles adalah dari perselingkuhan Zeus dengan Alkmena. Keduanya memiliki nafsu yang tak terpuaskan dan berperilaku sangat kasar, brutal dan penuh kekerasan sepanjang hidup mereka.

Dari dulu hingga sekarang, wajah Kala banyak terdapat di pintu masuk candi, tugu batas, tugu selamat datang, gerbang, pintu, relung, perabot, hiasan dinding dan alat musik tradisional; dimana-mana di Jawa dan Bali. Gambar serupa juga terdapat di rumah-rumah Dayak.

Seperti telah dibahas sebelumnya, tugu batas yang dihiasi dengan wajah Kala adalah analog dengan Tugu Herakles.

Selain itu, Zeus, ayah Herakles, dan Guru, ayah Kala, juga analog. Keduanya kemudian diangkat menjadi dewa tertinggi menggantikan baik Poseidon atau Baruna.

Perhatikan juga analogi dan kesamaan fonetik antara nama-nama, Kala dan Kleos, Guru dan Zeu, Uma dengan Alkmena, dan Durgha dengan Hera.

54. Pengorbanan “banteng”
Kritias: 119d sampai 120c

Plato menjelaskan bahwa dalam setiap lima atau enam tahun secara bergantian, raja-raja Atlantis berkumpul untuk membahas dan membuat pengaturan, diakhiri dengan pengorbanan banyak “banteng”.

Orang awam umumnya tidak bisa membedakan antara “banteng” dan “kerbau”. Plato tidak mengenal “kerbau” tetapi satwa yang menyerupai “banteng” karena hewan ini tidak terdapat di Yunani kuno dan sekitarnya.

Kerbau, juga disebut kerbau Asia atau kerbau Asiatis, adalah sapi-sapian besar yang asli Asia Tenggara dan anak benua India. Kerbau adalah salah satu satwa yang memiliki nilai ekonomi dan agama terbesar digunakan sebagai korban di Asia Tenggara, anak benua India dan Tiongkok selatan. Di daerah monsunal Asia ini, kerbau dipersembahkan kepada para dewa atau roh gaib, sebagai pengantar roh menuju dunia lain atau sebagai simbol zoomorfis leluhur.

Ciri rumah-rumah di Asia Tenggara adalah beratap seperti tanduk bercabang, yang dianggap sebagai simbol kerbau, dipandang di seluruh wilayah sebagai penghubung antara surga dan dunia ini.

55. Candi atau piramida
Kritias: 116c, 116d, 116e, 117c, 119c

Pembangunan piramida batu adalah didasarkan pada keyakinan asli bahwa gunung-gunung dan tempat-tempat tinggi lainnya adalah tempat tinggal arwah para leluhur, atau tempat ziarah yang paling ideal untuk memuja mereka.

Bentuk piramida yang paling sederhana adalah piramida undakan tanah dan batu yang biasanya dibangun di atas gundukan alami atau buatan, bukit atau lereng bukit. Biasanya ada tempat pemujaan dan/atau altar di bagian atasnya.

Budaya megalitik Austronesia di Nusantara memiliki bangunan piramida undakan tanah dan batu, yang disebut dengan “punden berundak”. “Punden berundak” dianggap sebagai salah satu ciri budaya asli Nusantara. Bangunan piramida ini terdapat dan tersebar di seluruh Asia Tenggara, kebanyakan terdapat di pulau Jawa.

Candi Borobudur yang megah adalah candi Budha terbesar di dunia, yang diduga dibangun diatas piramida berundak sebelumnya.

Candi Sukuh dan Cetho di Jawa Tengah, dimana usianya masih diperdebatkan, menunjukkan piramida undakan tanah dan batu asli Austronesia yang agak menyerupai piramida di Amerika Tengah.

Gunungpadang adalah situs megalitik yang terbesar dan tertua di Asia Tenggara berusia sekitar 25.000 tahun atau lebih tua.

Saat peradaban berkembang, mereka membangun piramida yang lebih besar sehingga dibutuhkan lebih banyak batu. Mayoritas beratnya lebih dekat ke tanah dan material yang lebih tinggi akan mendorong dari atas. Batu-batu itu dapat menimbulkan masalah pada kekuatan tanah untuk menahan beban. Oleh karena itu, piramida yang dibangun dengan banyak batu memiliki tanah yang lebih sedikit atau bahkan tanpa tanah.

