Tanah Punt adalah Sumatera

Penelitian oleh Dhani Irwanto, 14 November 2015

Ringkasan

Tanah Punt adalah mitra dagang Mesir, dikenal memproduksi dan mengekspor emas, dupa, resin aromatik, kayu manis, kayu eboni, gading dan binatang. Daerah ini diketahui dari catatan ekspedisi perdagangan Mesir kuno. Orang Mesir terus berhubungan dagang dengan masyarakat Punt, sebagaimana tercatat dalam sejarah mereka dari Dinasti ke-4 sampai ke-26 (abad ke-27 – ke-6 SM). Ekspedisi Mesir ke Tanah Punt yang paling terkenal, dan sebagian besar informasinya diperoleh dari ekspedisi yang dilakukan oleh Dinasti ke-18, yaitu Ratu Hatshepsut (1473 – 1458 SM) dan tercatat secara terinci dalam relief pada dinding kuil penyimpanan mayat di Deir El-Bahari, Mesir.
Lokasi tepatnya Tanah Punt tidak diketahui, dan selama bertahun-tahun telah diperkirakan berada di Saudi, Tanduk Afrika, Somalia, Sudan atau Eritrea. Perdebatan terus berlangsung dimana Punt terletak, para ilmuwan dan sejarawan telah memberikan argumen masing-masing atas klaim mereka.
Setelah mengumpulkan banyak bukti antara lain seperti yang tercantum di bawah ini, penulis membuat hipotesis bahwa Tanah Punt terletak di Sumatera, Indonesia.

Pelayaran lautan
Perdagangan dengan Asia Tenggara 
Di wilayah tropis di Timur
Perdagangan maritim di Asia Tenggara
Rumah adat
Pohon pinang
Pohon dan getah kemenyan
Pohon eboni
Kayumanis
Kapur barus
Balsem         
Minyak pala
Sapi tanduk pendek
Kuda poni
Beruk
Badak bercula satu
Anjing
Macan tutul
Gading
Monyet
Penyu dan kura-kura
Ikan dan satwa laut
Logam mulia
Karakteristik penduduk
Bahasa tubuh
Nama tetua dan istrinya
Bawahan
Ikat kepala
Kalung
Gelang tangan dan kaki
Gelang-gelang penguat
Senjata (golok)
Topi berkabung
Orang Naga
Aksara/alfabet
Bahasa
Mitos dan legenda


Daftar Isi

Tanah Punt, disebut pula Pwenet atau Pwene (hieroglif Punt) oleh masyarakat Mesir kuno, adalah mitra dagang Mesir, diketahui memproduksi dan mengekspor emas, dupa, getah kering wewangian, kayumanis, kayu eboni, gading dan hewan-hewan. Daerah ini diketahui dari catatan ekspedisi perdagangan Mesir kuno. Beberapa sarjana Alkitab telah mengidentifikasikannya sebagai Put.
Penyebutan pertama tentang Tanah Punt berasal dari Kerajaan Lama Mesir. Seperti yang tertera pada Batu Palermo, sekitar 2500 SM pada masa pemerintahan Raja Sahure, sebuah ekspedisi ke Tanah Punt telah kembali dengan membawa ‘ntyw (ånti)) berjumlah 80.000 satuan, dimana para ilmuwan percaya bahwa itu adalah kemenyan. Berasal dari pohon dengan nama yang sama, kemenyan adalah getah kering yang digunakan untuk membuat dupa, yang diincar oleh orang-orang Mesir untuk digunakan dalam ritual-ritual di kuil; kemenyan adalah komoditas yang paling berharga yang berasal dari Tanah Punt. Ekspedisi Sahure juga membawa kembali 23.030 batang kayu – kayu adalah barang yang amat berharga untuk negara gurun seperti Mesir – dan 6.000 satuan electrum, sebuah paduan alami emas dan perak, diantara barang-barang lainnya. Fragmen dari dekorasi kuil penyimpanan jenazah raja di Abusir diinterpretasikan sebagai representasi penduduk Punt.
Orang-orang Mesir menyebut Tanah Punt sebagai Ta Netjer. Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai Tanah Dewata. Karena Ra, dewa matahari, merupakan bagian yang sangat penting dalam jajaran dewa-dewa di Mesir, sejarawan percaya bahwa Tanah Punt juga merupakan tempat tinggalnya para dewa karena lokasinya di sebelah timur Mesir, kearah matahari terbit. Nama tersebut juga dapat merujuk pada kayu unggul yang diimpor dari Tanah Punt, yang digunakan dalam pembangunan kuil-kuil di Mesir dan kemenyan serta bahan wewangian lainnya yang dibawa dari Tanah Punt dan digunakan secara luas dalam ritual keagamaan Mesir kuno.
Literatur lama (dan sastra non-mainstream saat ini) menyatakan bahwa sebutan “Tanah Dewata”, dapat ditafsirkan sebagai “tanah suci” atau “tanah para leluhur”, berarti bahwa orang Mesir kuno melihat Tanah Punt sebagai tanah leluhur mereka. WM Flinders Petrie percaya bahwa ras Dinasti Mesir berasal dari atau melalui Punt dan EA Wallis Budge menyatakan bahwa tradisi Mesir dalam periode Dinasti menunjukkan bahwa tanah asli orang Mesir adalah Tanah Punt.
Lokasi tepatnya Tanah Punt sampai saat ini tidak diketahui, dan selama bertahun-tahun telah diperkirakan berada di Saudi, Tanduk Afrika, Somalia, Sudan atau Eritrea. Perdebatan terus berlangsung dimana Tanah Punt terletak, para ilmuwan dan sejarawan telah memberikan argumen masing-masing atas klaim mereka.
Sebuah relief pada masa Dinasti ke-4 menggambarkan orang-orang Punt bersama dengan salah satu putra Firaun Khufu, dan didalam sebuah dokumen pada masa Dinasti ke-5 disebutkan adanya perdagangan reguler antara kedua negara. Diantara berbagai macam barang berharga yang dibawa ke Mesir dari Tanah Punt adalah emas, kayu eboni, hewan liar, kulit binatang, gading, tempurung kura-kura, rempah-rempah, kayu berharga, kosmetik, dupa dan pohon kemenyan. Akar pohon kemenyan yang dibawa dari Punt dalam ekspedisi Hatshepsut tahun 1493 SM masih bisa dilihat diluar kompleks Deir el-Bahari.
Pada masa Dinasti ke-12, Tanah Punt diabadikan dalam literatur Mesir yang dikenal dengan Tale of the Shipwrecked Sailor (“Kisah Pelaut yang Terdampar”) dimana seorang pelaut Mesir bertemu dengan “naga agung” yang menyebut dirinya “raja Punt” dan mengirimkan pelaut tersebut kembali ke Mesir dengan membawa emas, rempah-rempah dan hewan yang berharga. Mungkin karena kisah ini, Tanah Punt menjadi lebih dianggap sebagai tanah semi-mitos bagi orang-orang Mesir, dan setelah ekspedisi Hatshepsut, tidak ada tulisan yang ditulis dengan cara yang faktual. Tanah Punt menjadi daya tarik yang mengagumkan bagi orang-orang Mesir sebagai “tanah yang kaya” dan dikenal sebagai Ta Netjer, Tanah Dewata darimana semua hal yang baik datang ke Mesir. Tanah Punt juga dikaitkan dengan nenek moyang orang-orang Mesir apabila dilihat bahwa mereka melihatnya sebagai tanah air kuno mereka, dan terlebih lagi tanah dimana para dewa tinggal. Persisnya mengapa Tanah Punt berubah dari realitas ke mitologi tidak diketahui, tetapi setelah Dinasti ke-18, Tanah Punt lama kelamaan menghilang dari ingatan orang Mesir dan kemudian masuk kedalam legenda dan cerita rakyat.
Bukti paling kuat tentang Tanah Punt berasal dari sebuah kuil yang didedikasikan untuk firaun wanita Hatshepsut, dari Dinasti Mesir ke-18, yang memerintah selama lebih dari 20 tahun mulai sekitar tahun 1465 SM. Relief-relief mengenai misi perdagangan ke Tanah Punt terdapat pada dinding kuil tersebut, yang terkenal sebagai ekspedisi Ratu Hatshepsut pada 1493 SM, yang membawa kembali pohon hidup ke Mesir dan menandai keberhasilan pertama upaya pembudidayaan flora dan fauna asing. Diketahui pula nama-nama tetua Tanah Punt selama pemerintahan Hatshepsut: Parehu dan istrinya, Ati. Relief pada dinding kuil tersebut menunjukkan tetua masyarakat Tanah Punt dan istrinya menerima utusan dari Mesir. Dari deskripsi yang masih terbaca, Tanah Punt adalah sebuah masyarakat yang damai dan makmur, dan tampaknya memiliki berbagai macam barang perdagangan yang sangat berharga.

Ekspedisi-ekspedisi Mesir ke Tanah Punt

Catatan paling awal tentang ekspedisi Mesir ke Tanah Punt adalah yang dilakukan oleh Firaun Sahure dari Dinasti ke-5 (abad ke-25 SM). Namun, emas dari Tanah Punt tercatat telah terdapat di Mesir pada awal masa Firaun Khufu dari Dinasti ke-4.
Selanjutnya, diketahui telah dilakukan ekspedisi ke Tanah Punt pada masa Dinasti Mesir ke-6, ke-11, ke-12 dan ke-18. Pada masa Dinasti ke-12, perdagangan dengan Punt dituliskan dalam sebuah sastra populer Tale of the Shipwrecked Sailor (“Kisah Pelaut yang Terdampar”).
Pada masa pemerintahan Mentuhotep III (Dinasti ke-11, ca 2000 SM), seorang petugas bernama Hannu melakukan sekali atau lebih pelayaran menuju Tanah Punt, tetapi tidak pasti apakah ia secara pribadi ikut serta dalam ekspedisi ini. Misi perdagangan para firaun Dinasti ke-12, Senusret I, Amenemhat III dan Amenemhat IV, juga telah berhasil berlayar menuju dan kembali dari Tanah Punt.
Pada masa Dinasti Mesir ke-18, Ratu Hatshepsut membangun armada Laut Merah untuk memfasilitasi perdagangan di ujung Teluk Aqaba yang mengarah ke selatan menuju Tanah Punt untuk membawa keperluan jenazah ke Karnak dan dipertukarkan dengan emas Nubia. Hatshepsut secara khusus membentuk tim ekspedisi Mesir kuno yang paling terkenal untuk berlayar ke Tanah Punt. Selama pemerintahan Ratu Hatshepsut pada abad ke-15 SM, kapal-kapal telah secara teratur menyeberangi Laut Merah untuk mendapatkan bitumen, tembaga, ukiran amulet, naptha dan barang lainnya yang diangkut melalui darat dan Laut Mati menuju ke Eilat di ujung Teluk Aqaba dimana disana diperoleh dupa dan wewangian yang datang dari utara melalui darat dan laut, di sepanjang rute perdagangan yang melalui pegunungan terbentang kearah utara di sepanjang pantai timur Laut Merah.
Penerus Hatshepsut pada Dinasti ke-18, seperti Thutmose III dan Amenhotep III, juga melanjutkan tradisi perdagangan Mesir dengan Tanah Punt. Perdagangan ini terus berlangsung sampai ke awal Dinasti ke-20 dan diakhiri oleh Kerajaan Baru. Semenjak ini, kontak dagang tampaknya telah tidak ada, selain satu pengecualian, dan Tanah Punt berubah menjadi sebagai tanah dongeng dan magis. Pengecualiannya adalah penyebutan Gunung Punt yang terdapat dalam sebuah prasasti pada sebuah tugu yang telah rusak di Tel Defenneh yang berusiakan masa Dinasti ke-26. Juga disebutkan pada prasasti tersebut tentang terjadinya suatu mukjizat dan berkat bahwa hujan telah turun di Gunung Punt pada akhir Desember atau awal Januari.

Ekspedisi Ratu Hatshepsut

Ratu Hatshepsut adalah putri Thutmose I, firaun ketiga dari Dinasti ke-18, dan istrinya, Ratu Ahmes Nefertari. Ia mewarisi hak daulat turun-temurun ibunya dari garis keturunan Dinasti ke-12 yang terdahulu.
Kisah ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt tercatat dalam seni Mesir pada dinding kuil memorialnya di Deir el-Bahari (bahasa Arab yang berarti “wihara utara”), sebuah kompleks kuil penyimpanan jenazah dan kuburan yang terletak di tepi barat Sungai Nil. Lokasi ini dipisahkan dari Lembah Para Raja oleh bukit Al-Qurn (bahasa Arab yang berarti “tanduk” dan dikenal oleh orang Mesir sebagai Dehent) dan terletak tepat di seberang sungai dari kompleks kuil di Karnak dan Luxor di Thebes. Pegunungannya berderet membentuk piramida-piramida alami yang menjulang di Lembah Para Raja dan di Deir el-Bahari, dan disakralkan untuk Hathor dan Meretseger.

Kuil di Deir el-Bahari

Figure 1a
Figure 1b
Gambar 1. Kuil di Deir El-Bahari
Yang pertama kali mengungkapkan tentang deskripsi biara di Koptik yang sudah ditinggalkan dan pernah berdiri di atas reruntuhan kuil Hatshepsut adalah penjelajah Inggris terkenal Richard Pococke yang mengunjunginya pada tahun 1737. Jean-François Champollion menyalin tulisan pada portal granit kuil dan dinding Biara Utama Amon-Ra. John Gardner Wilkinson memperkenalkan nama Deir el-Bahari (“Biara Utara”) melalui literatur dunia pada tahun 1835. Richard Lepsius mengikutinya dengan mengidentifikasi reruntuhannya sebagai kuil Hatshepsut.
Penggalian rutin dimulai oleh arkeolog Perancis Auguste Mariette (1821 – 1881), pendiri Egyptian Antiquities Service. Penyelidikan arkeologi di kompleks Deir el-Bahari dimulai pada tahun 1881, setelah benda-benda milik firaun yang hilang mulai muncul di pasar barang antik. Arkeolog Perancis Gaston Maspero (1846 – 1916), Direktur Dinas Purbakala Mesir pada saat itu, mengunjungi Luxor pada tahun 1881 dan mulai memberikan tekanan kepada keluarga Abdou El-Rasoul, yang tinggal di Gurnah dan telah turun-temurun melakukan penjarahan makam.
Lembaga pertama yang punya jasa besar untuk melakukan studi tentang Mesir adalah misi Egypt Exploration Fund (EEF) yang dipimpin oleh arkeolog Perancis Edouard Naville (1844 – 1926). Penggalian di kuil dimulai pada tahun 1890-an. Antara tahun 1893 dan 1899 berhasil membersihkan Teras Atas dan sebagian besar halaman yang terkubur, kapel dan tiang-tiang. Atap dipasang diatas serambi obelisk dan serambi Teras Tengah. Dinding Biara Utama Amon-Ra diperkuat dan perlindungan sementara dipasang di kompleks Altar Matahari, Kultus Kerajaan, Kapel Hathor dan Serambi Utara Bawah. Pada tahun 1911, Naville menyerahkan konsesinya di Deir el-Bahari (sebagai hak penggalian satu-satunya), dan Herbert Winlock yang legendaris memulai yang kemudian disebut 25 tahun penggalian dan restorasi. Winlock tiba di Deir el-Bahari sebagai kepala misi Metropolitan Museum of Art yang tinggal di sana selama 20 tahun berikutnya (1911 – 1931), menembus teras dan dua lereng kuil yang tak tertutup.
Ketika Leszek Dabrowski datang dengan kelompok spesialisnya dari Universitas Warsawa Centre of Mediterranean Archaeology (PCMA), mereka menemukan baris demi baris blok hiasan yang disusun oleh pendahulu terkenal mereka, menunggu untuk dikembalikan ke posisi semula di dinding, kolom dan balok kuil. Polandia diundang oleh Egyptian Antiquities Organization untuk mengambil alih proyek. Kazimierz Michalowski menjadi kepala misi ini dari awal di musim gugur tahun 1961 sampai akhir hayatnya pada tahun 1981.

Relief Dinding di Ruang Tengah

Dinding-dinding di Djeser-Djeseru mengilustrasikan otobiografi Hatshepsut, termasuk cerita tentang perjalanannya ke Tanah Punt. Juga ditemukan di Djeser-Djeseru adalah akar utuh pohon kemenyan, yang pernah menghiasi halaman depan kuil. Pohon-pohon ini dikumpulkan oleh Hatshepsut dalam ekspedisinya ke Tanah Punt; menurut sejarah, ia membawa lima kapal penuh barang, termasuk flora dan fauna.
Penulis menyajikan ilustrasi dinding di ruang tengah Deir el-Bahari (Djeser-Djeseru) yang dibuat oleh Johannes Duemichen (1869), Auguste Mariette (1877) dan Eduard Naville (1898) di bawah ini. 
Figure 2aFigure 2bFigure 2cFigure 2dFigure 2eFigure 2fFigure 2gFigure 2hFigure 2iFigure 2j
Gambar 2. Ilustrasi dinding ruang tengah di Deir el-Bahari (Johannes Duemichen, 1869)
Figure 3aFigure 3bFigure 3cFigure 3d
Gambar 3. Ilustrasi dinding ruang tengah di Deir el-Bahari (Auguste Mariette, 1877)
Figure 4
Gambar 4. Kapal-kapal Mesir tiba di Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Figure 5
Gambar 5. Kapal-kapal Mesir tiba di Tanah Punt (Eduard Naville, 1898) (continued)
Figure 6
Gambar 6. Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Figure 7
Gambar 7. Pecahan-pecahan relief (Eduard Naville, 1898)
Figure 8
Gambar 8. Memuati kapal-kapal Mesir di Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Figure 9
Gambar 9. Kapal-kapal yang penuh muatan meninggalkan Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Figure 10
Gambar 10. Orang-orang Tanah Punt bersembah di Mesir (Eduard Naville, 1898)
Figure 11
Gambar 11. Persembahan ratu kepada Amon berupa hasil-hasil ekspedisi (Eduard Naville, 1898)
Figure 12
Gambar 12. Pohon kemenyan yang ditanam di Taman Amon (Eduard Naville, 1898)
Figure 13
Gambar 13. Menakar tumpukan kemenyan dari Tanah Punt (Eduard Naville, 1898)
Figure 14
Gambar 14. Produk Wilayah Selatan (Eduard Naville, 1898)
Figure 15
Gambar 15. Menimbang logam mulia dari Wilayah Selatan (Eduard Naville, 1898)