Piramida telah dibangun oleh peradaban di banyak lokasi di seluruh dunia. Selama ribuan tahun, bangunan yang terbesar di Bumi adalah piramida. Mereka tersebar dari Mesir ke Amerika, yang terpisahkan satu sama lain oleh lautan dan konon tidak pernah menemukan keberadaannya satu sama lainnya. Tidak ada hubungan yang jelas antara berbagai peradaban yang membangunnya, namun kemiripannya menunjukkan bahwa mereka berasal dari asal usul yang sama.

Seperti yang dikatakan oleh Plato, kuil Poseidon dibangun di pulau pusat yang berupa sebuah bukit, dikelilingi oleh cincin-cincin perairan. Untuk mencapai kuil ini dari cincin perairan terdalam, undakan di lereng bukit pasti diperlukan. Hal ini bisa berarti bahwa kuil ini menyerupai bangunan piramida undakan tanah dan batu, sebuah ciri budaya asli Nusantara yang disebut dengan “punden berundak”.  Kuil ini juga menjadi tempat untuk memuja leluhur mereka.

56. Kegiatan maritim
Kritias: 114d, 115c to 116a, 117d, 117e, 119b

Plato menjelaskan bahwa saluran-saluran adalah sarana untuk mengangkut kayu dan hasil bumi dengan kapal. Mereka menurunkan kayu dari pegunungan ke kota, dan mengangkut hasil buminya dengan kapal. Saluran dan pelabuhan terbesar penuh dengan kapal dan pedagang yang berasal dari semua penjuru. Dermaganya penuh dengan kapal dan gudang angkatan laut. Mereka memiliki armada sebanyak 1200 kapal.

Kegiatan maritim adalah budaya khas Austronesia sejak zaman purba. Bukti yang paling awal diketahui ditemukan sebagai lukisan gua yang berusia 10.000 tahun atau lebih, yang sepenuhnya dihiasi oleh lukisan perahu layar. Teknologi berlayar jarak jauh di kawasan ini pastilah telah muncul jauh lebih awal, dengan penghunian Australia melalui Asia Tenggara sekitar 40.000 tahun lalu. Arkeolog telah mengungkapkan banyak bukti tentang jaringan maritim aktif di kawasan Asia Tenggara, yang menyebar ke seluruh Asia Tenggara dan sebagian besar Pasifik.

57. Peradaban maju pada zamannya
Timaios: 24e, 25a

Plato menggambarkan bahwa Atlantis adalah sebuah kerajaan besar dan megah yang memiliki kekuatan luas. Atlantis bisa dikatakan sebagai sebuah peradaban maju pada masanya, dan memiliki berbagai teknologi unggulan dibanding negara lain.

Piramida Gunungpadang di Jawa adalah struktur tertua yang diketahui dari jenis apapun di Bumi. Berumur setua 25.000 tahun, piramida itu menjadi bukti peradaban kuno yang maju. Mayoritas situs berundak itu adalah buatan manusia, dibangun dari generasi ke generasi dalam hitungan ribuan tahun.

Begitu banyaknya lukisan batu yang menggambarkan perahu layar di Asia Tenggara, yang berumur hingga 40.000 tahun, juga membuktikan bahwa teknologi semacam itu telah dikuasai sejak awal. Teknologi ini telah diwarisi oleh orang-orang Austronesia dan talasokrasi, atau kerajaan maritim, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Orang-orang Bugis dan Makassar dari pulau Sulawesi terkenal karena pembuatan kapal layar kayu yang disebut “pinisi”.

Kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara telah mengembangkan teknologi arsitektur bangunan batu yang canggih dalam pembangunan candi-candi. Ini termasuk Borobudur, Prambanan dan Angkor Wat yang megah, dan ratusan candi lainnya.

Di bidang pertanian, orang-orang di Asia Tenggara terkenal dengan budidaya dan teknik penanaman padi seperti terasering. Sistem irigasi dan pengelolaan air yang kompleks telah dikembangkan di Nusantara. Contoh yang luar biasa adalah Subak, sistem irigasi di Bali.

Dalam teknologi pangan, sebagian karena iklim tropis yang sarat akan berbagai mikroba, orang-orang di Asia Tenggara telah mengembangkan pengetahuan tradisional dalam teknik fermentasi, yang menghasilkan pengembangan makanan terfermentasi misalnya “tapai”, “tempe”, “oncom”, dan juga minuman seperti “brem” dan “tuak”.

58. Hancur 9.000 tahun sebelum Solon (sekitar 11.600 tahun lalu)
Timaios: 23e – Kritias: 108e, 111a

Plato menggambarkan bahwa Atlantis adalah sebuah kerajaan yang kuat dan maju yang hancur, dalam sehari semalam, 9.000 tahun sebelum Solon, atau sekitar 11.600 tahun lalu. Ini secara akurat bertepatan dengan bencana alam pada akhir periode Dryas Muda.