Hipotesis Tanah Punt di Sumatera

Ekspedisi Mesir yang paling terkenal ke Tanah Punt dan sebagian besar informasi yang dapat diperoleh adalah yang dilakukan pada masa Dinasti ke-18 oleh Ratu Hatshepsut (1473 – 1458 SM). Ekspedisi tersebut tercatat pada prasasti dan relief dengan lengkap dan terinci pada dinding kamar mayat Kuil Hatshepsut di Deir El-Bahari. Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang bangsa Nubia, yang bernama Nehsi. Jalurnya “melalui darat dan laut”, kemungkinan pemberangkatannya dari Koptos, dilanjutkan dengan perjalanan darat melalui Wadi Hammamat menuju ke pelabuhan Laut Merah di Queisir. Kelima kapalnya dibongkar terlebih dahulu kemudian diangkut dengan keledai dan dirangkai kembali sesampainya di pelabuhan (Kitchen 1993). Terdapat tiga kali pengulangan tulisan pada relief di Deir el-Bahari bahwa ekspedisi tersebut dilakukan “melalui darat dan laut” dan cara yang sama telah dilakukan dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Henu pada masa pemerintahan Firaun Mentuhotep III dan Firaun Ramses III. Ekspedisi Senusret I menunjukkan bukti-bukti yang cukup jelas bahwa perjalanan ke Tanah Punt adalah menggunakan jalur Laut Merah.
Papirus Harris I, sebuah dokumen Mesir kontemporer yang terinci tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Firaun Dinasti ke-20 awal, Ramses III, mencakup deskripsi yang eksplisit tentang kembalinya ekspedisi Mesir dari Tanah Punt, seperti dibawah ini.
Saya membuat kapal-kapal besar beserta tongkang-tongkang. Mereka dikirim ke lautan luas di balik air, mereka tiba di Tanah Punt. Mereka sarat dengan barang-barang dari Tanah Dewata. Mereka tiba dengan selamat di daerah gurun Coptos: mereka tertambat dengan damai, membawa barang-barang yang mereka bawa. Mereka [barang-barang] diangkut, dalam perjalanan darat, menggunakan keledai dan manusia, kemudian memuatkannya kembali keatas kapal di pelabuhan Coptos. Mereka [barang-barang dan orang-orang Punt] dikirim ke hilir, berjalan beramai-ramai, membawa persembahan untuk raja.
Abdel Haleem Sayed dari Universitas Alexandria, Mesir pada pertengahan 1970-an menemukan pecahan-pecahan tembikar yang bertuliskan hieroglif, batu prasasti yang bertuliskan catatan ekspedisi ke Bia-Punt (“tambang Punt”), jangkar yang berukir bulatan pada bagian atas dan kepingan-kepingan kayu cedar dengan pahatan tanggam, yang kemungkinan besar adalah bagian-bagian kapal. Ia menyarankan bahwa Mersa/Wadi Gawasis adalah sebuah pelabuhan kerajaan Sʒww dalam ekspedisi laut ke Tanah Punt pada Dinasti ke-12. Beard dan Fattovich pada tahun 2001 menemukan bangunan-bangunan seremonial, kayu-kayu kapal, jangkar-jangkar batu, tali dan artefak lainnya yang berusiakan awal dan akhir Dinasti ke-12. Mereka juga menemukan kayu eboni yang telah terkarbonisasi dan obsidian (kaca vulkanik), serta lempengan-lempengan dayung kemudi. Mereka malahan juga menemukan kotak-kotak barang bertuliskan hieroglif yang menerangkan bahwa isinya adalah “barang-barang bagus dari Punt”.
Bukti-bukti jelas tentang jalur laut untuk menuju ke Punt praktis tak terbantahkan, dan saat ini secara umum telah diterima oleh mayoritas ilmuwan bahwa beberapa atau sebagian besar ekspedisi tersebut adalah melalui Laut Merah. Julukan sebagai “Tanah Dewata”, “Tanah Leluhur”, “Tanah Suci” atau “Tanah Kedewaan” yaitu tempat tinggal para dewa yang berada jauh di timur kearah matahari terbit, menunjukkan bahwa Tanah Punt pasti berada di sebelah timur Mesir. Jalur ekspedisi ke Tanah Punt yang melalui laut adalah dimulai dari Laut Merah dan dilanjutkan dengan Samudera Hindia.
Orang Mesir sementara ini dianggap tidak terlalu fasih untuk menghadapi bahaya dalam perjalanan di laut, dan perjalanan panjang ke Tanah Punt adalah penuh dengan bahaya. Imbalan yang diperoleh dalam mendapatkan kemenyan, kayu eboni dan barang berharga lainnya jelas sangat bernilai tinggi dengan melihat besarnya risiko yang harus dihadapi tersebut.
Ekspedisi ke Tanah Punt oleh Ratu Hatshepsut tercatat pada relief dengan lengkap dan terinci didalam kuilnya di Deir el-Bahari. Pencapaian reputasi dan prestasi yang besar setelah ekspedisinya menempuh bahaya laut dan kembali dengan sukses, upacara dan perayaan setelah pencapaiannya dan indikator kepemimpinan dan keterampilannya dalam memotivasi dan mengatur masyarakat Mesir agar berprestasi tinggi, menunjukkan betapa sulitnya perjalanan menuju dan kembali dari Tanah Punt. Hal-hal seperti ini juga dilakukan oleh para firaun sebelum dan sesudahnya, meskipun tidak terdokumentasi dengan baik. Kesulitan yang dihadapi beserta prestasi yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa jalur pelayarannya tidak semata-mata di Laut Merah saja, yang bahayanya relatif kecil, tetapi di laut terbuka, yaitu Samudera Hindia. Jarak yang sangat jauh menjelaskan mengapa begitu sedikit pelayaran yang dilakukan kesana, sehingga tidak mungkin hanya di Laut Merah saja. Prasasti pada dinding Deir El-Bahari yang berbunyi “melintasi Lautan Luas pada Jalan Baik menuju ke Tanah Dewata” dan dalam Papyrus Harris I yang berbunyi “Mereka dikirim ke Lautan Luas di balik air” menunjukkan bahwa jalur pelayarannya adalah melalui samudera (“Lautan Luas”) dan tujuannya berada di balik cakrawala air (pandangan yang jauh dan tertutup oleh lengkung permukaan air laut yang luas), menunjukkan indikasi yang jelas bahwa pelayarannya adalah melalui Samudera Hindia.
Relief di Deir el-Bahari jelas sangat penting karena menunjukkan secara terinci perihal flora, fauna dan penduduk Tanah Punt. Suasananya tidak saja menggambarkan barang-barang yang diperdagangkan oleh penduduk Tanah Punt dengan Mesir, tetapi juga beberapa fauna dan flora di Tanah Punt. Barang yang diperdagangkan dapat disebut sebagai barang mewah, antara lain yang utama adalah kemenyan (ảnti), yang digunakan secara luas di Mesir dalam ritual pemujaan keagamaan. Barang-barang lainnya antara lain kayu eboni, gading, emas/elektrum, kayumanis, kayu khesit, balsem, getah kering, cangkang kura-kura dan senjata. Faunanya digambarkan meliputi spesies yang beragam seperti sapi bertanduk pendek, beruk, badak bercula satu, monyet, anjing, macan tutul, dan berbagai macam satwa laut. Floranya diidentifikasi sebagai pohon pinang, pohon eboni, pohon kemenyan dan pohon kayumanis. Rumah-rumahnya berbentuk panggung yang dilengkapi dengan tangga, semuanya dibuat serupa.
Bukti arkeologi sejauh ini agak jarang sehingga siapa pun tidak akan pernah bisa menentukan lokasi Tanah Punt dengan pasti, kecuali ditemukan bukti-bukti lain yang lebih kuat. Satu hal yang dapat dilakukan hanyalah membuat sebuah hipotesis tentang lokasinya dengan tingkat probabilitas yang wajar, dan dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk membentuk sebuah rangkaian karakteristik yang dapat diamati (mirip dengan “fenotip” dalam biologi). Bukti-buktinya harus jelas sehingga dapat dengan kuat atau paling mungkin untuk mewakili fenotipnya. Semakin banyak rangkaian buktinya dalam fenotip, semakin tinggi kekuatan hipotesisnya. Dengan mengandalkan metode ini dan setelah mengumpulkan bukti-bukti, penulis membuat hipotesis bahwa Tanah Punt terletak di Sumatera, Indonesia.

Pulau Sumatera

Pulau Sumatera adalah sebuah pulau di Indonesia bagian barat, pulau terbesar yang seluruhnya berada didalam wilayah negara Indonesia (dua pulau besar lainnya, Kalimantan dan Papua, terbagi antara Indonesia dan negara-negara lain) dan pulau terbesar keenam di dunia. Bagian barat, baratlaut dan baratdayanya berbatasan dengan Samudera Hindia, dan di lepas pantai baratdayanya terdapat sederetan “Kepulauan Halang” yaitu Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano. Di sebelah timurlaut berbatasan dengan Selat Malaka yang memisahkannya dengan Semenanjung Malaya. Di sebelah tenggara berbatasan dengan Selat Sunda yang memisahkannya dengan Pulau Jawa. Ujung utaranya berbatasan dengan Kepulauan Andaman, sementara di sebelah timurnya terdapat Kepulauan Bangka-Belitung, Selat Karimata dan Laut Jawa.
Sumatera pada zaman dahulu dikenal dalam bahasa Sansekerta dengan Swarnadwipa (“Pulau Emas”) dan Swarnabhumi (“Tanah Emas”), karena terkenal dengan penambangan emasnya di dataran tingginya. Geografer Arab menyebut pulau ini dengan Lamri (Lamuri, Lambri atau Ramni) pada abad ke-10 sampai ke-13, mengacu pada sebuah kerajaan didekat Banda Aceh sekarang yang merupakan tempat pendaratan pertama para pedagang Arab. Mulai akhir abad ke-14, nama Sumatera (penyebutan orang Barat untuk “Samudera”) lebih dikenal, merujuk kepada Kerajaan Samudera Pasai yang berkuasa pada waktu itu sebelum digantikan oleh Kesultanan Aceh.
Odoric dari Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa ia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, dan sampai ke Kerajaan Sumoltra. Ibnu Battutah menuliskan dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (“Berkelana ke Timur”) bahwa pada tahun 1345 ia singgah di Kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama Samudera, sebuah kerajaan di Aceh, digunakan oleh para pengunjung untuk memberi nama seluruh pulau.
Para pengunjung lain termasuk Ibnu Majid, Roteiro, Amerigo Vespucci, Masser, Ruy d’Araujo, Alfonso Albuquerque dan Antonio Pigafetta mencatat nama-nama: Samatrah, Camatarra, Samatara, Samatra, Camatra, Camatora, Somatra, Samoterra, Samotra, Sumotra, Zamatra dan Zamatora. Catatan kolonial Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake pada abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra (Sumatera dalam bahasa Indonesia).
Sumatera adalah cikal-bakalnya peradaban Melayu. Sebuah nama Bhumi Malayu tertulis pada Prasasti Padang Roco bertahun 1286 dan 1347 M ditemukan di Dharmasraya dimana Adityawarman menyatakan dirinya sebagai penguasa Malayapura. Catatan Majapahit, Nagarakretagama bertahun 1365 M, menyebutkan bahwa Tanah Melayu dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Dari catatan ini, nama Malayu tampaknya dikenal sebagai daerah di sekitar lembah Batanghari dari muara ke pedalaman, yang berada di bagian timur Pulau Sumatera. Orang-orang yang mendiami pantai timur Sumatera dan sebagian Semenanjung Malaya mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu dengan bahasanya yang umum disebut bahasa Melayu. Setelah kedatangan orang Eropa pada abad ke-16, mereka mengidentifikasikan orang-orang pribumi yang hidup di kedua pantai Selat Malaka tersebut sebagai orang Melayu. Sebutan ini kemudian diterapkan juga untuk orang-orang di wilayah lainnya yang memiliki ciri-ciri yang sama.
Karena budaya di Pulau Sumatera saat ini telah banyak terpengaruhi oleh budaya-budaya lain, penulis melacak kembali budaya kuno pulau tersebut dengan memfokuskan pada suku-suku terpencil di lepas pantai baratdaya Sumatera serta suku-suku terpencil di daratan Pulau Sumatera. Deretan pulau-pulau Andaman, Nicobar, Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano yang menghadap ke Samudera Hindia adalah pulau-pulau yang sedikit banyak masih terisolasi. Penduduk pulau-pulau ini memiliki budaya yang hampir sama tetapi Pulau Enggano adalah yang paling terisolasi dan belum berkembang. Selain itu, terdapat cukup banyak literatur yang ditulis oleh para pengunjung Pulau Enggano semenjak tahun 1596.
Figure 16
Gambar 16. Pulau Sumatera

Suku Enggano

Pulau Enggano adalah sebuah pulau kecil yang terletak sekitar 100 km di lepas pantai baratdaya Sumatera. Di pulau tersebut saat ini terdapat enam desa, yang semuanya terletak di sekitar satu-satunya jalan utama yang melintasi pantai timurlaut pulau itu: Kahayapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok dan Banjarsari. Desa-desa Malakoni, Apoho dan Meok lebih banyak penduduk pribuminya, sedangkan desa-desa lainnya lebih banyak pendatangnya. Penyeberangan feri telah menghubungkan desa-desa Kahayapu dan Malakoni dengan kota Bengkulu.
Figure 17
Gambar 17. Pulau Enggano
Nama pulau ini diduga berasal dari kontak awal dengan para pedagang Portugis (engano dalam bahasa Portugis berarti “kesalahan”). Referensi paling awal tentang pulau ini adalah oleh Cornelis de Houtman. Pada 5 Juni 1596, empat kapal dibawah komando Cornelis de Houtman mendekati pulau ini. Meskipun beberapa awak kapal mencoba masuk ke darat untuk mendapatkan bahan segar, tetapi mereka kembali lagi ke kapal setelah melihat beberapa penduduk asli yang muncul dan sangat agresif. Pada tahun 1602, 1614, 1622 dan 1629 kapal-kapal Belanda lainnya datang ke Enggano dan kadang-kadang berhasil memperdagangkan beberapa barang. Namun, secara umum penduduk cenderung tidak suka melakukan kontak dengan pengunjung.
Pada tahun 1645, pemerintah kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) mengirim dua kapal untuk mendapatkan budak dari Enggano. Dalam suatu pertempuran sengit dua tentara Belanda tewas, namun para prajurit lainnya berhasil menangkap 82 orang penduduk Enggano. Dalam perjalanan kembali ke Batavia, enam orang diantaranya meninggal. Nasib tawanan lainnya tidak diketahui. Sangat mungkin bahwa mereka tidak pernah kembali ke Enggano, dan meninggal sebagai budak di Batavia. Ekspedisi ini tidak dianggap sukses, sehingga untuk waktu yang lama Belanda kehilangan minat mereka di Enggano.
Pada tahun 1771, seorang Inggris Charles Miller mengunjungi Enggano. Pengalamannya diterbitkan pada tahun 1778, dan diterjemahkan kedalam bahasa Belanda pada tahun 1779. Miller berhasil mendarat dan bertemu penduduk asli. Ia menggambarkannya sebagai berikut.
Dengan susah payah dan bahaya kami menjelajahi seluruh sisi baratdaya, tanpa menemukan tempat dimana kami bisa mencoba untuk mendarat; dan kami kehilangan dua jangkar dan kapal telah hampir karam sebelum kami menemukan tempat yang aman dimana kami mungkin bisa menjalankan kapal. Namun, akhirnya kami menemukan tempat berlabuh yang luas di ujung tenggara pulau dan saya langsung pergi dengan perahu, dan memerintahkan kapal untuk mengikuti saya secepat mungkin, karena tempatnya sepi sekali. Kami mendayung langsung ke teluk ini; dan segera setelah kami mencari tempat di pulau ini untuk berlabuh, kami mendapati bahwa di sepanjang pantai telah ada orang-orang tanpa busana yang semuanya bersenjatakan tombak dan pemukul; dan duabelas perahu yang semuanya penuh dengan orang-orang itu, yang sebelum kami melewati, mereka bertiarap sembunyi, kemudian segera bergegas mendekati saya, dengan suara-suara yang mengerikan: yang ini, anda mungkin mengira, sangat khawatir tentang kami; dan karena saya hanya punya seorang Eropa dan empat tentara orang hitam, selain empat orang pelaut India yang mendayung perahu. Saya berpikir bahwa yang terbaik adalah berbalik, jika memungkinkan dengan todongan senjata dari kapal sebelum saya memberanikan diri untuk berbicara dengan mereka.
Akhirnya, ia menemui “orang-orang liar yang mulia” itu dan belajar sesuatu dari budaya mereka yang alamiah, feminis, ateis dan saling memiliki.
Mereka bertubuh tinggi dan berpostur baik; prianya pada umumnya sekitar lima kaki dan delapan atau sepuluh inci [173 – 178 sentimeter] tingginya; wanitanya lebih pendek dan tubuhnya lebih bungkuk. Mereka berwarna kemerahan, dan berambut hitam lurus, yang laki-laki dipotong pendek, tapi yang wanita membiarkannya tumbuh panjang, dan menggulungnya dalam lingkaran diatas kepala mereka dengan sangat rapi. Laki-lakinya sepenuhnya telanjang, dan wanitanya mengenakan tidak lebih dari sehelai daun pisang yang sangat sempit. Mereka tampaknya mengamati segala sesuatu tentang kapal dengan penuh perhatian; tetapi lebih ke motif pencurian daripada rasa ingin tahu, setelah mereka memperoleh kesempatan kemudian sebuah kemudi perahu dilepasnya, dan mendayung membawanya pergi.
R Francis, seorang pedagang minyak kelapa, pernah tinggal di Pulau Enggano pada 1865 – 1866 dan 1868 – 1870. Ia telah sangat dikesan dan selalu diingat oleh orang-orang Enggano, karena mereka masih membicarakannya pada tahun 1930-an pada waktu ahli bahasa Jerman, Hans Kahler mengunjungi pulau tersebut. Seorang penjelajah Itali, Elio Modigliani telah mengunjungi Pulau Enggano antara tanggal 25 April dan 13 Juli 1891. Ia menggambarkan secara terinci bahwa rupanya dalam budaya masyarakat Enggano peran perempuan adalah lebih dominan, yang ditulis dalam L’Isola delle Donne (“Pulau Perempuan”), pertama kali diterbitkan pada tahun 1894, dan masih menjadi sumber informasi yang penting sampai sekarang, bukan hanya karena tulisannya saja, tetapi juga ilustrasi-ilustrasinya. Pada tahun 1994, ilustrasi-ilustrasi tersebut disambut dengan meriah di Enggano. Ketika Modigliani berada di Enggano, beberapa desa masih berada di perbukitan. Tidak lama sesudahnya, masyarakat Enggano sebagian besar pindah ke daerah pesisir. Bahkan, pada abad ke-19, seorang pedagang Bugis dari Sulawesi,  Boewang tampaknya telah tertarik dengan Enggano karena sejumlah besar kelapanya. Rijksmuseum di Belanda memiliki koleksi penting tentang artefak Enggano dan telah dipublikasikan oleh Pieter J ter Keurs beserta reproduksi ilustrasi-ilustrasi Modigliani.
Populasinya menurun tajam pada tahun 1870-an, mungkin karena wabah penyakit atau bencana lainnya. Jumlah penduduknya turun dari 6.420 pada tahun 1866 menjadi hanya 870 pada tahun 1884 dan setelah penurunan drastis ini populasinya terus menurun lebih jauh lagi (Suzuki, 1958; Winkler, 1903; Keurs, 2011). Belanda mengirim petugas medis untuk menyelidikinya. Karena titik tertinggi pulau ini hanya 281 meter diatas permukaan laut, penurunan populasinya kemungkinan sangat dipengaruhi oleh tsunami yang diakibatkan oleh letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, ataupun oleh jatuhan material letusan gunung tersebut. Penduduk aslinya tidak pernah kembali ke jumlah semula dan hanya berjumlah sekitar 400-an jiwa pada awal 1960-an. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menggunakan pulau tersebut untuk merehabilitasi para penjahat muda dari Jawa, yang diberlakukan kerja paksa untuk membersihkan semak dan membangun sawah. Dengan demikian, penduduknya telah sedikit pulih semenjak saat itu.
Di Pulau Enggano saat ini terdapat 5 sub-suku: Kauno, Kaitora, Karubi, Kaohao dan Karaba. Pembagian sub-suku ini tampaknya bervariasi (Keurs, 2011). Beberapa sub-suku, walaupun begitu, sekarang ini sudah tidak ada. Hal ini disebabkan oleh migrasi ke pulau-pulau lain dan pernikahan dengan yang bukan dari suku Enggano, sehingga membuat sub-suku yang bersangkutan menjadi tidak aktif atau hilang. Terutama apabila seorang perempuan dari suku Enggano yang matrilineal menikah dengan pria bukan dari suku Enggano yang biasanya patrilineal, sub-suku tersebut kehilangan kesempatan untuk berkelanjutan; karena anak-anak biasanya ikut keluarga pria.
Pulau Enggano mengandung teka-teki yang besar perihal linguistik dan sejarahnya. Penduduknya dikatakan penutur Austronesia, namun kosakata mereka hanya sedikit yang menunjukkan kekerabatan dengan kosakata Austronesia (Blench, 2014). Mereka tidak membuat kain, tidak menanam bahan makan, tetapi hanya memanfaatkan tanaman yang ada, tinggal di rumah-rumah panggung berbentuk bundar, dan hampir tidak seperti orang-orang di daerah tetangganya. Terdapat banyak literatur yang ditulis oleh para pengunjung awal dalam bahasa Belanda yang dikutip dalam daftar pustaka, tetapi sedikit yang menyebutkan tentang etnografi mereka kecuali Modigliani (1893, 1894).
Sekitar pergantian abad ke-20, ketika para misionaris memulai mengkonversi penduduknya, sistem perumahan dan organisasi sosial sebelum itu telah banyak berubah dan saat ini sulit untuk merekonstruksi kondisi aslinya. Dalam beberapa tahun terakhir, Keurs (2006, 2008, 2011) telah menjadi etnografer utama yang berminat perihal masalah ini dan dalam publikasi internetnya (Keurs, tanpa tahun) terdapat ringkasan yang diambil dari literatur, foto-foto benda-benda peninggalan budaya di museum Eropa dan daftar pustaka yang penting.



Suku Rejang

Suku Rejang adalah sebuah kelompok suku yang tinggal terutama di pantai baratdaya pulau Sumatera, di lereng pegunungan yang sejuk di Pegunungan Barisan, di provinsi Bengkulu. Masyarakat suku Rejang secara umum terdapat di Kabupaten Rejang Lebong (Kecamatan Lebong Utara, Lebong Selatan, Curup dan Kepahiang), di Kabupaten Bengkulu Utara (Kecamatan Tabapenanjung, Pondokkelapa, Kerkap, Argamakmur dan Lais), di Kabupaten Kepahiang, di Kabupaten Lebong dan di Kabupaten Bengkulu Tengah. Sebagian dari mereka tinggal di sepanjang lereng pegunungan Bukit Barisan.
Masyarakat Rejang berbicara bahasa Rejang, di daerah Argamakmur, Muaraaman, Curup, Kepahiang dan Rawas. Ada lima dialek utama: Lebong, Musi, Kebonagung, Pesisir dan Rawas. Bahasa Rejang tidak memiliki kaitan yang jelas dengan bahasa Melayu-Polinesia lainnya. McGinn (2009) berpendapat bahwa Bahasa Rejang adalah satu kelompok dengan bahasa Bidayuh dan Melanau di Kalimantan. Bahasa Rejang tidak ada kaitannya dengan bahasa Rejang-Baram yang digunakan di Sarawak dan Kalimantan, yang sama sekali berbeda.
Suku Rejang memiliki sebuah abjad, yang merupakan satu kelompok aksara yang dikenal sebagai surat ulu, yang meliputi varian yang terdapat di Bengkulu, Lembak, Lintang, Lebong dan Serawai. Abjad Rejang juga kadang-kadang dikenal sebagai Kaganga, mengacu kepada tiga huruf pertamanya, dan berhubungan dengan abjad Batak dan Bugis. Abjad Rejang adalah istilah adat yang lebih umum digunakan untuk merujuk pada tiga kelompok utama aksara Sumatera Selatan: surat incung di Kerinci, surat ulu di Lebong, Lembak, Lintang, Basemah, Rejang dan Serawai, dan surat Lampung di Lampung, Abung dan Komering.
Orang Rejang adalah orang Sumatera yang asli, sedikit dipengaruhi oleh budaya dan adat Melayu dan Jawa (Marsden, 1784). Orang Rejang telah terisolasi dari dunia luar selama berabad-abad. Mereka memegang teguh sejarahnya dan tidak mudah dipengaruhi oleh budaya lain. Faktor-faktor ini membuat mereka sangat tidak percaya dan berpikiran agak tertutup terhadap orang luar.
Nama Rejang berasal dari kata ra dan hyang, yang berarti dewa (“Hyang”) yang mulia. “Ra” adalah nama atau sebutan untuk orang yang terhormat dalam sejarah kuno Nusantara. Rahyang juga dapat diartikan sebagai “Dewa Ra”. Ra, dewa matahari, mendapatkan tempat yang sangat penting dalam jajaran dewa di Mesir. Sebutan “Tanah Dewata”, yang dapat ditafsirkan sebagai “Tanah Suci” atau “Tanah para Dewa/Leluhur” dan mengacu pada Ta Netjer, adalah Tanah Punt. Sejarawan percaya bahwa Tanah Punt dapat disebut sebagai tempat tinggalnya para dewa dan lokasinya terdapat di sebelah timur Mesir, kearah matahari terbit, kearah dewa matahari Ra. Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan bahwa Tanah Punt adalah sebagai “Tanah Suci”.

Budaya Basemah

Dataran tinggi Basemah (atau Pasemah), berada di pegunungan Barisan sebelah barat Lahat, Sumatera Selatan, terkenal dengan batu-batu megalitik yang misterius dan tersebar di seluruh daerah tersebut. Batu-batu tersebut telah berusia sekitar 3600 tahun, tetapi hanya sedikit yang diketahui ataupun peradaban yang membuatnya. Sementara museum-museum di Palembang dan Jakarta telah menyimpan batu-batu tersebut, masih ada banyak yang berada di tempat aslinya.
Situs megalitik ini dianggap salah satu situs yang paling terpencil dan misterius di Asia Tenggara. Di daerah antara Lahat dan Pagaralam, terdapat sekitar 26 situs yang meliputi batu kubur, patung megalit dan tempat pemujaan bertingkat. Strukturnya adalah sekumpulan budaya simbolik monumental di Sumatera. Seni batu di daerah ini adalah unik dan terdiri dari tokoh-tokoh heroik dengan ekspresi wajah yang dramatis. Orang-orang Basemah masih menggunakan patung-patung ini sebagai situs untuk pemujaan, dan memohon restu dan perlindungan terhadap bencana alam kepada roh nenek moyang mereka.
Beberapa peneliti meyakini bahwa orang-orang Basemah berasal dari Kalimantan sebelum bermigrasi ke Sumatera dan dataran tinggi Basemah. Saat ini, kelompok masyarakat Basemah meliputi suku Basemah dan beberapa suku lain yang terkait, yang terpusat di puncak sebuah gunung berapi, Gunung Dempo. Masyarakat Basemah menyebar dari lereng gunung kearah barat, selatan dan baratdaya di sepanjang pegunungan Barisan. Orang-orang Basemah tinggal di Provinsi Sumatera Selatan di sebagian Kabupaten Lahat dan di seluruh Kota Pagaralam. Beberapa masyarakat Basemah juga tinggal di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dan di Kabupaten Kaur Utara, Provinsi Bengkulu.

Bukti-bukti yang Mendukung

Perbandingan hal-hal yang digambarkan pada relief di Deir el-Bahari dengan masyarakat Enggano dulu dan sekarang, serta beberapa masyarakat lain di sekitarnya, menunjukkan banyak sekali kecocokan. Gambaran mengenai masyarakat kuno Enggano diperoleh dari buku Modigliani dan artefak-artefak koleksi Rijksmuseum Belanda, Museum Bengkulu dan Museum Palembang.

1) Perdagangan barang berharga

Pada awal abad Masehi, orang-orang Barat menyebut Asia Tenggara sebagai Golden Khersonese (“Tanah Emas”), demikian pula orang-orang daratan India menyebutnya sebagai Suwarnadwipa (“Pulau Emas”). Tidak lama setelah itu, daerah ini menjadi terkenal karena lada, hasil hutan, kayu dan getah wangi dan rempah-rempah yang terbaik dan paling langka. Istilah-istilah diantaranya “Jalur Sutera”, “Jalur Emas”, “Jalur Dupa”, “Jalur Gading”, “Jalur Kayumanis” dan “Jalur Rempah-rempah” adalah diciptakan untuk menunjukkan jalur ke Timur dan Asia Tenggara. Dari abad ke-7 sampai ke-10, orang-orang Arab dan Tiongkok tertarik dengan emas di Asia Tenggara, serta rempah-rempah yang telah terlebih dulu ada. Dilakukan pula oleh para pelaut abad ke-15 dari pelabuhan-pelabuhan di Samudera Atlantik, di belahan bumi yang berlawanan, dan berlayar ke lautan yang tidak diketahui untuk menemukan Kepulauan Rempah-rempah ini. Mereka semua tahu bahwa Asia Tenggara adalah pusat rempah-rempah dunia. Dari sekitar tahun 1000 Masehi sampai abad ke-19 di “era industri”, semua perdagangan dunia kurang lebih diatur oleh pasang surut dan aliran rempah-rempah yang berasal dari Asia Tenggara.
Selama tiga ribu tahun, para firaun Mesir telah memperdagangkan barang-barang dengan negara-negara lain, sementara mereka mencoba mengontrol perdagangan tersebut dan untuk memperoleh keuntungan darinya. Barang dagangan tersebut termasuk kayu cedar Lebanon; kayu eboni dan gading dari Afrika; dupa, myrrh dan minyak dari Punt; lapis lazuli dari Afghanistan; emas dari Nubia, dan bahkan logam-logam penting seperti tembaga dan besi dari sekutu dekat mereka. Kadang-kadang, mereka membeli tembikar atau kuda dari masyarakat lainnya.
Pada Periode Akhir, banyak perdagangan Mesir beralih ke tangan orang-orang Fenisia dan Yunani, yang telah tinggal di Delta Sungai Nil. Naukratis yang berada di sisi barat Sungai Nil untuk beberapa waktu telah menjadi satu-satunya pelabuhan internasional. Persia dibawah Darius I melakukan lebih banyak perdagangan di seluruh kerajaannya. Kanal yang menghubungkan Sungai Nil, demikian juga Mediterania, dengan Laut Merah (disebut juga Terusan Suez Lama) digali dan tetap digunakan sampai akhir periode Romawi.
Pembuatan kapal dikenal oleh bangsa Mesir kuno semenjak awal 3000 SM, dan mungkin sebelumnya. Mesir kuno tahu cara merakit papan kayu menjadi lambung kapal, dengan lilitan tali untuk mengikat papan-papan, dan alang-alang atau rumput yang disisipkan diantara papan untuk membuat kedap sambungannya. Archaeology Institute of America melaporkan bahwa kapal yang tertua – 75 kaki panjangnya, berusia 3000 SM – mungkin adalah milik Firaun Aha.
Pedagang Austronesia telah membawa rempah-rempah ke pasar Afrika melalui jalur maritim selatan. Benda-benda budaya yang berasal dari Asia Tenggara, atau setidaknya Asia tropis, pertama kali menyebar di pantai tenggara Afrika sebelum bergerak ke utara. Suatu faktor penting tentang jalur kuno rempah-rempah dari Asia Tenggara telah teramati, yaitu jejak cengkeh dari Maluku dan Filipina selatan yaitu kearah utara menuju Tiongkok Selatan dan Indocina dan kemudian kearah selatan lagi menuju pantai Selat Malaka. Dari sini cengkeh sampai ke pasar rempah-rempah India dan menuju kearah barat (Miller, 1969). UNESCO mengakui arah utara-selatan perdagangan melalui Filipina sebagai bagian dari rute rempah-rempah maritim kuno. Jaringan Filipina-Maluku berlanjut hingga masa Islam dan tertulis dalam catatan- catatan sejarah dan geografi Arab..
Jalur kayumanis dimulai dari daerah-daerah penghasil kayumanis dan kasia di Indocina utara dan Tiongkok selatan dan sepertinya kemudian dilanjutkan dari pelabuhan rempah-rempah di Tiongkok selatan kearah selatan dalam musim dingin menuju Filipina. Jalur ini mungkin kemudian berpindah kearah tenggara menuju Sumatera dan/atau Jawa untuk mengambil varietas kayumanis dan kasia yang berbeda bersama dengan kayu eboni dan kemenyan. Dari barat daya Indonesia kemudian para pedagang Austronesia berlayar melalui lautan luas Samudera Hindia menuju Afrika.

2) Di daerah tropis di timur

Relief-relief di Deir el-Bahari jelas menunjukkan flora dan fauna, budaya dan kehidupan sosial penduduk Tanah Punt secara terinci. Gambaran-gambaran diantaranya pohon pinang, pohon eboni, pohon kemenyan, gading, emas/elektrum, kayumanis, kayu khesit, balsem, getah, cangkang kura-kura, sapi, beruk, monyet, anjing, macan tutul dan berbagai macam ikan yang jelas merupakan gambaran yang spesifik di daerah tropis dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Prasasti pada sebuah tugu yang telah rusak dan ditemukan di Tel Defenneh mengatakan bahwa telah terjadi suatu mukjizat dan berkat bahwa hujan telah turun di Gunung Punt pada akhir Desember atau awal Januari.
Obsidian yang ditemukan dalam penggalian di Wadi Gawasis menunjukkan bahwa Tanah Punt terletak di daerah vulkanik.
Orang Mesir menyebut Tanah Punt sebagai Ta Netjer atau Tanah Dewata. Karena Ra, dewa matahari, adalah dewa yang sangat penting dalam jajaran dewa-dewa Mesir, sejarawan percaya bahwa Tanah Punt adalah tempat tinggalnya para dewa dan lokasinya berada di sebelah timur, ke arah matahari terbit.
Bukti arkeologi menunjukkan bahwa sapi bertanduk pendek terdapat pertama kali di Mesir sekitar 2000 SM, diyakini telah pertama kali terdapat di Sub-Sahara Afrika antara 700 dan 1500 M, dan dibawa ke Tanduk Afrika sekitar 1000 M. Hal ini menunjukkan bahwa ekspedisi ke Tanah Punt, dimana sapi merupakan salah satu jenis hewan perdagangan, adalah kearah timur.

3) Pondok-pondok penduduk

Figure 18
Gambar 18. Pondok-pondok penduduk: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Enggano, Modigliani (1894); (d) Enggano, Rijksmuseum; (e) Enggano, Museum Bengkulu; (f) Nikobar, Modigliani (1894); (g) Enggano, Modigliani (1894); (h) Rejang, Museum Bengkulu; (i) Nias, Dewoz Art Collection; (j) Mentawai
Naville (1898) menggambarkan bahwa pondok-pondok di Tanah Punt dibangun diatas tiang dan dilengkapi dengan tangga, dimaksudkan untuk melindungi terhadap binatang buas. Pondok tersebut terbuat dari anyam-anyaman, mungkin daun kelapa; semuanya berbentuk sama.
Modigliani (1894) menggambarkan bahwa pondok orang Enggano disebut cacario dan berbeda jauh dengan yang di Malaysia dan sekitarnya. Lantainya biasanya tersusun dari dua atau empat potong kayu besar, dan dipotong membentuk lingkaran; rumah biasa berukuran diameter 3 sampai 4 meter.
Rijksmuseum menggambarkan bahwa pondok orang Enggano adalah sangat khas. Sekarang sudah tidak ada lagi, pondok yang terakhir telah rusak sekitar tahun 1903. Pondok jenis ini dipasang hiasan burung dari kayu pada atapnya. Selain itu, pintunya sempit. Pondok jenis ini tidak memiliki tiang tengah. Pondok berbentuk sarang lebah di Enggano ini adalah untuk pria dan wanita, dan kadang-kadang digunakan untuk anak bungsu keluarga. Pondok jenis ini terlalu kecil dan tidak nyaman, dengan tidak ada bukaan untuk pertukaran udara yang digunakan oleh penghuninya. Beberapa pondok sarang lebah tersusun dalam satu lingkaran dan merupakan sebuah pemukiman. Pondok utama berada di tengah dan sedikit lebih besar dari pondok-pondok yang lain. Gambar pondok jenis ini terdapat juga di Florence dan Jakarta.
Gambar-gambar pada baris bawah, (f) sampai (j), adalah pondok-pondok yang merupakan pengembangan arsitektur yang mirip pondok Enggano di sekitar wilayah tersebut.
;Figure 19
Gambar 19. Bingkai pintu pondok Enggano:
(a) Modigliani (1894); (b) Rijksmuseum

4) Pohon pinang

Figure 20
Gambar 20. Pohon pinang: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Sumatera; (d) – (f) buah pinan
Seperti yang dijelaskan oleh Neville (1898), rumah-rumah penduduk asli Tanah Punt berada dibawah naungan pohon. Terdapat banyak pohon-pohon ini ditanam di Tanah Punt seperti yang ditunjukkan pada relief-relief di Deir el-Bahari. Pada fragmen yang diilustrasikan oleh Neville, terlihat seekor beruk memanjat pohon palem, yang kemungkinan adalah sejenis dengan pohon-pohon di Tanah Punt yang kemudian ditanam di Wilayah Selatan, dari bijinya yang dibawa dari Tanah Punt.
Penulis mengidentifikasi pohon-pohon palem tersebut sebagai pohon pinang, yang merupakan pohon yang sangat dikenal di Sumatera dan di wilayah Asia Tenggara pada umumnya. Pohon pinang (Areca catechu) adalah jenis pohon palem yang tumbuh di daerah-daerah tropis Pasifik, Asia dan Afrika timur. Pohon pinang diyakini berasal dari Filipina, tetapi telah dibudidayakan secara meluas dan dianggap dinaturalisasikan di Tiongkok selatan (Guangxi, Hainan, Yunnan), Taiwan, India, Bangladesh, Maladewa, Sri Lanka, Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Papua, pulau-pulau di Samudera Pasifik bagian barat, dan juga di Samudera Hindia. Spesies ini dikenal sebagai pinang atau penang di Indonesia dan Malaysia, jambi atau jambe di Jawa, Bali dan Melayu Kuno.
Pohon pinang ditanam karena buahnya memiliki nilai komersial yang tinggi. Buah yang muda berwarna hijau dan setelah masak berwarna kuning, cokelat muda sampai merah. Tanjungpinang dan Pangkalpinang di Indonesia, Provinsi Jambi dan Pulau Penang lepas pantai barat Semenanjung Malaysia adalah beberapa tempat yang dinamai berdasarkan pohon pinang. Sebenarnya, ada banyak nama kota dan daerah di Indonesia dan Malaysia yang menggunakan kata-kata pinang atau jambe. Hal ini menunjukkan bahwa pinang merupakan bagian yang penting bagi peradaban Austronesia, khususnya Indonesia dan Malaysia.
Pinang juga dikenal sebagai bahan untuk makan sirih, sangat populer di beberapa negara Asia, seperti Indonesia, Malaysia, Tiongkok (terutama Hunan), Taiwan, Vietnam, Filipina, Myanmar, India dan Pasifik, terutama Papua Nugini. Mengunyah pinang cukup populer di kalangan pekerja di Taiwan.
Pohon pinang, dengan berbagai jenisnya, juga digunakan sebagai pohon penghias landskap. Lomba panjat pinang adalah daya tarik yang paling populer untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut legenda mereka, tempat tinggal awal orang Rejang bernama Pinang Berlapis, sekarang nama sebuah kecamatan. Orang Rejang diduga memiliki budaya yang sama dengan orang Mesir seperti yang akan dibahas setelah ini.