Pada akhir periode Dryas Muda, sekitar 11.600 tahun lalu, berat es yang bergeser ke lautan memicu retakan di kerak bumi untuk bergerak, yang menyebabkan bencana hebat. Gempa, letusan gunung berapi, gelombang besar dan banjir melanda budaya pesisir dan semua landas kontinental Sundalandia, dan menghapus banyak populasi. Saat laut mengamuk itu, terjadi migrasi massal orang-orang yang selamat dari benua yang tenggelam itu.

59. Gempa dan “banjir” dari laut (tsunami)
Timaios: 25c, 25d – Kritias: 108e, 111a, 112a

Plato menyebutkan bahwa pulau Atlantis telah dilanda gempa dan banjir, dalam sehari semalam. Dalam beberapa penjelasan lainnya, tersirat bahwa banjir tersebut datangnya dari laut, sehingga kemungkinan adalah sebuah tsunami. Plato tidak mengenal “tsunami” sehingga menyamakannya dengan “banjir”. Gempa dan tsunami sangat sering berkorelasi.

Gempa, tsunami dan letusan gunung berapi yang cukup besar sering terjadi di salah satu wilayah tektonik yang paling kompleks di bumi ini. Tsunami diketahui memiliki tinggi gelombang pasang yang dramatis, juga dapat diperbesar dan diperkuat tingginya di perairan yang dangkal dan dataran yang rata, dan dapat mengalami pantulan berulang-ulang didalam pelabuhan dan teluk.

Kita bisa beranggapan bahwa kehancuran Atlantis adalah antara lain disebabkan oleh tsunami di wilayah ini. Ini karena gelombang tsunami yang merambat di perairan dangkal, yaitu di Laut Jawa kuno, dan naik ke daratan pada dataran yang sangat rata. Laut Jawa kuno membentuk sebuah teluk, yang bisa menyebabkan gelombang menjadi lebih tinggi dan berkepanjangan, dan merusak.

60. Tenggelam tanpa henti (kenaikan permukaan laut pasca-glasial)
Timaios: 25d – Kritias: 111b, 111c

Plato menjelaskan bahwa daratan Atlantis dan “Athena” tenggelam tanpa henti sesudahnya. Hal ini sejalan dengan pengetahuan terkini tentang kenaikan permukaan laut pasca-glasial. Permukaan laut terus naik sampai sekitar 6.000 tahun lalu, menenggelamkan daratan serta dataran rendah di Sundalandia.

Kehancuran kota Atlantis dan ceritanya terkubur selamanya di bawah laut. Kemudian, diingat oleh orang-orang Mesir yang bermigrasi dari sana, dan menuliskannya dalam catatan suci mereka.


[1] Frase-frase atau nama-nama dalam tanda kutip, sedapat mungkin diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, seperti yang ditulis oleh Plato, baik terjemahan dari rujukan asli dalam Bahasa Yunani atau istilah yang tidak ditemukan dalam bahasa Yunani. Frase-frase dalam kurung adalah interpretasi oleh penulis.

***
Hak Cipta © 2015-2017, Dhani Irwanto 
Berdasarkan naskah asli Evidence in Hypothesized Location

3 komentar:

  1. hebat...analisis yang sangat scientific.....tidak terbantahkan....Selamat buat Pak Dhani Irwanto....selanjutnya Pemerintah daerah setempat...Pemprov Kalimantan Selatan dan Pemprov Jawa Timur menindak-lanjutinya untuk pencarian bukti dengan penyelaman, explorasi dan sebagainya, hasilnya bisa menjadi cagar budaya dan investasi dibidang Pariwisata.

    BalasHapus
  2. Mungkin bisa dihubungkan dengan naskah epik I laga ligo (epik terpanjang di dunia dari Indonesia) dimana di dalamnya banyak menceritakan mengenai aktifitas manusia pada masa lampau (sistem pertanian, obat-obatan, hasil bumi, konstruksi, dll). Di dalam naskah ini juga dibahas mengenai dewa-dewa termasuk batara guru. Bukan suatu kebetulan terdapat satu tokoh yang dibahas dalam 2 buah naskah yang berbeda. Mungkin dari sini kita bisa mendapat jawaban yang lebih rinci dan akurat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. La Galigo sedikit dibahas dalam artikel tentang Konsep Hyang.

      Hapus