5) Pohon kemenyan

Figure 21
Gambar 21. Pohon kemenyan: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) di lokasi piramida Gunungpadang; (d) dan (e) hutan kemenyan di Sumatera; (f) Styrax benzoin; (g) getah; (h) dan (i) getah kering; (j) getah kering yang dibakar oleh seorang dukun
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan (Edwards, 1891):
… Mereka akan mengambil ảnti sebanyak yang mereka suka. Mereka akan memuati kapal mereka untuk kepuasan hati mereka dengan pohon-pohon ảnti hijau [segar], dan semua hal yang baik dari negeri itu.
Pemuatan kapal barang dengan sejumlah besar keajaiban dari tanah Punt, dengan kayu-kayu yang baik dari Tanah Suci, tumpukan getah ảnti, dan pohon-pohon ảnti hijau …
“… di pelabuhan ảnti Punt …
ini adalah tumpukan ảnti hijau [segar] yang banyak jumlahnya; penimbangan ảnti hijau dalam jumlah besar untuk Amon, penguasa takhta dua wilayah, dari keajaiban Tanah Punt, dan hal-hal yang baik dari Tanah Suci
Tiga puluh satu pohon ảnti hijau, yang dibawa diantara keajaiban Punt untuk Dewa yang mulia ini, Amon Ra, penguasa tahta dua wilayah; belum pernah terlihat seperti itu sejak dulu.
Ảnti (Naville, 1898), anå (Mariette, 1877) atau 'ntyw (beberapa penulis lain) termasuk pohon dengan nama yang sama, diyakini oleh penulis adalah pohon dan getah kemenyan.
Naville (1898) dan Edwards (1891) menjelaskan dengan begitu banyak kata-kata tentang ảnti atau kemenyan yang terdapat pada relief di Deir el-Bahari. Ảnti (kemenyan) digolongkan sebagai barang mewah yang digunakan secara luas di Mesir untuk ritual keagamaan. Tujuan utama ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt adalah untuk mendapatkan ảnti. Ảnti (kemenyan), yang terdiri dari empat belas jenis yang berbeda, adalah produk Tanah Punt yang paling penting. Pohon-pohon ini dikumpulkan dalam ekspedisi Hatshepsut ke Tanah Punt; dibawanya menggunakan lima buah kapal barang, selain flora dan fauna lainnya, dan kemudian dibudidayakan di Taman Amon di Wilayah Selatan. Getah kering ảnti yang disadap dari penanaman kembali di Wilayah Selatan kemudian menjadi produk utama daerah tersebut. Akar pohon ảnti yang masih utuh dipercaya ditemukan di Djeser-Djeseru, yang pernah menghiasi halaman di depan kuil.
Kemenyan telah digunakan oleh masyarakat Mesir kuno dalam campuran wewangian dan dupa mereka. The apothecary of Shemot (dalam Kitab Keluaran) telah mengenal penggunaan wewangian. Kemenyan memiliki sejarah yang terpendam di zaman kuno dan pernah digunakan sebagai dupa di Mesir. Senyawa-senyawa yang diidentifikasi sebagai getah kemenyan kering telah terdeteksi dalam residu organik yang terdapat didalam keramik pedupaan di Mesir, dengan demikian terbukti bahwa getah kering ini digunakan sebagai salah satu komponen campuran bahan organik yang dibakar sebagai dupa pada zaman Mesir kuno (Modugno et al, 2006). Formula parfum Mesir kuno (1200 SM) adalah mengandung kemenyan sebagai salah satu bahan utamanya (Keville et al, tanpa tahun).
Ảnti, anå atau 'ntyw mungkin adalah suatu jenis bahan pembuat dupa yang sama dengan onycha (Yunani: ονυξ), salah satu komponen yang digunakan dalam kebaktian Ketoret yang terdapat dalam Kitab Taurat Keluaran (Kel 30: 34-36) dan digunakan didalam kuil Sulaiman di Yerusalem. Bochart, peneliti Alkitab terkenal menyatakan dalam salah satu topik penelitiannya bahwa onycha sebenarnya adalah kemenyan, suatu getah kering yang disadap dari spesies pohon Styrax (Abrahams, 1979). Abrahams menyatakan bahwa penggunaan kemenyan sebagai dupa dalam Alkitab bukannya tidak bisa terbayangkan karena suku Siro-Arab mempertahankan jalur perdagangan yang luas sebelum Helenisme. Styrax benzoin telah didatangkan ke tanah-tanah yang disebutkan dalam Alkitab selama era Perjanjian Lama. Herodotus dari Halicarnassus pada abad ke-5 SM menyatakan bahwa berbagai jenis getah kemenyan kering telah diperdagangkan. Nama benzoin yang dikenal dalam bahasa Inggris kemungkinan berasal dari bahasa Arab luban jawi (لبا جاوي, “kemenyan dari Jawa”); dikaitkan dengan istilah di Timur Tengah gum benjamin dan benjoin. Orang-orang Hindustan menyebut kemenyan sebagai lobanee atau luban.
Kata storax adalah kata yang sama dalam bahasa Latin Akhir styrax yang berarti “kemenyan”. Juga terdapat dalam himne puji-pujian στόρακας (storaxas) atau στόρακα (storaxa). Kata shecheleth berubah menjadi onycha setelah diterjemahkan dalam Kitab Septuaginta. Kata onycha berasal dari batu onyx yang berarti “kuku”. Penulis lain mengatakan bahwa shecheleth dalam bahasa Ibrani adalah sama dengan shehelta dalam bahasa Suryani yang diterjemahkan sebagai “air mata atau destilasi” dan bahwa konteks dan etimologinya tampaknya berasal dari getah tanaman wewangian. Kitab Pengkhotbah menyebutkan bahwa storax adalah salah satu bahan untuk meramu dupa suci tabernakel dalam Alkitab. Orang-orang Hindustan menggunakan kemenyan untuk dibakar di kuil-kuil mereka – suatu hal yang sangat mendukung hipotesis bahwa kemenyan merupakan bagian campuran untuk meramu dupa dalam Kitab Keluaran.
Kemenyan telah lama melegenda di Asia Tenggara. Kemenyan yang dalam bahasa Melayu berasal dari bahasa Melayu Kuno kamanyang, di Jawa dan Bali disebut menyan. Istilah internasionalnya, benzoin, berasal dari bahasa Arab yang merujuk ke Jawa, luban jawi (“kemenyan dari Jawa”), sehingga istilah aslinya adalah menyan. Apabila kita menghilangkan awalan ke dan me maka kata dasarnya adalah nyan. Penyebutan kata ini juga kadang-kadang hanya nyan saja. Nama Trunyan di Bali berasal dari kata taru nyan yang berarti “pohon kemenyan”, yang banyak tumbuh disana. Kata nyan adalah memiliki kemiripan dengan istilah ảnti (Naville, 1898), anå (Mariette, 1877) atau 'ntyw (beberapa penulis lain) yang terdapat pada prasasti-prasasti di Mesir.
Getah kemenyan disadap dari beberapa jenis pohon kemenyan. Kemenyan digunakan sebagai bahan campuran dalam membuat dupa, parfum dan obat-obatan. Di Asia Tenggara, dihasilkan dua jenis getah kering: kemenyan Siam, dihasilkan dari Styrax tonkinensis di Laos, Vietnam dan Tiongkok selatan; dan kemenyan Sumatera, dihasilkan dari Styrax paralleloneurum dan Styrax benzoin di Sumatera. Kemenyan Sumatera adalah getah kering yang disadap dari pohon kemenyan, banyak dihasilkan di hutan dataran tinggi Sumatera Utara dan tersebar di seluruh pulau.
Daun pohon kemenyan berbentuk bulat panjang, berukuran 4 – 15 cm panjangnya dan 5 – 7,5 cm lebarnya, sangat mirip dengan yang tergambar pada relief di Deir el-Bahari.
Styrax benzoin adalah sebuah spesies pohon yang asli Sumatera. Nama-nama umumnya antara lain pohon gum benjamin, pohon loban (dalam bahasa Arab), pohon kemenyan (di Indonesia dan Malaysia), pohon onycha dan pohon benzoin Sumatera. Pohon kemenyan adalah phon yang umum dikenal di hutan Sumatera, tumbuh dengan tinggi sekitar 24 sampai 48 meter. Styrax benzoin telah dibudidayakan di Sumatera sebagai penghasil utama getah kemenyan kering di Indonesia.
Styrax benzoin di Indonesia biasanya disebut kemenyan durame (Styrax benzoine), kemenyan bulu (Styrax benzoine var hiliferum), kemenyan Toba (Styrax paralleloneurum), dan kemenyan siam (Styrax tokinensis). Styrax benzoin memiliki beberapa sinonim seperti Benzoin officinale (Hayne); Benzoina vera (Rafin); Cyrta dealbata (Miers); Lithocarpus benzoin (Royle); Plagiospermum benzoin (Pierre); Styrax benjuifer (Stokes); dan Styrax dealbata (Gurke).
Kemenyan telah disalahartikan sebagai frankincense, yang biasanya dimaksudkan dengan getah eksudat dari Boswellia spp di Arab dan Afrika. Ada kemungkinan bahwa istilah frankincense berasal dari kemenyan yang berasal dari Indonesia dan diperdagangkan oleh orang-orang Arab, yang dianggap sebagai salah satu jenis frankincense, paling tidak 700 tahun yang lalu.
Pada abad ke-9, kedua jenis getah kemenyan kering sudah diperdagangkan di Tiongkok dan digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional (kemenyan Sumatera) dan wewangian (kemenyan Siam). Para pedagang Arab berperan dalam perluasan perdagangan kemenyan, dan telah menjadi salah satu barang dagangan yang paling mahal dari Timur.
Naskah-naskah geografi Arab pada abad ke-9 dan seterusnya menyebutkan Fansur dan Balus sebagai penghasil kamper dan kemenyan dengan kualitas tinggi. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa, pada abad ke-10, pedagang Arab mengunjungi Fansur dan Balus melalui Srilanka, dalam ekspedisi perdagangan yang khusus ditujukan untuk membeli kamper dan kemenyan yang terkenal di kawasan itu. Fansur diidentifikasi sebagai Pancur dan Balus adalah Barus, dua daerah di pantai baratdaya Sumatera. Beberapa penulis menduga bahwa Pancur adalah Tanah Punt.
Kemenyan Sumatera memiliki pangsa pasar modern yang lebih besar, yaitu sekitar 4.000 ton per tahun dibandingkan dengan 70 ton per tahun untuk kemenyan Siam (Katz et al, 2002), meskipun harganya lebih rendah di pasar internasional.
Getah kemenyan telah disadap selama berabad-abad dari pohon liar yang tumbuh secara alami di Sumatera, dan setelah pasarnya meluas masyarakat setempat mulai menanam pohon kemenyan di kebun mereka. Tidak jelas kapan budidaya tersebut dimulai tetapi telah ada setidaknya selama 200 tahun. Cara pengelolaannya telah digambarkan dalam laporan Belanda pada akhir abad ke-19, dan cara-cara yang dilakukan saat ini tidak jauh berbeda.
Bukit Kemenyan di Bengkulu, dari namanya adalah sebuah hutan kemenyan. Daerah ini berada di wilayah suku Rejang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan orang Mesir, yang akan dibahas setelah ini.

6) Pohon eboni

Figure 22
Gambar 22. Pohon eboni: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) – (g) berbagai macam pohon eboni Indonesia; (h) – (j) kayu eboni
Seperti yang dijelaskan oleh Naville (1898) dan Edwards (1891), orang-orang Mesir memperdagangkan kayu eboni dari Tanah Punt. Relief di Deir el-Bahari memperlihatkan orang-orang Mesir sedang memotong cabang-cabang pohon eboni (seperti pada gambar diatas), dengan tulisan “memotong eboni dalam jumlah besar” (Edwards, 1891), kayunya kemudian dibawa ke atas kapal oleh orang-orang negro. Yang tertulis habni (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan sebagai “eboni”. Kapal-kapal itu sarat dengan kayu eboni. Dalam antrian panjang menghadap ratu, orang-orang Punt membawa kayu eboni. Tumpukan kayu eboni yang terlihat di Taman Amon adalah diantara barang-barang yang diperdagangkan.
Kayu eboni (kayu hitam) adalah kayu yang dihasilkan sebagian besar oleh pohon dari spesies yang berbeda-beda dalam genus Diospyros. Kayu eboni adalah kayu yang cukup padat sehingga tenggelam dalam air. Kayunya bertekstur halus dan permukaannya dapat menjadi sangat halus setelah dipoles, sehingga menjadi barang-barang hias yang bernilai tinggi.
Kayu eboni memiliki sejarah panjang pemanfaatannya, dan potongan-potongan ukiran kayu eboni telah ditemukan di makam-makam Mesir kuno. Pada akhir abad ke-16, lemari yang terbuat dari kayu eboni merupakan barang perdagangan yang mewah di Antwerp. Kayu yang keras dan padat membuatnya mudah dibentuk dengan halus dan dimanfaatkan sebagai benda ukiran yang terukir rinci dengan relief-relief yang halus, biasanya untuk relief-relief figuratif atau yang diambil dari sejarah klasik atau Kristen. Tidak lama kemudian, lemari-lemari yang seperti itu juga dibuat di Paris, dengan para pembuatnya dikenal dengan sebutan ébénistes, yang sampai sekarang masih menjadi istilah Perancis untuk pembuat lemari.
Spesies-spesies kayu eboni meliputi Diospyros ebenum (eboni Srilanka) yang berasal dari India selatan dan Srilanka; Diospyros crassiflora (eboni Gabon) yang berasal dari Afrika barat; dan Diospyros celebica (eboni Makassar) yang berasal dari Indonesia dan berharga karena kesan mewahnya dan serat kayunya yang berwarna-warni. Eboni Mauritius (Diospyros tesselaria) sebagian besar dimanfaatkan oleh Belanda pada abad ke-17. Beberapa spesies dalam genus Diospyros merupakan eboni dengan sifat fisik yang sama, tetapi lebih bergaris-garis daripada hitam merata (Diospyros ebenum).
Eboni Asia Tenggara meliputi Diospyros areolata di Semenanjung Malaya (Thailand dan Malaysia); Diospyros bantamensis di Sumatera, Jawa dan Kalimantan; Diospyros blancoi, sering disebut dengan nama lain Diospyros discolor, Diospyros blancoi atau mabolo, berasal dari Filipina; Diospyros borneensis di Tiongkok, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera dan Kalimantan; Diospyros buxifolia, ki merak, rangkemi atau meribu di India, Indocina, Thailand, dan seluruh nusantara sejauh Papua; Diospyros canaliculata (sinonim: Diospyros cauliflora, Diospyros xantho Chlamys) di India, Myanmar, Indocina, Thailand dan Nusantara, buahnya digunakan sebagai ubar (pewarna) untuk jaring dan pakaian; Diospyros celebica, eboni Makassar, endemik di Sulawesi, dan dalam bahaya kepunahan; Diospyros clavigera (sinonim: Diospyros malaccensis); kayu arang, di Semenanjung Malaya, Singapura, Kepulauan Lingga, hingga Bangka; Diospyros confertiflora, nyangit toan, di Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan dan Bangka, di hutan gambut, hutan kerangas dan hutan pegunungan rendah hingga ketinggian 1.250 meter di atas permukaan laut; Diospyros curranii, tersebar di Asia Tenggara (Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand), Sumatera, Kalimantan sejauh Filipina; Diospyros digyna (sinonim: Diospyros nigra, Diospyros ebenaster), sawo hitam, kesemek hitam, sapote hitam, zapote negro, diyakini berasal dari Meksiko dan Guatemala, dan penakluk Spanyol abad pertengahan membawanya ke Filipina, yang kemudian menyebar ke Sulawesi dan Maluku, buahnya memiliki kulit hijau, yang menjadi hitam saat masak, dagingnya coklat dan manis, dimakan segar atau dibuat menjadi minuman dan kue-kue; Diospyros discocalyx, endemik di Sabah; Diospyros durionoides, kayu arang durian, endemik di Kalimantan; Diospyros evena, kayu malam, hanya terdapat di Kepulauan Pasifik dan Kalimantan; Diospyros Ferrea, bibisan, tersebar dari Afrika Barat, India, Indocina, Nusantara sampai ke utara di Ryukyu dan ke timur di Australia, Melanesia dan Polynesia; dan beberapa yang lainnya lebih dari 50 spesies.

7) Kayumanis

Figure 23
Gambar 23. Kayumanis: (a) hutan di Kerinci, Sumatera; (b) kayu diangkut oleh orang; (c) pengeringan kulit; (d) kulit kayus
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa kayumanis adalah produk dari Tanah Punt. Yang tertulis tesheps (Naville, 1898) diterjemahkan oleh Naville sebagai “kayumanis”. Yang tertulis khesyt (Naville, 1898) mungkin dapat berarti kayu kasia.
Kulit kayumanis, diperoleh dari sejumlah pohon dalam genus Cinnamomum, umumnya digunakan sebagai bumbu makanan. Sementara ada yang menganggap yang benar-benar kayumanis, namun dalam perdagangan internasional terdapat kasia yang juga disebut kayumanis. Kayumanis dihasilkan dari selusin lebih spesies pohon yang juga menghasilkan rempah-rempah komersial lain yang semuanya adalah anggota genus Cinnamomum dalam keluarga Lauraceae.
Kayumanis begitu sangat berharga bagi bangsa-bangsa kuno dan dianggap cocok sebagai hadiah untuk para raja dan bahkan para dewa: sebuah prasasti telah mencatat hadiah kayumanis dan kasia di kuil Apollo di Miletus. Orang-orang Yunani menggunakan kásia atau malabathron untuk tambahan rasa anggur, bersama-sama dengan absinth wormwood (Artemisia absinthium). Theophrastus menilai tanaman tersebut adalah baik dan menjelaskan cara yang aneh untuk memperolehnya: setelah kayunya digerogoti oleh cacing maka tinggal kulitnya. Ramuan Mesir kyphi, suatu wewangian untuk dibakar, adalah mengandung kayumanis dan kasia semenjak zaman Helenistik dan seterusnya. Hadiah penguasa Helenistik untuk kuil kadang-kadang termasuk kasia dan kayu manis serta dupa, myrrh dan kostos (dupa India), sehingga dapat disimpulkan bahwa orang-orang Yunani menggunakannya untuk tujuan yang sama.
Selama Abad Pertengahan, asal kayumanis adalah sebuah misteri bagi dunia Barat. Dari penulis Latin yang dikutip oleh Herodotus, orang Eropa telah mengetahui bahwa kayumanis datang dari Laut Merah ke pelabuhan perdagangan Mesir, tapi dari mana asalnya kurang jelas. Ketika Sieur de Joinville menyertai rajanya ke Mesir dalam perang salib pada 1248, ia melaporkan – dan percaya – ia telah diberitahu: kayumanis tertangkap dalam jaring di Sungai Nil yang datangnya dari ujung dunia.
Melihat latar belakangnya, kayumanis ditanam terutama di Indonesia, Vietnam dan Tiongkok, dan yang jarang dan relatif lebih mahal berasal dari Srilanka. 85% kayumanis di pasar dunia saat ini berasal dari Indonesia, sebagian besar berasal dari Sumatera, di suatu daerah yang disebut Kerinci. Tanah yang subur di lereng dataran tinggi Kerinci dengan curah hujan yang tinggi secara luas ditumbuhi oleh pohon kayumanis yang menghasilkan kulit kayumanis berkualitas tinggi.

8) Kamper

Figure 23a.png
Gambar 24. Kamper: (a) pohon; (b) daun dan buah; (c) kristal
Pohon kamper (Cinnamomum camphora) adalah pepohonan yang menghasilkan kamper, sejenis pohon besar yang terdapat di Asia (khususnya di Sumatera dan Kalimantan). Kamper juga dapat disadap dari pohon kapur (Dryobalanops spp), pohon yang tinggi di daerah tersebut juga.
Pohon kamper yang harum dan yang dihasilkannya, seperti minyak kamper, telah didambakan sejak zaman kuno. Kamper memiliki sejarah yang luas dalam penggunaannya secara tradisional, terutama digunakan sebagai fumigan pada zaman Kematian Hitam (Black Death) di Mesir dan dianggap sebagai bahan yang berharga dalam pembuatan wewangian dan cairan pembalseman di Mesir dan Babilonia kuno..
Kata camphor dalam bahasa Inggris adalah berasal dari bahasa Perancis camphre, yang berasal dari bahasa Latin Pertengahan camfora, dari bahasa Arab kafur dan dari bahasa Sansekerta कर्पूरम् (karpūram). Semua istilah tersebut berasal dari bahasa Melayu Kuno kapur barus yang berarti “kapur dari Barus”. Barus adalah nama sebuah pelabuhan kuno yang terletak di dekat kota Sibolga sekarang di pantai barat pulau Sumatera (di Provinsi Sumatera Utara). Pelabuhan ini awalnya dibangun sebelum adanya perdagangan kamper, kemenyan dan rempah-rempah antara Batak dan India. Para pedagang dari India, Asia Timur dan Timur Tengah menggunakan istilah “kapur barus” untuk membeli getah kering yang disadap dari pohon kamper (Cinnamomum camphora) dari penduduk lokal suku Batak; pohon kamper adalah endemik di daerah itu. Dalam bahasa proto Melayu-Austronesia juga dikenal sebagai “kapur barus”. Bahkan sampai sekarang, bahasa-bahasa daerah dan Indonesia pada umumnya masih menyebut bola-bola naftalena dan pengusir serangga sebagai “kapur barus”.

9) Balsem

Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa balsem adalah produk dari Tanah Punt. Yang tertulis åhemtu (Naville, 1898) diterjemahkan oleh Naville sebagai “balsem”. Åhemtu mungkin juga yang dimaksud adalah kamper karena kamper adalah salah satu bahan untuk meramu balsem.
Balsem adalah campuran resin tanaman khusus yang terdiri dari larutan bahan organik tertentu (berupa minyak). Resin tersebut dapat meliputi resin-resin asam, ester atau alkohol. Eksudatnya berupa cairan yang agak cair sampai kental dan sering mengandung partikel resin yang mengkristal. Setelah dalam waktu lama dan karena beberapa pengaruh, eksudatnya kehilangan komponen cairnya atau tereaksi secara kimiawi sehingga berubah menjadi bahan yang padat (teroksidasi dengan sendirinya).
Kamper dianggap sebagai bahan yang berharga dalam meramu cairan balsem di Mesir dan Babilonia kuno. Beberapa penulis menyatakan bahwa balsem mengandung asam benzoat dan sinamat atau ester-esternya. Seperti disebutkan diatas, bahan-bahan tanaman ini banyak terdapat di Sumatera.

10) Minyak pala

Figure 23b
Gambar 25. Pala: (a) dan (b) pohon; (c) buah; (d) biji; (e) minyak
Corpus delicti (istilah yurisprudensi Barat tentang bukti kejahatan sebelum menjatuhkan hukuman) – berupa sebuah botol kecil – yang terdapat diantara harta Firaun Hatshepsut mengandung sejumlah besar minyak kelapa dan pala (Wiedenfeld et al, 2011).
Biji dan kulit pala yang keduanya adalah produk pohon pala, berasal dari beberapa spesies pohon dalam genus Myristica. Genus ini terdiri dari sekitar 100 spesies yang terdapat di daerah tropis, terutama di wilayah Malaya; tetapi spesies komersial yang paling penting adalah Myristica fragrans, sebuah pohon asli dari Kepulauan Banda di Maluku yang mengandung cukup banyak sari minyak wewangian sehingga sangat bernilai untuk dibudidayakan. Biji pala adalah biji yang terdapat di bagian dalam buah pala; kulit pala adalah kulit bagian luarnya yang telah dikeringkan. Biji pala biasanya terdapat dalam bentuk bubuk. Pala adalah satu-satunya buah tropis yang menghasilkan dua macam rempah-rempah yang berbeda, yang diambil dari buah pala. Produk-produk komersial lainnya juga dihasilkan dari pala, termasuk minyak, salep dan mentega.
Pala juga dibudidayakan di Pulau Penang di Malaysia, di Karibia, terutama di Grenada, dan di Kerala, negara yang sebelumnya dikenal sebagai Malabar dalam tulisan-tulisan kuno sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di India selatan. Spesies lain yang mirip dengan pala antara lain Myristica argentea dari Papua dan Myristica malabarica dari India. Pada abad ke-17, sebuah karya Hendrik van Rheede yang berjudul Hortus Botanicus malabaricus menulis bahwa orang India belajar pemanfaatan pala dari orang Indonesia melalui rute perdagangan kuno.

11) Sapi tanduk pendek

Figure 24
Gambar 26. Sapi tanduk pendek: (a) – (f) Punt, Naville (1898) dan Punt, Deir el-Bahari, berselang-seling; (g) Sumatera; (h) Madura; (i) Bali; (j) Jawa
Seperti yang dijelaskan oleh Naville (1898) dan Edwards (1891), orang-orang Mesir juga memperdagangan sapi bertanduk pendek dari Tanah Punt. Dari ilustrasi Naville dan relief di Deir el-Bahari, terlihat sapi-sapi ini berbeda dengan sapi bertanduk panjang yang juga terdapat pada relief, dari Wilayah Selatan, yaitu daerah Nil Hulu yang lebih seperti sapi sanga (sapi Afrika).
Nama-nama Asia Tenggara untuk sapi adalah banteng atau tembadau (liar), dan sapi atau lembu (dipelihara). Banteng (Bos javanicus) adalah spesies sapi liar yang terdapat di Asia Tenggara. Banteng telah didomestikasi di beberapa tempat di Asia Tenggara, dan telah terdapat sekitar 1,5 juta banteng domestik, yang disebut sapi Jawa (Bos javanicus domesticus), sapi atau lembu. Hewan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi di wilayah tersebut dan digunakan sebagai hewan pekerja dan pedaging. Banteng juga telah diperkenalkan ke Australia Utara, dimana telah terbentuk populasi liar yang stabil.
Subspesies-subspesies berikut telah dikenal: banteng Jawa (Bos javanicus javanicus) terdapat di Jawa dan Bali, yang jantan berwarna hitam dan betinanya kekuning-kuningan. Banteng Kalimantan (Bos javanicus lowi) terdapat di Kalimantan, lebih kecil dari banteng Jawa dan memiliki tanduk yang tajam; sapi jantannya berwarna coklat. Banteng Burma (Bos javanicus birmanicus) terdapat di Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos dan Vietnam, baik yang jantan maupun betinanya berwarna kekuning-kuningan, tetapi di Kamboja, 20% sapi jantannya berwarna kehitaman, dan di Semenanjung Malaya di Thailand, sebagian besar jantannya berwarna hitam.
Dalam mitos mereka, sapi dianggap sebagai hewan suci di Nusantara. Batara Guru dianggap sebagai dewa tertinggi yang dilambangkan selalu menaiki seekor sapi suci, yaitu Lembu Andini.
Fosil Bos palaesondaicus telah ditemukan di Jawa berusiakan masa Pleistosen dan termasuk dalam subfamili Bovinae. Penemuan ini dikemukaan pertama kali oleh ahli paleoantropologi Belanda Eugène Dubois pada tahun 1908. Holotip Bos palaesondaicus adalah berupa sebuah tengkorak yang ditemukan di Trinil. Spesies ini adalah kemungkinan nenek moyang banteng (Bos javanicus).
Zebu (Bos primigenius indicus atau Bos indicus atau Bos taurus indicus), kadang-kadang dikenal sebagai sapi India, sapi berpunuk atau sapi brahman, adalah spesies atau subspesies sapi domestik yang berasal dari Asia Selatan. Zebu ditandai dengan punuk lemak di bahunya, kulit leher yang besar dan kadang-kadang telinga yang teruntai. Zebu diduga berasal dari auroch Asia, dan kadang-kadang dianggap sebagai suatu subspesies tersendiri, Bos primigenius namadicus. Auroch Asia liar telah punah dalam masa Peradaban Lembah Indus, dari kumpulannya yang tersebar di sekitar lembah Indus dan bagian lain di Asia Selatan, mungkin karena perkawinan silangnya dengan zebu dan fragmentasi populasi liar karena kehilangan habitatnya (Rangarajan, 2001).
Sapi Jawa dan sapi Sumatera diyakini berasal dari zebu (istilah “sapi”, “lembu” dan “zebu” diyakini dari asal yang sama). Bukti arkeologi menunjukkan bahwa spesies ini mulai terdapat di Mesir sekitar 2000 SM, diyakini telah pertama kali terdapat di Sub-Sahara Afrika antara 700 dan 1500 M, dan dibawa ke Tanduk Afrika sekitar 1000 M. Hal ini menunjukkan bahwa ekspedisi ke Tanah Punt, dimana sapi merupakan salah satu jenis hewan perdagangan, adalah kearah timur, ke Asia Tenggara/Selatan.

12) Kuda poni

Figure 25
Gambar 27. Kuda poni: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Sumatera Barat; (d) Batak; (e) Jawa; (f) Sumba and Sumbawa; (g) Flores; (h) Sandalwood (Sumba)
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan “Keledai besar yang membawa istrinya” yang menjelaskan tentang seekor kuda berukuran kecil yang tergambar pada relief. Sisa-sisa prasasti yang telah rusak menyebukan bahwa gajah dan kuda adalah diantara hewan-hewan yang dibawa dari Tanah Punt untuk dipersembahkan kepada Ratu Hatshepsut.
Kuda-kuda di Tanah Punt, salah satunya adalah untuk membawa wanita gemuk Ati dan yang lainnya untuk mengangkut barang, memiliki punggung panjang, perut ramping, kaki-kaki ramping, dada dan bahu tipis, leher panjang dan ramping, kepala kecil, memanjang dan meruncing, postur badan lurus, dan matanya yang kecil lebih menyerupai kuda daripada keledai, kecuali telinganya yang besar dan panjang. Tingginya sekitar 1 meter lebih sedikit, sedikit lebih pendek daripada kuda Indonesia sekarang yang sekitar 1,2 meter.
Keturunan kuda asli Indonesia yang berbeda-beda adalah pendek dan ramping, tetapi masih kuat dan kokoh, sehingga lebih cocok disebut poni daripada kuda. Kuda poni ini diperkirakan keturunan kuda Mongolia yang disilangkan dengan kuda Arab atau kuda Tiongkok kuno. Pada umumnya, kuda-kuda ini berpostur baik, dan sebagian besar kekurangannya adalah karena makanan yang diberikan. Satu-satunya jenis yang memiliki kualitas yang lebih baik adalah kuda poni Sandalwood dari Sumba.
Kuda-kuda poni Indonesia memiliki kepala yang kecil atau sedikit lebih besar dengan profil lurus atau sedikit cembung. Lehernya panjang untuk beberapa keturunan tetapi pendek untuk yang lainnya, berotot dan ramping; kumbanya pendek dan menonjol. Dada dan bahunya tipis, punggungnya biasanya panjang, dan silang punggungnya miring. Kaki-kakinya ramping tetapi diperkuat dengan kuku-kukunya yang baik. Tinggi rata-ratanya sekitar 1,2 meter tetapi dapat mencapai 1,3 meter, dan umumnya berwarna cokelat, walaupun dapat berwarna yang lain.
Kuda-kuda poni Indonesia telah terus-menerus disilangkan dengan darah tambahan, umumnya kuda Arab untuk meningkatkan kualitasnya, sehingga dapat diperkirakan bahwa aslinya adalah lebih ramping dan lebih pendek dari apa yang kita lihat sekarang. Begitu pula telinganya mungkin lebih besar dan lebih panjang.
Kuda poni adalah maskot Kota Bengkulu, ditampilkan sebagai patung bernama Patung Kuda Kerdil yang terdapat di pusat kota.

13) Beruk

Figure 26
Gambar 28. Beruk: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Siberut; (d) Sumatera; (e) Kalimantan; (f) Sabah; (g) Thailand; (h) Pagai; (i) Kamboja; (j) untuk memetik kelapa di Sumatera
Relief di Deir el-Bahari memperlihatkan beberapa ekor beruk, pertama diatas geladak kapal yang sarat dan yang lainnya di antrian panjang pawai untuk menghadap ratu. Pada sebuah pecahan yang diilustrasikan oleh Neville, terlihat seekor beruk sedang memanjat pohon pinang, kemungkinan di Wilayah Selatan dimana beruk-beruk tersebut telah dikembangbiakkan disana. Pecahan lain pada baris atas relief menunjukkan seekor beruk yang menggendong bayinya. Pada prasasti disebutkan sebagai ảnảu (Naville, 1898) yang umumnya diterjemahkan sebagai “kera”.
Beruk terdapat di bagian selatan Semenanjung Melaya (hanya sampai ke Thailand selatan), Kalimantan, Sumatera dan Bangka, diklasifikasikan sebagai “beruk selatan” (Macaca nemestrina), dan di Kepulauan Pagai, Kepulauan Siberut, Bangladesh, Kamboja, Tiongkok, India, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam, diklasifikasikan sebagai “beruk utara” (Macaca leonina). “Beruk” adalah nama lokal di Indonesia dan Malaysia.
Beruk hidup di ketinggian mulai dari permukaan laut dan sampai di atas 2.000 m. Beruk tinggal di hutan-hutan, sebagian besar hutan hujan dan rawa-rawa. Lebih disukai hutan hujan yang lebat dan lembab.
Dalam satu kelompok atau koloni, beruk turun ke tanah untuk mencari buah-buahan yang jatuh. Kadang-kadang mereka pergi ke sungai atau danau untuk minum dan bermain. Induk yang baru melahirkan kadang-kadang terlihat membawa bayinya. Sementara beruk muda kadang-kadang turun-naik pohon dan bermain kejar-kejaran. Beruk biasanya berani mendekati manusia dan dapat menjadi teman. Di daerah Pariaman, Sumatera Barat, kera diajarkan untuk membantu memetik kelapa.
Pada tahun 2010, sebuah studi genetik dilakukan pada mumi babon yang diperkirakan dibawa kembali dari Tanah Punt oleh orang Mesir kuno. Dipimpin oleh tim peneliti dari Museum Mesir dan Universitas California, para ilmuwan menggunakan analisis isotop oksigen untuk memeriksa rambut dari dua mumi babon yang telah diawetkan di Museum Inggris. Salah satu babon telah terdistorsi data isotopnya, sehingga nilai-nilai isotop oksigen yang lain yang dibandingkan dengan spesimen babon modern dari daerah yang diperkirakan. Para peneliti menyimpulkan bahwa mumi tersebut paling cocok dengan spesimen modern yang terdapat di Eritrea dan Ethiopia daripada negara tetangganya, Somalia. Namun, penelitian ini tidak membuktikan apa-apa dengan alasan-alasan berikut. Para peneliti hanya bisa mengidentifikasi asal babon dari Lembah Para Raja. Babon lainnya, dari Thebes, tampaknya telah menghabiskan beberapa waktu tinggal di Mesir sebagai hewan peliharaan eksotis. Sementara tinggal di Mesir, dan mengkonsumsi makanan lokal, nilai isotop oksigennya berubah. Perubahan itu berarti bahwa peneliti tidak tahu dari mana asalnya. Oleh karena itu, tanda-tanda isotop yang dapat diidentifikasi hanya dari satu babon dan asal-usulnya masih sangat kabur.
Terdapat sebuah legenda yang terkenal di kalangan suku Rejang yang menceritakan tentang kisah seekor beruk putih. Masyarakat Rejang diduga memiliki budaya yang sama dengan masyarakat Mesir seperti yang akan dibahas setelah itu.

14) Badak bercula satu

Figure 27
Gambar 29. Badak bercula satu: (a) Punt, Deir el-Bahari; (b) Jawa; (c) Sumatera; (d) India; (e) Vietnam, dinyatakan punah pada 2011
Dua pecahan dari baris atas relief di Deir el-Bahari menunjukkan adanya badak bercula satu di Tanah Punt.
Naville (1898) berpendapat bahwa mungkin tanduk badak adalah salah satu produk dari Tanah Punt, bertuliskan nama yang umumnya diterjemahkan “gading”. Pada relief, benda-benda yang disebut “gading”, memiliki bentuk yang lebih mirip cula badak daripada gading gajah. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa yang dimaksud adalah tanduk kerbau atau sapi, seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Badak bercula satu di Asia Tenggara dikenal sebagai badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), badak Sunda atau badak bercula satu kecil. Sebagai badak Asia yang dulunya tersebar luas, badak Jawa terdapat di pulau Jawa dan Sumatera, di seluruh Asia Tenggara, sampai ke India dan Tiongkok. Spesies ini terancam punah, dengan hanya satu lokasi populasi yang dikenal di alam liar, dan tidak ada yang di penangkaran. Badak bercula satu mungkin merupakan mamalia besar terlangka di bumi, dengan populasinya yang hanya 58 – 61 ekor di Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa. Populasi kedua di Taman Nasional Cat Tien di Vietnam telah dikonfirmasi punah pada tahun 2011. Penurunan populasi badak Jawa adalah disebabkan oleh perburuan liar, terutama untuk diambil culanya, yang sangat bernilai tinggi dalam pengobatan tradisional Tiongkok.
Dalam keluarga yang sama, badak India (Rhinoceros unicornis), juga disebut badak bercula satu besar atau badak India besar, adalah badak asli dari anak benua India. Sebagai yang dulunya tersebar di Dataran Indo-Gangga, tetapi perburuan yang berlebihan dan perluasan pertanian telah mempersempit wilayahnya secara drastis menjadi tinggal 11 lokasi saja di India utara dan Nepal selatan.
Terdapat sebuah legenda di kalangan suku Rejang yang menceritakan sebuah kisah tentang seorang pria bernama Si Pahit Lidah yang bertemu dengan sekelompok badak, dan salah satu telah menjadi batu yang sekarang disebut Batu Badak karena disihir. Masyarakat Rejang diduga memiliki budaya yang sama dengan masyarakat Mesir seperti yang akan dibahas setelah ini.

15) Anjing

Figure 28
Gambar 30. Anjing: (a) dan (b) Punt, Naville (1898); (c) Punt, Deir el-Bahari; (d) dan (e) ajag, anjing asli Asia Tenggara
Relief di Deir el-Bahari dan pecahan yang diilustrasikan oleh Naville memperlihatkan anjing-anjing lokal Tanah Punt yang berkeliaran di sekitar rumah dan kebun atau sedang dipandu. Tulisan pada prasasti menjelaskan bahwa anjing adalah produk dari Tanah Punt.
Ajag (Cuon alpinus javanicus atau Cuon alpinus sumatrensis) yang juga dikenal sebagai anjing liar Asia adalah sejenis canid yang asli di Asia Tenggara. Spesies ini terdapat di Sumatera dan Jawa, mendiami terutama di daerah pegunungan dan hutan. Berukuran sedang dengan bulu coklat kemerahan, dan berwarna cemerlang di sepanjang leher bagian bawah dari bawah dagu sampai ke ujung depan perut. Ekornya panjang dan lebat dengan bulu kehitaman.
Peter Savolainen dari KTH Royal Institute of Technology di Swedia (2015) dan Ya-Ping Zhang dari Kunming Institute of Zoology di Tiongkok (2015) menunjukkan bahwa manusia pertama kali menjinakkan anjing di Asia Tenggara 33.000 tahun yang lalu, dan bahwa sekitar 15.000 tahun yang lalu subset nenek moyang anjing mulai bermigrasi ke Timur Tengah dan Afrika. Penyebarannya mungkin terinspirasi oleh persahabatannya dengan manusia, tetapi mungkin juga secara mandiri. Salah satu faktor pendorongnya mungkin adalah mencairnya gletser, yang dimulai sekitar 19.000 tahun yang lalu. Tidak sampai 5.000 tahun setelah pertama kali menyebar di Asia Tenggara, anjing diduga telah mencapai Eropa. Sebelum akhirnya menyebar ke Amerika, salah satu kelompok yang di Asia melakukan perkawinan silang dengan yang telah bermigrasi ke Tiongkok utara.

16) Macan tutul

Figure 29
Gambar 31. Macan tutul: (a) kulit, Mariette (1877); (b) Punt, Naville (1898); (c) Sumatera; (d) Kalimantan; (e) Jawa
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa kulit macan tutul adalah produk dari Tanah Punt. Yang tertulis ånemu nu åbyu (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan sebagai “kulit macan”. Pada relief terlihat tumpukan kulit macan yang oleh Mariette dan Duemichen diilustrasikan sebagai jenis yang bertutul tapi Naville tidak. Sebuah pecahan yang diilustrasikan oleh Naville memperlihatkan seekor macan sedang mengaum di Tanah Punt.
Macan tutul (Neofelis nebulosa) terdapat di kaki pegunungan Himalaya, Asia Tenggara dan Tiongkok. Macan tutul Sunda (Neofelis diardi) terdapat di Sumatera dan Kalimantan yang secara genetik berbeda dan telah dianggap sebagai spesies yang berbeda sejak tahun 2006.
Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) adalah subspesies macan tutul yang hanya terdapat di Jawa, memiliki bentuk kepala yang berbeda dengan sekutunya di Asia, dan merupakan takson yang berbeda yang memisahkan diri dari macan tutul Asia lainnya semenjak ratusan ribu tahun yang lalu.
Macan tutul Sunda adalah kucing terbesar yang terdapat di Kalimantan, dan memiliki tubuh yang kekar. Ekornya bisa tumbuh menjadi sepanjang tubuhnya, untuk membantu keseimbangan. Kulitnya ditandai dengan bentuk yang tidak teratur, oval bermata gelap yang menyerupai awan, sehingga namanya juga disebut sebagai “macan berawan” (clouded leopard).

17) Gading

Figure 30
Gambar 32. Gajah: (a) dan (b) gading di Punt, Naville (1898); (c) dan (d) Sumatera; (e) Kalimantan
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menjelaskan bahwa gading adalah produk dari Tanah Punt. Yang tertulis uảb (Naville, 1898) atau abw umumnya diterjemahkan sebagai “gading”. Pada reliefnya terlihat tumpukan gading yang dimuat keatas kapal dan juga terdapat di Taman Amon. Prasasti yang telah rusak menyebutkan gajah dan kuda adalah diantara hewan-hewan yang dibawa dari Tanah Punt untuk dipersembahkan kepada Ratu Hatshepsut.
Gajah Sumatera (Elephas maximus Sumateranus) adalah salah satu dari tiga subspesies gajah yang dikenal dengan gajah Asia, dan asli dari Sumatera. Secara umum, gajah Asia lebih kecil daripada gajah Afrika dan memiliki titik tertinggi di kepalanya. Ujung kaki-kakinya terdapat anggota yang menyerupai jari-jari. Punggungnya cembung atau rata. Yang betina biasanya lebih kecil dibandingkan yang jantan, dan memiliki gading yang pendek atau tidak ada sama sekali.
Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis), juga disebut gajah kerdil Kalimantan, saat ini terdapat di bagian timur laut Kalimantan. Telah biasa disebut bahwa gajah Kalimantan adalah subspesies yang kerdil. Tetapi kedua jenis kelamin gajah dewasa dari Sabah dapat memiliki tinggi yang sama dengan rekan-rekannya di Semenanjung Malaya. Tidak terdapat perbedaan karakter yang signifikan diantara kedua jenis hewan asli tersebut.
Gajah Jawa (Elephas maximus sondaicus), yang sekarang sudah punah, pernah terdapat di Jawa. Gajah ini identik dengan gajah Kalimantan.
Hutan Sumatera adalah banyak dihuni oleh gajah, sehingga terdapat banyak gading yang dihasilkan, dan diperdagangkan baik di pasar Tiongkok maupun Eropa. Gajah itu sendiri dulunya merupakan hewan yang dipergunakan dalam lalulintas perdagangan yang cukup besar dari Achin, Afghanistan sampai ke pantai Koromandel, dan kapalnya dibuat secara khusus untuk mengangkutnya.
Salah satu habitat gajah di Sumatera adalah di Seblat, Sumatera tengah-selatan, di wilayah Taman Nasional Kerinci-Seblat. Wilayah ini meliputi tempat tinggal masyarakat suku Rejang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan masyarakat Mesir seperti yang akan dibahas setelah ini.
Figure 31
Gambar 33. Tanduk: (a) dan (b) Punt, Naville (1898); (c) dan (d) prasasti yang tertulis pada tanduk sapi/kerbau, Kerinci, Sumatera; (e) kerbau
Naville (1898) berpendapat bahwa mungkin cula badak adalah salah satu produk dari Tanah Punt, bertuliskan nama yang umumnya diterjemahkan “gading”. Tetapi penulis berpendapat bahwa istilah yang dimaksud adalah tanduk sapi atau kerbau karena tanduk sapi/kerbau dapat dibuat menjadi perhiasan, peralatan rumah tangga dan barang-barang berharga lainnya sehingga memiliki nilai yang tinggi. Selain itu, tidak dikenal di Mesir bahwa cula badak digunakan sebagai ramuan obat-obatan, seperti di Tiongkok. Relief di Deir el-Bahari memperlihatkan gambar-gambar yang lebih menyerupai tanduk sapi atau kerbau daripada gading gajah atau cula badak.
Pembahasan tentang sapi di Sumatera telah disebutkan diatas. Kerbau (istilah di Indonesia dan Malaysia), juga disebut kerbau Asia, adalah hewan sapi-sapian besar yang asli di Asia Tenggara dan anak benua India. Kerbau adalah salah satu hewan dengan nilai ekonomi dan agama tertinggi yang digunakan sebagai hewan korban di Asia Tenggara, sub-benua India dan Tiongkok selatan. Kerbau juga sering digunakan untuk membajak sawah, untuk mempersiapkan tanah yang digunakan untuk pertanian menggunakan bajak kayu, di Asia Tenggara sejak zaman kuno.

18) Monyet

Figure 32
Gambar 34. Monyet: (a) Punt, Naville (1898); (b) lutung putih (Sumatera dan Kalimantan); (c) lutung Jawa;  (d) lutung Sumatera; (e) monyet Bali
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan bahwa monyet adalah produk dari Punt. Yang tertulis kefu (Naville, 1898) umumnya diterjemahkan sebagai “monyet”. Pecahan yang diilustrasikan oleh Naville menunjukkan gambar-gambar monyet di Tanah Punt.
Terdapat lebih dari 200 spesies primata (kera dan monyet) di dunia, 40 spesies atau 25% terdapat di Indonesia. Sayangnya, 70% primata di Indonesia terancam punah karena kehilangan habitatnya dan lingkungannya mengalami degradasi, dan juga perburuan untuk diperdagangkan. Salah satu faktor utama yang mengancam primata di Indonesia adalah perdagangan ilegal karena sebagian besar primata yang diperdagangkan adalah dari penangkapan liar. Setiap tahun, ribuan primata dari berbagai spesies telah diburu untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan atau untuk dikonsumsi dagingnya. Primata yang dikonsumsi dagingnya antara lain lutung Jawa (Trachypithecus auratus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung Sumatera (Presbytis thomasi, Presbytis melalophos), dan monyet babi (Macaca nemestrina, Macaca leonina). Daging primata ini telah salah diyakini memiliki khasiat penyembuhan, misalnya asma. Sebagian besar primata di Indonesia telah dilindungi oleh hukum sehingga perdagangan dan kepemilikannya adalah ilegal.

19) Penyu dan kura-kura

Figure 33
Gambar 35. Penyu dan kura-kura: (a) – (c) dan (f) – (h) penyu, kura-kura dan tempurungnya di Punt, Mariette (1877) dan Deir el-Bahari; (d) penyu kotak Asia; (e) kura-kura hutan Asia; (i) penyu raksasa Malaysia; (j) tempurung kura-kura
Pada bagian bawah setiap baris relief di Deir el-Bahari diperlihatkan gambar air dimana ikan, penyu dan kura-kura juga digambarkan. Barang-barang yang terdapat dibawah gambar gading yang terdapat dibawah sebuah pohon adalah tertulis kash (Naville, 1898), yang maknanya diragukan, tapi Naville menganggapnya sebagai tempurung kura-kura dilihat dari asal katanya.
Indonesia adalah negara yang kaya akan spesies penyu, kura-kura dan terrapin air tawar. Kebanyakan menghadapi kepunahan karena hilangnya habitat, perburuan dan konsumsi manusia. Diantara spesies-spesies yang hampir punah ini adalah penyu tempurung-lunak kepala-kecil Asia Tenggara (Chitra chitra), penyu air selatan (Batagur affinis), penyu warna-warni (Batagur borneoensis), penyu kepala ular Pulau Roti (Chelodina mccordi), penyu hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi), penyu tempurung-lunak raksasa Cantor (Pelochelys cantorii), kura-kura hutan Asia (Manouria emys emys), dan penyu berduri (Heosemys spinosa).
Penyu kotak Asia adalah sebuah penyu dari genus Cuora dalam keluarga Geoemydidae; terdapat sekitar 12 spesies. Penyu kotak lunas (Pyxidea mouhotii sin Cuora mouhotii) sering dimasukkan dalam genus ini, atau dipisahkan dalam genus monotip Pyxidea. Genus Cuora tersebar dari Tiongkok sampai Indonesia dan Filipina. Kura-kura hutan Asia (Manouria emys), yang juga dikenal dengan kura-kura coklat Asia, adalah spesies kura-kura yang terdapat di India (Assam), Bangladesh, Myanmar, Thailand, Malaysia dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan). Penyu raksasa Malaysia atau penyu sungai Kalimantan (Orlitia borneensis) adalah spesies kura-kura dalam keluarga Ailuridae yang terdapat di Indonesia dan Malaysia, termasuk dalam genus monotip Orlitia.
Kepulauan Asia Tenggara dengan bahan obat-obatan, rempah-rempah dan zat aromatiknya, serta dengan kayu berharga dan tempurung kura-kuranya adalah sebuah tautan yang penting dalam jaringan perdagangan kuno yang luas, hubungan antar benua. Catatan Romawi kuno, Taprobana, yang kini adalah Pulau Kalimantan, menghasilkan mutiara, batu permata, kain kasa dan tempurung kura-kura.

20) Ikan

Figure 34
Gambar 36. Ikan-ikan di Tanah Punt (Mariette, 1877)
Figure 35aFigure 35bFigure 35cFigure 35d
Gambar 37. Ikan laut dan ikan air tawar di Asia Tenggara
Pada bagian bawah setiap baris relief di Deir el-Bahari diperlihatkan gambar air dimana ikan, penyu dan kura-kura juga digambarkan.
Perikanan merupakan bagian yang integral dalam cara hidup masyarakat Asia Tenggara. Dua belas negara di wilayah ini (Myanmar, Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Indonesia, Kamboja, Macau, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam) yang saling berbatasan adalah bangsa-bangsa nelayan tradisional meskipun besarnya usaha penangkapan bervariasi dari satu negara dengan yang lain. Arus permukaan laut didalam wilayah tersebut berubah arah sepenuhnya dalam kedua musim, dengan pengecualian di Selat Malaka dimana arusnya selalu kearah utara, meskipun besarnya bervariasi sesuai dengan musim. Perbedaan karakteristik lingkungan setiap kawasan tersebut menentukan keragaman spesies dan ekologi sumberdayanya. Keragaman sumberdaya yang khusus untuk setiap kawasan, yang diperoleh dari lingkungan setiap kawasan tersebut,  mengakibatkan adanya berbagai macam sifat spesies ikan; dari ikan yang tumbuh dan dewasa dalam rentang hidup yang relatif singkat, sampai yang bertelur beberapa kali atau terus-menerus sepanjang tahun.
Wilayah tersebut juga ditandai dengan penyebaran terumbu karang yang berlimpah, terutama di bagian paling barat dan timur wilayah, serta bakau dimana terdapat aliran air tawar dari sungai. Sebutan “Segitiga Karang” adalah meliputi enam negara Indo-Pasifik yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Kepulauan Solomon, Papua Nugini dan Timor-Leste.
Asia Tenggara memiliki garis pantai sepanjang 173.000 kilometer dan wilayah laut lebih dari 4,4 juta kilometer persegi (UNESCAP, 2006). Asia Tenggara diperkirakan memiliki 2.500 spesies ikan (ASEAN, 2002). Negara-negara pantai di wilayah ini adalah produsen ikan yang signifikan. Segitiga Karang merupakah tempat bagi 600 spesies karang dan lebih dari 1.300 spesies ikan yang terkait dengan karang (ASEAN, 2013).

21) Logam mulia

Figure 36
Gambar 38. Emas: (a) dan (b) Punt, Naville (1898); (c) dari tambang purba Lebongdonok (Sumatera); (d) busana Sriwijaya
Emas dari Tanah Punt tercatat telah ada di Mesir sejak Firaun Khufu dari Dinasti ke-4. Ekspedisi Firaun Sahure dari Dinasti ke-5 juga membawa elektrum dari Tanah Punt, sebuah paduan alami emas dan perak, diantara barang-barang lainnya.
Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan bahwa logam mulia termasuk emas adalah produk dari Tanah Punt. Beberapa cincin emas terlihat pada relief. Naville membaca tulisan pada prasasti sebagai cincin-cincin dan kotak yang penuh dengan logam åsem, yang dalam bahasa Yunani elektrum, juga disebut sebagai åsemos dalam papirus Mesir, suatu paduan emas dan perak. Pada relief terlihat persembahan yang dibawa oleh orang-orang dari Tanah Punt yang terdiri dari emas berbentuk cincin, diantara barang-barang lainnya. Salah satu anak Parehu membawa semangkuk serbuk emas.
Naskah-naskah Tiongkok dan India kuno berbicara tentang harta emas yang dipercaya dapat ditemukan di berbagai bagian Asia Tenggara. Salah satu daerah ini dikenal dengan nama Sansekerta Suvarnadvipa (“Pulau Emas”), yang menurut sebagian ilmuwan mengacu kepada Sumatera, meskipun ada yang berpendapat bahwa nama ini mungkin wilayah yang lebih besar di Asia Tenggara. Walaupun bukti tekstual masih disangsikan, namum terdapat banyak bukti fisik yang menunjukkan bahwa Sumatera adalah tempatnya industri pertambangan emas yang berkembang di masa pra-sejarah. Pada waktu penjelajah Eropa dan pedagang datang ke pulau tersebut, mereka menemukan sisa-sisa aluvial yang meluas dan sebuah pertambangan emas bawah tanah. Sisa-sisa penambangan yang sangat ekstensif menunjukkan bahwa telah dikerahkan tenaga kerja yang sangat banyak dan terorganisir, dan mungkin imigran India mengajarkan penduduk asli tentang cara-cara mengatasi kesulitan membuat bangunan dan terowongan. Situs-situs yang besar adalah Lebongdonok di Bengkulu, dimana batu asah besar dan koin emas klasik telah ditemukan,  penggalian bawah tanah di aluvial purba yang ditutupi oleh endapan vulkanik di Jambi, dan Salido di Sumatera Barat. Bahan limbah yang diambil di sekitar Lebongdonok mengandung 180 – 200 g/t emas dan 300 – 1200 g/t perak, menunjukkan bahwa pertambangan tersebut adalah sangat besar. Terdapat bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa di Kotacina telah terdapat peleburan dan kerajinan emas, yang merupakan pusat perdagangan utama antara abad ke-12 dan ke-14, terletak 6 km sebelah baratdaya Belawan di Sumatera Utara, dan air raksa telah digunakan untuk penyelaputan. Endapan aluvial yang terdapat di sekitarnya mungkin merupakan sumber emas utamanya. Penambangan yang terdekat terletak 50 km di sebelah baratdaya Kotacina.
Selain bukti fisik tersebut, terdapat cerita, legenda dan laporan tertulis yang menunjukkan bahwa emas memainkan peran penting dalam sejarah awal Sumatera. Berikut adalah beberapa contoh. Pada abad ke-14, penguasa Sumatera, Adityawarman, yang mendapat gelar kehormatan Kanakamedinindra (“Penguasa Tanah Emas”), diduga telah memindahkan ibukotanya dari pantai Sumatera Barat yang terkena wabah malaria, ke pedalaman yang kaya akan emas. Banyak cerita turun-temurun di kawasan Lebong tentang Sultan Daulah Mahkuta Alamsyah, seorang “keturunan Alexander Agung”, yang pernah memerintah kerajaan besar Pagaruyung, mengirim penjelajah menuju pegunungan untuk mencari logam mulia. Kapten William Dampier (1651 – 1715), seorang navigator Inggris, naturalis dan penulis terkenal, yang telah melakukan tiga kali perjalanan ke seluruh dunia, melaporkan pada tahun 1689 bahwa sejumlah besar emas ditambang di Aceh.
Kegiatan pertambangan emas di Sumatera yang pertama kali didokumentasikan adalah pembukaan kembali tambang emas kuno Salido yang kaya akan perak di Sumatera Barat pada tahun 1669 oleh VOC, perusahaan dagang Belanda yang selama dua abad memonopoli perdagangan antara Eropa dan Asia. Pemerintah Hindia Belanda memulai penyelidikan geologi bersamaan dengan eksplorasi mineral pada tahun 1850 dan industri swasta mengikutinya 30 tahun kemudian. Antara 1899 dan 1940, 14 tambang emas telah dikembangkan, termasuk dua pekerjaan pengerukan aluvial, yang sebagian besar berumur pendek dan tidak ekonomis.
Saat ini Indonesia adalah negara pertambangan terkemuka di Asia sebagai penghasil timah, nikel, tembaga, emas dan batubara, dengan bantuan perusahaan dan investasi asing.
Seperti dijelaskan oleh Naville, emas dari Punt bukanlah emas murni tetapi paduan emas dan perak, tertulis sebagai åsem. Hal yang sama juga disebutkan dalam ekspedisi Firaun Sahure. Bahan limbah yang ditemukan di sekitar tambang kuno Lebong Donok, Sumatera Barat, mengandung campuran emas dan perak, bisa jadi adalah tambang emas di Tanah Punt yang disebut dalam prasasti. Secara fonetis, istilah åsem atau åsemos memiliki kemiripan dengan kata “emas” dalam bahasa Melayu. Lebong Donok terdapat dalam kawasan masyarakat suku Rejang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan masyarakat Mesir seperti yang akan dibahas setelah ini.

22) Orang Tanah Punt

Figure 44
Gambar 39. Orang Tanah Punt: (a) dan (b) Punt, Mariette (1877); (c) – (e) Punt, Deir el-Bahari; (f) – (j) Enggano, Modigliani (1894); (k) Enggano, lukisan (1855)  (l) Nias (1854); (m) dan (n) Mentawai; (o) Jawa, relief candi Borobudur (abad ke-9)
Figure 37
Gambar 40. Tetua Punt dan istrinya: (a) dan (c) Mariette (1877); (b) dan (d) Deir el-Bahari
Orang-orang Tanah Punt, tidak seperti orang Mesir kuno, memiliki rambut panjang dan sedikit bulu muka. Pada gambarnya, mereka dicat berwarna merah, tetapi tidak segelap orang Mesir. Prianya adalah tinggi, berpostur baik, rambutnya lebih terang dan dipotong rapi; hidungnya lurus, jenggotnya panjang dan runcing tumbuh di dagunya saja; ia hanya memakai cawat dengan sabuk dimana sebuah belati diselipkan. Tulisan di depannya menjelaskan bahwa ia adalah “Punt agung, Parehu”, yang maksudnya adalah tetua Tanah Punt. Kaki kiri tetua Tanah Punt, Parehu, dililit dengan gelang-gelang pelindung. Dalam salah satu penampilan, tangan kirinya memegang sebuah senjata melengkung. Istrinya, orang yang bertubuh janggal dan tidak cantik, dijelasakan sebagai “istrinya, Ati”. Ia mengenakan gaun kuning, tanpa baju pada penampilan pertama, gelang pada pergelangan tangan dan kakinya, dan kalung dari manik-manik dan rantai pada lehernya. Rambutnya, seperti halnya putrinya, diikat dengan ikat kepala sampai ke alis. Posturnya kurang enak dilihat, dan pipinya banyak kerutan. Ia amat gemuk, anggota badan dan tubuhnya penuh dengan lipatan daging.
Warna kulit yang merah terang pada relief menunjukkan warna kulit yang lebih terang daripada orang Mesir yang diwarnai merah tua. Warna kulit, bulu muka sedikit, hidung lurus dan jenggot yang hanya tumbuh pada dagu adalah ciri orang mongoloid. Rambut dan jenggotnya abu-abu, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pria tua, seperti dalam tradisi Melayu bahwa yang tua adalah lebih bijak, sehingga disebut “tetua”. Berasal dari hal tersebut, saat ini “ketua” di Indonesia dan Malaysia adalah panggilan untuk seorang kepala meskipun ia masih muda. Sikapnya, baik dalam adegan pertemuan dengan utusan kerajaan maupun dalam penawaran barter barang, adalah dengan sedikit membungkuk, mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap ke depan, melipat tangannya tepat didepan dadanya dengan ibu jari menunjuk ke depan dan jari-jari lainnya dilipat, titik berat tubuhnya sedikit ke depan, posisi kaki dan ekspresi wajahnya menunjukkan ia adalah orang yang bijaksana, dan ini adalah gerakan khas tradisi Melayu dalam menghadapi orang lain secara hormat dan sopan. Yang wanita bersikap sama tetapi dengan lebih membungkuk, dan dalam adegan penawaran barter lengan kirinya lurus kebawah dengan telapak tangan menghadap kedepan, juga tradisi khas Melayu bagi seorang wanita untuk bersikap sopan dan menghormati orang lain, terutama laki-laki, jadi ia bukan memiliki kelainan penyakit seperti yang dituduhkan oleh beberapa penulis. Kerutan wajah dan lipatan daging pada tubuh dan anggota badannya, serta jalannya yang harus menaiki kuda, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita tua yang gemuk.
Catatan Charles Miller (1771) bahwa pria Enggano pada umumnya memiliki postur baik dan bertubuh tinggi sekitar 5 kaki 8 – 10 inci (173 – 178 sentimeter) sedangkan wanitanya lebih pendek dan tubuhnya lebih bungkuk juga mendukung gambaran diatas.
Masyarakat Tanah Punt, seperti halnya tetuanya, hanya mengenakan cawat dengan ikat pinggang, rambutnya terikat dengan ikat kepala dan kalung di lehernya; mereka mengenakan kain pinggang dengan cara yang sama seperti yang dikenakan oleh orang Mesir tetapi selendangnya berada didalam untuk menutupi alat kelaminnya. Cara berpakaian seperti ini adalah khas orang Melayu kuno yang terdapat di Kepulauan Halang (Enggano, Mentawai, Nias, Andaman, Nicobar dan beberapa orang lain). Cawat orang-orang Kepulauan Halang adalah berupa sabuk yang diselipkan kain untuk menutupi alat kelamin, ditulis oleh Modigliani sebagai eapi. Cawatnya bervariasi dari ukuran kecil yang hanya cukup untuk menutupi alat kelamin sampai yang sepenuhnya menutupi pinggul dan paha.
Nama tetua Punt, Parehu adalah nama khas Enggano. Modigliani (1894) telah menyebutkan banyak nama pria Enggano yang mirip, seperti Paraúha, Puríhio, Pachèhu, Paradúa, Pahobèio dan lain-lain yang dimulai dengan Pa. Sementara nama istrinya, Ati, penulis berpendapat bahwa itu adalah nama panggilan dan nama lengkapnya tidak diketahui. Ati serta yang serupa seperti Eti, Ita, Yati, Tati dan Tuti adalah nama-nama panggilan yang sangat umum di Nusantara.
Figure 38
Gambar 41. Paraúha, seorang pria Enggano (Modigliani, 1894)

23) Pakain bawahan wanita

Figure 39
Gambar 42. Bawahan: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Enggano, Modigliani (1894);  (d) Enggano, Rijksmuseum; (e) dan (f) wanita Enggano mengenakan bawahan masing-masing untuk perayaan dan berkabung (Modigliani, 1894); (g) pada sebuah lukisan tahun 1855
Istri tetua Punt mengenakan kemeja didalam adegan penawaran barter tetapi tidak sewaktu pertemuan pertama. Kemeja tersebut diduga merupakan hadiah dari utusan Mesir. Pakaian bawahannya rupanya sebuah rumbai, seperti yang saat ini masih dipakai oleh penduduk Kepulauan Halang (Simeulue, Nias, Mentawai, Pagai dan Enggano), yang digambarkan sebagai kain transparan dalam seni lukis Mesir. Putrinya juga memakai bawahan dengan jenis yang sama. Modigliani (1894) menjelaskan bahwa pakaian bawahan wanita Enggano terbuat dari manik-manik kaca yang digantung pada ujung serat tanaman tipis yang menggantung turun dari sabuk yang terbuat dari anyaman rotan, diikat kedua ujungnya ke belakang dengan tali dan kemudian disisipkan kedalam untuk menyembunyikannya. Diatasnya biasanya dikenakan sabuk yang dilingkarkan kearah dada; dan juga terbuat dari anyaman rotan dan serat tanaman.

24) Ikat kepala wanita

Figure 40
Gambar 43. Ikat kepala wanita: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) dan (d) Enggano, Rijksmuseum; (d) Mentawai
Rambut istri tetua Tanah Punt, seperti halnya putrinya, diikat dengan ikat kepala sampai ke alis. Di Enggano, ikat kepala dibuat dan dipakai oleh wanita dewasa dan para dukun. Nama generik ikat kepala ini adalah tali (Rijksmuseum). Para dukun dalam kehidupan sehari-harinya dikenali dengan, antara lain mengenakan tali (Kruyt, 1938). Sampai awal abad ke-20, pakaian dan aksesoris dari kulit kayu dikenakan sebagai pakaian sehari-hari (tak berdandan) dan dalam perayaan (berdandan). Setelah dikenal kain tenun, pakaian dari kulit kayu tidak dikenakan lagi. Pakaian dan aksesoris yang dihiasi dengan kulit kayu masih dikenakan pada awal abad ke-20 saat perayaan (Rijksmuseum).

25) Hiasan kepala pria

Figure 45
Gambar 44. Hiasan kepala pria: (a) dan (b) Punt, Mariette (1877); (c) – (e) Enggano, Modigliani (1894); (f) – (j) Enggano, Rijksmuseum
Ikat kepala pria Tanah Punt adalah mengelilingi kepala diatas alis dan mengikatnya di belakang. Jenis lain adalah ikat kepala yang dilengkapi dengan topi yang mencuat ke atas dan melengkung pada ujungnya.
Modigliani (1894) menggambarkan ikat kepala pria Enggano sebagai lingkaran kecil, terbuat dari rambut kuda atau babi hutan dan dihiasi dengan bulu-bulu dengan berbagai warna. Jenis ini disebut eprúru cóio, yang berarti bulu babi. Rijksmuseum mencatat bahwa ikat kepala ini yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Karena pria Enggano dulunya berambut panjang, ikat kepala ini sangat cocok untuk menjaga rambut agar tidak menutupi wajah waktu membungkuk.
Orang-orang Tanah Punt sebagian mengenakan hiasan kepala yang mencuat ke atas dan melengkung pada ujungnya mirip dengan topi berkabung orang-orang Enggano. Modigliani (1894) menggambarkan topi berkabung orang Enggano, tciáua, sebagai tanda khusus di kepala, sebuah topi aneh yang terbuat dari pandan atau daun nipa yang menyerupai topi Frigia. Rijksmuseum mencatat bahwa topi berkabung dikenakan oleh seorang pria yang ditinggal mati istrinya selama tiga bulan masa berkabung berlangsung. Lengkungan ujung harus kearah belakang.

26) Kalung

Figure 41
Gambar 45. Kalung: (a) dan (c) Punt, Mariette (1877); (b) dan (d) Punt, Deir el-Bahari; (e), (j), (k) dan (l) Enggano, Modigliani (1894); (f) dan (g) Enggano, manik-manik kerang, Modigliani (1894); (h) dan (i) Enggano, Rijksmuseum; (m) Enggano; (n) Mentawai; (o) Nikobar
Tetua Tanah Punt maupun istrinya mengenakan kalung dari manik-manik dan rantai pada lehernya. Kalung manik-manik orang Enggano digambarkan sebagai kalung untuk wanita, dikenakan selama perayaan. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka dikenakan oleh laki-laki (Modigliani 1894). Kalung tersebut terbuat dari manik-manik yang didatangkan dari daerah lain; pada abad ke-19 dan mungkin sebelumnya, dan merupakan barang dagangan yang populer. Seringkali, rantai tersebut dihiasi dengan potongan kerang nautilus. Motifnya dihasilkan dengan cara mengukirnya (Rijksmuseum).

27) Gelang tangan dan kaki

Figure 42
Gambar 46. Gelang tangan dan kaki: (a), (c) dan (e) Punt, Mariette (1877); (b), (d) dan (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) dan (h) Enggano, Modigliani (1894); (i) – (k) Enggano, Rijksmuseum; (l) Mentawaii
Tetua Tanah Punt mengenakan gelang pada pergelangan tangannya, sedang istrinya mengenakannya pada pergelangan kaki dan tangannya. Gelang tangan dan gelang kaki di Enggano dikenakan di sekitar lengan atas, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Gelang-gelang tersebut terbuat dari anyaman daun kering dan dihiasi dengan manik-manik atau semacam tasbih. Jenis lain adalah dari akar bahar (Antiphates sp), tanaman laut yang dapat menangkal penyakit.
Figure 25
Gambar 47. Gelang-gelang pelindung kaki: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) – (e) Batu Gajah, Museum Palembang; (f) – (h) batu-batu pra-sejarah budaya Basemah, Sumatera Selatan
Kaki kiri tetua Tanah Punt, Parehu, dililit dengan gelang-gelang pelindung. Batu-batu pra-sejarah yang ditemukan di Kabupaten Lahat dan sekitarnya, yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu, menunjukkan gambar pria-pria yang mengenakan gelang-gelang pelindung kaki yang terpahat pada batu. Batu-batu ini dipercaya berasal dari budaya Basemah, diantaranya yang disebut “Batu Gajah”, sekarang disimpan di Museum Palembang, Sumatera Selatan. Orang Basemah adalah kelompok masyarakat purba yang terutama menghuni bagian baratdaya dan selatan Sumatera. Mereka memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat-masyarakat purba lainnya yang menghuni bagian barat, tengah dan utara Sumatera, antara lain Lampung, Rejang, Kerinci dan Batak.
Gelang-gelang pelindung kaki saat ini masih dikenakan oleh orang-orang suku Padaung dan Kayan di Myanmar dan beberapa orang Dayak di Kalimantan.

28) Belati dan golok

Figure 43
Gambar 48. Belati dan golok: (a), (c) dan (e) Punt, Naville (1898); (b), (d) dan (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) – (i) Enggano, Modigliani (1894); (j) – (l) Enggano, (m) – (o) Indonesia dan Malaysia; (p) tari golok Betawi (Jakarta)
Tetua Punt hanya mengenakan cawat dengan sabuk dimana sebuah belati diselipkan. Dalam salah satu adegan, tangan kirinya memegang senjata melengkung mungkin dengan selubung. Sebagian besar orang-orang Tanah Punt memegang senjata seperti ini pada setiap adegan. Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari juga menyebutkan bahwa senjata ini adalah produk yang disebut ảamu dari Punt (Naville, 1898). Melihat bentuknya, senjata melengkung ini menyerupai sebuah parang yang dikenal dengan “golok” di Indonesia dan banyak digunakan untuk pekerjaan di rumah, pertanian dan hutan serta sebagai senjata.
Modigliani (1894) menyebutkan bahwa nama belati Enggano adalah eohoári. Ia juga memberikan daftar senjata lainnya: epèiti cacuhia, yaitu pisau besar, yang lainnya epèiti canohè, pisau yang indah karena banyak hiasannya. Epacamáio, epochipò dan afíia, digunakan untuk memotong kayu di hutan dan untuk bekerja dan memiliki bilah yang lebar dimana cacuhia tidak dapat digunakan. Pisau kecil lainnya yang digunakan untuk keperluan memotong sayuran dan untuk pekerjaan kecil lainnya disebut eachiebára dan eáo. Helfrich (1891) menyebutkan bahwa istilah Enggano untuk “pisau” adalah pakamai.
Epacamáio (Modigliani) dan pakamai (Helfrich) adalah istilah yang sama yang berarti “parang” atau “pisau”, atau secara umum alat kerja atau senjata yang terdiri dari sebuah bilah tajam yang terpasang pada tangkai kayu. Epacamáio adalah gaya penulisan Itali untuk pakamai, sehingga pakamai adalah istilah aslinya. Jika kita menghapus awalan pa maka kata dasarnya adalah kamai. Prasasti di Deir el-Bahari yang bertuliskan  ảamu ảamu (baca kh·a·mu) untuk menyebutkan senjata dari Punt adalah lidah Mesir dan tulisan hieroglif untuk kata kamai. Bahasa Enggano adalah secara khusus telah terisolasi dari ekspansi bahasa di Indonesia bagian barat. Nothofer (1986, 1994) menyebut bahasa ini sebagai “Paleo-Hesperonesia”.
Karambit (Sumatera Barat kurambik atau karambiak) adalah pisau genggam, melengkung kecil di Asia Tenggara yang menyerupai sebuah cakar. Dikenal sebagai kerambit di Indonesia dan Malaysia, pisau ini juga disebut karambit di Filipina dan di sebagian besar negara-negara Barat. Jika kita menghapus sisipan ar maka kata dasarnya adalah kambit, kata dasar yang sama dengan bahasa Enggano kamai, yang menyerupai ảamu seperti tertulis pada prasasti di Mesir.
Vegetasi yang khas di Asia Tenggara adalah hutan dan oleh karena itu parang dioptimalkan untuk memotong kayu dengan kuat dimana pisau tidak dapat digunakan dan bagian pemotong utamanya lebih maju dari pegangannya; bilahnya juga diasah dengan sudut lebih tumpul untuk mencegah tertancap dalam potongan kayu. Parang adalah istilah kolektif untuk pedang, pisau besar dan golok yang berasal dari seluruh Nusantara. Golok adalah alat pemotong, mirip dengan parang yang terdiri dari banyak variasi dan terdapat di seluruh Nusantara. Golok digunakan sebagai alat pertanian serta senjata. Istilah “golok” (kadang-kadang dieja dalam bahasa Inggris menjadi “gollock”) adalah istilah asli Indonesia tetapi juga digunakan di Malaysia dan dikenal sebagai gulok dan bolo di Filipina. Di Malaysia istilah ini biasanya dipertukarkan dengan parang yang lebih panjang dan lebih lebar. Di wilayah Sunda di Jawa Barat dikenal sebagai bedog. Badik atau badek adalah pisau atau belati yang terdapat dalam masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan.


tari-perang-suku-enggano-oc3pen-prv
TARIAN PERANG PULAU ENGGANO


29) Orang-orang Naga

Pada masa Dinasti ke-12, Tanah Punt diabadikan dalam literatur Mesir Tale of the Shipwrecked Sailor (“Kisah Pelaut yang Terdampar”) dimana seorang pelaut Mesir berbicara dengan seekor “naga agung” yang menyebut dirinya sebagai “Penguasa Punt” dan mengirimkan pelaut tersebut kembali ke Mesir dengan membawa banyak emas, rempah-rempah, dupa, gading gajah dan hewan yang berharga. Penulis menafsirkan bahwa “naga agung” yang dijumpai oleh orang-orang Mesir tersebut adalah dari masyarakat Naga, yang mungkin adalah pemuja ular, yang secara historis mendiami pulau-pulau di Asia Tenggara. “Naga agung” adalah berarti tetua masyarakat Naga yang menyebut dirinya sebagai Penguasa Punt, karena istilah “agung” yang diterjemahkan dari tulisan hieroglif Mesir berarti “tetua”, seperti halnya “Punt agung” yang dimaksudkan adalah “tetua Punt”.
Tale of the Shipwrecked Sailor menyebabkan berubahnya pemahaman masyarakat Mesir tentang Tanah Punt menjadi sebuah mitos karena munculnya tokoh mitologi naga yang berbicara dengan manusia. Namun, kisah tersebut adalah bersumber dari sebuah papirus sehingga penulisnya mungkin telah membumbui kisahnya dengan hal-hal yang berbau mitos.
Sebuah epik dalam karya sastera Tamil, Manimekalai, menyebutkan tentang sebuah pulau antara Srilanka dan Jawa – mungkin Sumatera – yang dihuni oleh masyarakat Naga yang kanibalis. Ibukota Jawa disebut-sebut sebagai Nagapuram, menunjukkan bahwa Jawa juga dihuni oleh masyarakat Naga, dengan raja-rajanya Bhumichandra dan Punyaraja yang mengaku keturunan Indra. 
Di Srilanka, satu tempat yang juga terkait dengan masyarakat Naga didalam epik tersebut adalah Puhar, ibukota Chola, yang pernah menjadi ibukota masyarakat Naga yang diusir oleh raja pertama Chola Muchukunta dengan bantuan makhluk gaib Indra. Epik saudaranya, Silappadikaram, menyebutkan bahwa Puhar adalah ibukota masyarakat Naga, dimana Puhar telah dikenal sebagai Nagaram atau Pattinam. Masyarakat Naga di Srilanka telah ada sampai abad ke-3 SM sebagai kelompok yang berbeda di awal karya sastera Tamil. Pada abad ke-3 SM mereka mulai berasimilasi dengan bahasa dan budaya Tamil, dan kehilangan identitasnya.
Saat ini terdapat masyarakat suku Naga yang mendiami bagian timurlaut India dan baratlaut Myanmar. Masyarakat suku Naga telah dalam waktu yang lama tidak terganggu pengaruh luar dan telah mempertahankan budaya dari zaman yang paling kuno sampai sekarang. Beberapa peneliti telah menelusuri asal mereka dari suku-suku pengayau ras Melayu dan ras-ras dari laut selatan. Cerita, lagu-lagu dan legenda rakyat suku Naga menunjuk asal mereka ke arah tenggara. Adat dan budaya suku Naga mirip dengan suku di laut selatan dalam banyak aspek. Bordir pada pakaian suku Naga menyerupai yang terdapat pada pakaian suku-suku di Indonesia. Suku Naga menggunakan kerang dan keong dalam dekorasi tubuh mereka, menunjukkan bahwa mereka memperoleh pengetahuan dari laut selatan. Shakespeare, yang menulis sejarah Assam, juga menulis bahwa suku Naga mirip dengan suku Dayak dan mereka menyukai kerang laut, yang tidak ditemukan di desa-desa suku Naga. Praktek pengayauan adalah umum hingga abad ke-20 dan mungkin masih dipraktekkan di suku Naga yang terisolir di Myanmar. Banyak kebiasaan dan cara hidup seperti pengayauan, sistem rumah bersama, tato, batu pemakaman, alat tenun, sawah berteras dan sebagainya yang sangat mirip dengan mereka yang tinggal di bagian terpencil di Asia Tenggara, menunjukkan bahwa tempat tinggal kuno mereka adalah dekat laut atau di pulau-pulau.
Naga adalah dewa atau makhluk mitologi yang tedapat dalam agama Dharma dan Buddha. Mereka tinggal di dunia bawah (Patala). Terdapat beberapa legenda tentang masyarakat Naga antara lain dalam cerita rakyat suku di India Selatan (Adivasis) dan dalam masyarakat aborigin Australia. Dalam legenda ini, masyarakat Naga menghuni benua besar yang ada di suatu tempat di laut selatan yang kemudian tenggelam dan sisa-sisanya membentuk kepulauan (Indonesia dan Australia). Masyarakat Naga ini dikatakan telah mengembangkan peradaban dunia bawah yang lebih maju dan mereka memiliki kekuatan super.
Dalam legenda Kamboja, Naga adalah makhluk reptil yang memiliki kerajaan besar di wilayah laut selatan. Ular naga berkepala tujuh digambarkan sebagai patung pada candi-candi di Kamboja seperti Angkor Wat, mungkin mewakili tujuh ras dalam masyarakat Naga.
Hampir setiap candi di Indonesia dihiasi dengan kepala naga yang disebut Makara, demikian juga rumah-rumah, alat-alat musik dan seni ornamental lainnya. Naga Jawa biasanya digambarkan sebagai pelindung atau pengayom, sehingga umum ditemukan dalam pahatan gerbang, pintu masuk, atau undakan tangga dengan maksud melindungi bangunan yang ia tempati.
Dalam seni Tiongkok, naga biasanya digambarkan sebagai makhluk menyerupai ular yang panjang, bersisik dan berkaki empat serta bertanduk. Naga Tiongkok melambangkan kekuatan dan tuah, khususnya mengawal air, hujan dan banjir. Dalam peristilahan ‘yin’ dan ‘yang’, naga adalah ‘yang’ (jantan) yang melengkapi ‘fenghuang’ (phoenix Tiongkok) yang bersifat ‘yin’ (betina). Naga Tiongkok dijadikan lambang kebudayaan yang berwibawa dan bertuah.

30) Perdagangan maritim

Maritim Asia Tenggara terdiri lebih dari laut daripada daratan. Terdapat Semenanjung Malaya, beberapa pulau besar dan puluhan ribu pulau-pulau kecil. Hal ini tidak mengherankan karena sejak awal, kekuasaan di Asia Tenggara dikaitkan dengan sistem perdagangan maritim.
Penciptaan sistem pasar berlangsung pada awal Pleistosen, dengan munculnya spesialisasi dan mulainya Zaman Neolitik. Tanda-tanda awal bekerjanya sistem pasar dapat dilihat dengan munculnya barter dalam suku-suku. Pasar terbuka atau dengan peneduh dikembangkan dimana pedagang memiliki tempat berdagangnya dan dimana pengrajin membuat dan menjual barang dagangannya. Pasar bukan hanya tempat untuk pembelian barang, tetapi juga menjadi tempat bagi orang-orang untuk berkumpul dengan banyak tujuan yang lain. Pasar dikembangkan di dekat muara sungai atau saluran air strategis lainnya. Beras dan produk pertanian lainnya dikirim kesana melalui sungai dari dataran tinggi yang lebih subur dan produktif. Dalam pertukarannya dengan beras dan produk pertanian lainnya, mereka menerima garam dan ikan kering dari hilir, dan berbagai barang impor – perlengkapan dari logam mulia, keramik dan kain khususnya, banyak diproduksi sejauh India dan Tiongkok.
Tuntutan usaha dan perdagangan yang maju mengakibatkan sistem uang untuk dikembangkan. Bentuk paling awal dari uang biasanya berupa uang logam, atau uang komoditas seperti kerang, daun tembakau, batu bulat dan manik-manik.
Pulau-pulau kecil, bersama dengan lembah aluvial, adalah daerah disukai untuk transaksi awal karena kelimpahannya akan ikan dan kelapa, dan keuntungan defensif atas pengetahuan lokal seperti terumbu karang dan jalur pelayaran. Banyak muara sungai utama, di sisi lain, adalah berbahaya terhadap malaria kecuali kemudian diberantas untuk dijadikan sawah permanen. Yang berperan dalam pembentukan jalur pelayaran utama adalah orang-orang perahu atau orang-orang laut.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pasar juga tumbuh lebih besar, dan umumnya berubah menjadi pelabuhan. Pelabuhan utama pertama yang muncul di Nusantara adalah Sriwijaya di Sumatera. Dari abad ke-5, ibukotanya, Palembang, menjadi pelabuhan utama dan berfungsi sebagai tempat penyaluran Jalur Rempah-rempah antara India dan Tiongkok. Kekayaan dan pengaruh Sriwijaya memudar ketika kemajuan teknologi bahari di abad ke-10 dikuasai oleh para pedagang Tiongkok dan India dengan kapal barang yang langsung antara kedua negara dan juga memungkinkan negara Chola di India selatan untuk melaksanakan serangkaian serangan yang menghancurkan kekayaan Sriwijaya, sehinggi mengakhiri fungsi Palembang sebagai pelabuhan perantara.
Pelabuhan dagang besar Malaka didirikan pada awal abad ke-15. Malaka tumbuh menjadi pelabuhan dagang utama di Asia Tenggara. Tiongkok dibawah dinasti Ming telah memutuskan bahwa mereka menjalin hubungan perdagangan langsung di wilayah tersebut. Tiongkok diperpanjang perlindungannya untuk Malaka dan hal ini membantu mencegah tantangan regional lainnya perihal kekuatannya. Islam tiba dengan para pedagang dari India pada akhir abad ke-13 dan ke-14 dan pengaruhnya meluas sehingga Malaka pada pertengahan abad ke-15, yang merupakan pelabuhan dagang unggulan di Asia Tenggara, menjadi kesultanan Muslim.
Dalam upaya untuk mematahkan monopoli Arab dalam perdagangan antara Eropa dan Asia, Portugis memutuskan untuk menjalin hubungan perdagangan langsung di Asia. Portugis adalah kekuatan Eropa pertama yang memelopori jalur perdagangan ke wilayah maritim kaya Asia Tenggara, dengan menaklukkan Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Belanda dan Spanyol mengikutinya dan segera menggantikan Portugis sebagai kekuatan Eropa utama di wilayah tersebut. Pada 1599, Spanyol mulai menjajah Filipina. Pada tahun 1619, bertindak melalui Dutch East India Company (VOC), Belanda menguasai kota Sunda Kelapa, menamainya Batavia (sekarang Jakarta) sebagai basis untuk perdagangan dan ekspansi ke daerah lain di Jawa dan wilayah sekitarnya. Pada tahun 1641, Belanda mengambil Malaka dari Portugis. Peluang ekonomi menarik Tiongkok ke wilayah tersebut dalam jumlah yang besar. Pada 1775, Republik Lanfang, mungkin republik pertama di wilayah ini, didirikan di Kalimantan Barat, sebagai negara sungai dibawah Kekaisaran Qing; republik ini berlangsung sampai 1884, ketika jatuh di bawah pendudukan Belanda dan ketika pengaruh Kekaisaran Qing memudar.
Bahasa Melayu, yang pertama kali berkembang di sekitar muara Sungai Batanghari di Sumatera, mendominasi wilayah Asia Tenggara. Bahasa Melayu menunjukkan kaitannya yang paling dekat dengan sebagian besar bahasa lain di Minangkabau, Kerinci, Rejang, dan jelas, tetapi tidak begitu erat, terkait dengan bahasa Austronesia lainnya di Kalimantan, Jawa dan Cham di Vietnam. Penyebaran bahasa Melayu adalah melalui kontak antar etnis dan perdagangan di seluruh Nusantara sejauh Filipina. Kontak ini menghasilkan sebuah lingua franca yang disebut Melayu Pasar. Secara umum dipercaya bahwa Melayu Pasar adalah sebuah pidgin, sarana komunikasi gramatikal yang disederhanakan yang berkembang antara dua atau lebih kelompok yang tidak memiliki bahasa yang sama. Melayu Pasar masih digunakan dalam batas tertentu di Singapura dan Malaysia.
Istilah dalam bahasa Melayu untuk “pasar” adalah pekan, yang berasal dari bahasa Melayu Kuno pakan. Ungkapan “hari pekan” dikenal di beberapa daerah yang berarti “hari ketika pasar diadakan”, yang biasanya dalam selang 7 hari (seminggu), maka pekan kemudian menjadi istilah umum untuk “minggu”. Pekan juga istilah untuk daerah pemukiman yang lebih besar, terutama karena daerah ini dikembangkan dari pasar. Dalam perkembangan yang lebih maju, pekan menjadi sebuah istilah untuk sebuah kota perdagangan. Pekanbaru, Pekan Labuhan, Pekan Nagori Dolok dan Pekan Perigi di Sumatera; Pekan di Pahang, Malaysia; dan Pekan Tutong di Brunei, adalah beberapa tempat yang dinamai sebagai kota perdagangan.
Tanah Punt dalam hieroglif Mesir adalah Punt, transliterasi p-wn-nt, Kode Gardiner {Q3 E34 N35 X1 N25} dan diucapkan pwenet. Tanda terakhir adalah yang menunjukkan negara atau wilayah. Akhiran feminin “t” tidak diucapkan dalam masa Kerajaan Baru, maka pengucapannya adalah pwene atau puene. Pwene kemungkinan adalah pakan atau pa'an dalam bahasa Melayu Kuno. Orang Mesir terus melakukan hubungan perdagangan dengan orang Punt, seperti yang tercatat dalam sejarah mereka dari Dinasti ke-4 sampai ke-26 (abad ke-27 – ke-6 SM). Mereka mengenal tempat di Tanah Punt dengan apa yang orang-orang menyebutnya pakan atau pa'an, yang berarti tempat perdagangan.
Dalam bahasa Rejang, pun berarti “pohon”. Dalam artian yang lebih luas, “pohon” dapat bermakna sebagai “hutan” atau “kebun”. Terdapat kemungkinan lain bahwa pwene berasal dari pun yang berarti “pohon”, karena orang Mesir melihat di Tanah Punt terdapat banyak pohon, atau hutan, dibandingkan di daerahnya yang sedikit sekali pohon.
Dalam bahasa Lampung, pun berarti “raja”, tanah pun berarti “tanah para raja”. Dalam artian yang lebih luas, “raja” dapat bermakna sebagai “pemimpin” atau “leluhur”. Pemimpin atau leluhur yang dihormati dan dikenang, setelah menjadi legenda biasanya dianggap sebagai dewa. Orang Mesir menganggap leluhur mereka sebagai dewa, tanah asal mereka sebagai “Tanah Dewata”, “Tanah Suci” atau “Tanah Leluhur”, dan itu semua merujuk kepada Tanah Punt. Terdapat kemungkinan lain lagi bahwa pwene berasal dari pun yang berarti “raja” atau “leluhur”.

Hipotesis Lokasi

Tempat yang memungkinkan untuk melakukan perdagangan antara orang-orang Mesir dan Punt adalah berada di Sumatera baratdaya, yang kini di Provinsi Bengkulu, dimana tempat ini mudah dicapai dari Samudera Hindia. Pulau Enggano terletak di lepas pantainya dimana budaya kuno Bengkulu masih dapat tergambarkan oleh penduduk Enggano yang terisolasi. Bengkulu kuno adalah tempat lahirnya bangsa Neo-Melayu, yang menyebar hampir ke seluruh Nusantara.
Bengkulu telah dihuni dari zaman prasejarah. Sebagian terdapat di pedalaman, sementara yang lain mendiami wilayah pesisir. Bengkulu , yang masyarakatnya terdiri dari suku-suku Rejang, Serawai/Pasemah, Kaur, Lembak dan Ketahun, adalah tempat lahirnya bangsa Neo-Melayu.
Pada waktu penjelajah Eropa dan pedagang datang ke pulau Sumatera, mereka menemukan sisa-sisa aluvial yang meluas dan penambangan emas bawah tanah. Sisa-sisa penambangan yang sangat ekstensif menunjukkan bahwa telah dikerahkan tenaga kerja yang sangat banyak dan terorganisir, dimana batu asah besar dan koin emas klasik telah ditemukan. Bahan limbah yang diambil di sekitar Lebongdonok menunjukkan bahwa pertambangan tersebut adalah sangat besar.
Pohon yang menghasilkan kemenyan banyak terdapat di Taman Nasional Bukit Duabelas, bagian dari Taman Nasional Kerinci-Seblat. Orang-orang Rejang mendiami wilayah ini. Nama tempat seperti Bukit Kemenyan dan Tanjung Kemenyan di sekitar wilayah ini menunjukkan bahwa pohon kemenyan telah dibudidayakan di wilayah tersebut. Dataran tinggi Kerinci di sebelah utara Bengkulu, yang dihuni oleh orang-orang Kerinci, adalah asal pohon kayu manis. Legenda-legenda yang terdapat diantara masyarakat suku di Bengkulu dan Lampung bercerita tentang hal-hal yang terkait dengan hubungan dengan pedagang asing.
Studi linguistik dan alfabet budaya Rejang di Sumatera baratdaya yang dilakukan oleh antara lain Sir Thomas Stamford Raffles (1817), J Park Harrison (1896), EEEG Schroder (1927) dan MA Jaspen (1983) menunjukkan beberapa korelasi bahasa dan alfabet Rejang dengan bahasa dan alfabet Fenisia dan Mesir kuno. Studi yang dilakukan oleh Dhani Irwanto (2015) menunjukkan bahwa abjad Lampung, Rejang dan Rencong adalah lebih dekat dengan abjad Fenisia Proto-Sinaitic daripada abjad Brahmi. Ketiga wilayah Sumatera tersebut dalam sejarahnya sangat sedikit dipengaruhi oleh budaya India. Abjad Fenisia berasal dari hieroglif Mesir dan menjadi salah satu sistem penulisan yang paling banyak digunakan, disebarkan oleh pedagang Fenisia ke seluruh masyarakat Laut Tengah, dimana kemudian berkembang dan diasimilasi oleh banyak budaya lainnya.
1) Bangsa Fenisia
Bangsa Fenisia (bahasa Inggris: Phoenicia) pada zaman dahulu hidup di wilayah Timur Tengah (ca 1550 – 300 SM), atau sekarang di Lebanon dan Suriah yang merupakan daerah pesisir laut. Mereka memiliki 4 kota penting, yaitu Tirus, Sydon, Byblos dan Kartago, yang merupakan kota dagang. Tiga kota pertama sekarang masih ada di Lebanon, walaupun sudah mengalami banyak perubahan. Kartago berada di Tunisia. Di Byblos mereka membangun pelabuhan yang sangat besar.
Bangsa Fenisia terkenal dengan sebutan middlemen yaitu sekelompok orang yang membawa suatu barang dari suatu negara ke negara lain. Mereka juga yang mengenalkan papyrus ke negara lain. Mereka membuat suatu jenis kapal dari kayu cedar yang memiliki layar dan juga dayung, dan di bagian depannya terdapat bentuk kepala naga. Di dalam kapal terdapat banyak barang yang digunakan sebagai barter.
Bangsa Fenisia adalah mungkin pelaut dan pedagang yang paling produktif di masa lalu. Mereka memiliki budaya perdagangan maritim yang giat dan tersebar di seluruh Laut Tengah. Kegiatan bangsa Fenisia di Samudera Hindia dimulai dengan pembangunan pelabuhan Ezion-Geber di ujung Laut Merah pada 950 SM. Selama lebih dari seribu tahun, bangsa Fenisia berlayar dibawah bendera yang berbeda-beda di Laut Tengah, Samudera Atlantik, Laut Merah dan Samudera Hindia. Juga memungkinkan bagi mereka untuk berlayar dengan ekspedisi perdagangan mereka sendiri karena mereka tahu tentang manfaat berlayar ke Timur Jauh. Tidak ada keraguan bahwa mereka mampu menyeberangi lautan luas dengan memanfaatkan arus laut dan angin.

Gambar 49. Jalur perdagangan bangsa Fenisia
Bangsa Fenisia dikenal pada masa Yunani dan Romawi klasik sebagai “pedagang ungu”, merujuk pada monopoli mereka atas pewarna ungu terbuat dari siput murex yang sangat berharga, yang digunakan antara lain untuk busana para bangsawan, dan untuk penyebaran abjad mereka. Perdagangan komoditas berharga juga meliputi permata, dimana batu rubi dan berlian dipotong dan diasah di Hindia (India Raya, termasuk Indonesia). Para ilmuwan yang paling kredibel tahu bahwa bangsa Fenisia adalah sangat merahasiakan asal barang perdagangan mereka. Sumber bahan dan resep untuk pembuatan larutan zat pewarna tersebut sampai sekarang masih misteri.
Bangsa Fenisia menggunakan kayu cedar Lebanon untuk membuat kapal komersial dan militer, serta rumah-rumah, istana dan kuil-kuil. Tidak ada bukti bahwa hutan cedar kuno di Lebanon adalah asli; pohon-pohon cedar yang ada saat ini kemungkinan besar telah ditransplantasikan dari tempat lain pada zaman kuno. Sejarah logam timah juga selalu melibatkan bangsa Fenisia. Dari mana asal bangsa Fenisia sampai saat ini masih menjadi misteri, pasti bukan dari wilayah Laut Tengah karena tidak ada catatan dan cerita tentang hal itu. Kerahasiaan bangsa Fenisia menjadikan dari mana asal mereka sebagai pertanyaan yang tak bisa dijawab. Pelaut India tidak memiliki kemampuan untuk berdagang melalui laut lepas; mereka lebih dikenal sebagai perantara untuk kepentingan logistik, sehingga kecil kemungkinan asal bangsa Fenisia adalah dari India.
Bukti tertua tentang asal nama Fenisia adalah dari kata Mycenaea po-ni-ki-jo, po-ni-ki, yang berasal dari kata Mesir kuno fnḫw (fenkhu) yang berarti “Asiatik, Semit”. Tulisan Herodotus (ditulis ca 440 SM) yang mengacu pada mitos Io dan Europa (History, I: 1) berbunyi sebagai berikut.
Menurut informasi Persia yang terbaik dalam sejarah, orang-orang Fenisia memulai pertengkaran. Orang-orang ini, yang sebelumnya berdiam di tepi Laut Eritraea, telah bermigrasi ke Laut Tengah dan menetap di bagian yang kini mereka huni, diawali pertama kali, seperti yang mereka katakan, dengan petualangan yang panjang, mengangkut dengan kapal mereka barang-barang dari Mesir dan Asyur ...”
Samudera Hindia (termasuk Samudera Pasifik) sebelumnya bernama Laut Eritraea (Herodotus, Dicaearchus, Eratosthenes, Posidonius dan Strabo), dimana orang-orang Fenisia sebelumnya berdiam di pantainya dan perlu perjalanan panjang untuk bermigrasi ke Laut Tengah. Tersirat dalam ungkapan tersebut bahwa orang-orang Fenisia adalah berasal dari “Timur” atau “Asia” di Samudera Hindia dan Pasifik.
Penulis membuat perbandingan antara tiga kelompok utama aksara Sumatera Selatan: Rencong (atau Ancung) di Kerinci, Rejang di Bengkulu dan Lampung di Sumatera bagian selatan, Proto-Mesir dan Proto-Sinai (Fenisia Kuno) seperti yang ditunjukkan dalam tabel dibawah ini. Juga ditampilkan aksara-aksara yang dipengaruhi oleh aksara Brahmi, Ugarit dan Latin modern.
Gambar 49
Gambar 50. Perbandingan aksara Fenisia Kuno, Nusantara dan India
Seperti dapat kita lihat dari perbandingan diatas, aksara Lampung, Rejang dan Rencong adalah lebih mendekati aksara Fenisia Proto-Sinai daripada aksara India Brahmi. Dalam sejarahnya, ketiga wilayah Sumatera tersebut sangat sedikit dipengaruhi oleh budaya India. Abjad Fenisia berasal dari hieroglif Mesir dan menjadi salah satu sistem penulisan yang paling banyak digunakan, disebarkan oleh pedagang Fenisia ke seluruh Laut Tengah, dimana ia berkembang dan diasimilasi oleh banyak budaya lainnya.
Velikovsky (2006) mengaitkan nama Fenisia dengan pontifex, yang berarti “pendeta besar”. Kata “pontiff” bukan berasal dari bahasa Latin, bukan berasal dari “pons”, tapi mungkin dari “Punt”. Dikisahkan bahwa Ratu Hatshepsut, setelah ekspedisinya mengunjungi Tanah Punt, kemudian membangun sebuah “Tanah Punt” yang baru untuk dewa Amon dan menjadikannya tempat suci untuk pemujaan. Dengan mendirikan sebuah “Punt” di Mesir, Ratu Hatshepsut juga memperkenalkan lembaga kependetaan yang besar dengan menyalinnya dari kuil di Yerusalem yang dibangun dengan model Fenisia.
Aliansi Raja Sulaiman dengan Hiram, raja Fenisia, menunjukkan pengaruh Fenisia yang kuat dalam kehidupan kerajaan Yehuda dan Israel. Pengaruh ini juga terlihat jelas dalam Alkitab dalam kisah pembangunan kuil yang dibangun dengan bantuan Raja Hiram, yang memberi Raja Sulaiman bahan bangunan dan seorang kepala tukang keturunan Ibrani-Fenisia (Kitab Raja-raja 7: 13-14). Ekspedisi ke Tanah Ophir dan pemindahan wilayah dari raja yang satu dengan yang lain secara damai (Kitab Raja-raja 9: 11) juga mungkin telah menjadikan seluruh Palestina pada waktu itu disebut Fenisia. Ekspedisi Mesir ke Tanah Punt dalam periode akhir adalah besar kemungkinannya juga dibantu oleh orang-orang Fenisia.

Dari studi genetik, sebagian besar garis turunan haplogroup K2, juga dikenal sebagai K-M526, saat ini berada di Asia Tenggara dan Oseania (Karafet et al 2014). Anggota kuno haplogroup K2 tersebar di seluruh Mediterania. Mereka melakukan perjalanan ke barat di sepanjang pantai Afrika Utara dan juga di sepanjang garis pantai Mediterania Eropa selatan. Gerakan-gerakan ini menunjukkan kemungkinan menarik bahwa penanda M70 mungkin telah dibawa oleh bangsa Fenisia (Spencer Wells 2007).
Dapat diduga bahwa asal-usul bangsa Mesir serta Fenisia adalah Tanah Punt, yaitu Bengkulu. Kita bisa mengandaikan bahwa orang Mesir dan kemudian orang Fenisia sebelumnya adalah orang Punt. Dalam masa Periode Akhir Mesir banyak perdagangan Mesir berpindah tangan ke orang-orang Fenisia dan Yunani. Sejarah panjang kontak dengan orang Mesir membuat orang-orang Tanah Punt (atau Bengkulu) belajar dari orang Mesir cara-cara berlayar dan berdagang barang mewah produk mereka. Hal itu wajar bahwa produsen selalu tertarik untuk menjual produk mereka langsung ke konsumen untuk mendapatkan keuntungan mereka sendiri. Diduga, mereka memiliki kerjasama dengan orang Bugis di Sulawesi untuk membangun kapal. Pedagang Bugis sering mengunjungi Bengkulu dan Pulau Enggano di zaman kuno untuk memperdagangkan kelapa berkualitas tinggi (Helfrich, 1891). Aksara Rejang juga memiliki kaitan yang erat dengan aksara Bugis. Orang Bugis memiliki kapal Phinisi, yang mirip dengan nama “Phoenicia” (Fenisia), dan telah terbukti terampil untuk berlayar di lautan yang luas.
Kelimpahan kayu dengan kualitas tinggi di Sumatera dapat memfasilitasi mereka untuk membangun kapal yang lebih canggih daripada kepunyaan orang Mesir. Sumber barang yang diperdagangan oleh orang Fenisia, yaitu antara lain siput murex, dupa dan permata adalah barang-barang yang asli Asia Tenggara. Orang-orang Tanah Punt bersama dengan orang-orang Bugis yang berhasil melakukan perdagangan ini kemudian disebut orang Fenisia, dari asal kata “Punt”, “Pwene” atau “Phinisi”. Agar dapat memonopoli barang-barang dari Asia yang diperdagangkan di Mediterania, bangsa Fenisia terus merahasiakan asalnya sampai pada abad ke-18 ketika Belanda dan Inggris berhasil mengeksplorasi sumber daya dalam jumlah yang besar. Orang-orang pesisir Samudera Hindia di Sumatera serta orang-orang Bugis adalah terkenal dengan keterampilan mereka dalam berdagang. Legenda dan lagu-lagu mereka juga bercerita tentang perdagangan keluar dari daerah mereka (merantau). Masyarakat Bugis, begitu juga Dayak Barito di Kalimantan, telah ditelusuri melakukan hubungan dengan masyarakat Madagaskar pada zaman kuno.
Juga, sejarah panjang kontak dengan orang-orang Mesir membuat orang-orang Tanah Punt dan Bugis (dan yang kemudian menjadi Fenisia) belajar menulis hieroglif, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi aksara abjad. Abjad Lampung, Rejang, Rencong dan Bugis adalah warisan dari aksara ini seperti yang telah dibahas diatas.

2) Tanah Ophir

Keterampilan maritim bangsa Fenisia yang terkenal membuat kagum Raja Sulaiman (antara 973 dan 33 SM) sehingga ia meminta Raja Tirus untuk mengirim para tukang kayu dan veteran pelaut Fenisia untuk bergabung kedalam armadanya untuk menuju ke Tanah Ophir pada 945 SM (Kitab Raja-raja 1: 9-26). Meskipun demikian, sampai saat ini belum diketahui dimana lokasi tepatnya Tanah Ophir. Secara geografis, Tanah Ophir digambarkan dengan cara yang sama persis dengan Tanah Punt. Keduanya berada “amat jauh, ke tenggara”; kapal Raja Sulaiman berlayar dari sebuah pelabuhan di Laut Merah dan sekali putaran pelayaran berlangsung selama tiga tahun. Barang-barang yang dibawa dari Tanah Ophir kurang lebih sama dengan yang dibawa oleh orang Mesir dari Tanah Punt dan pelabuhan-pelabuhannya yang lain. Raja Sulaiman menerima satu kapal penuh muatan yang berupa emas, perak, kayu “algum”, batu mulia, gading, kera dan burung merak setiap tiga tahun.
Keberadaan Eldorado di Tanah Ophir (Kitab Raja-raja 10: 11, Kitab Tawarikh 09: 21) diyakini adalah merupakan salah satu Suku Hilang Israel. Dalam Kitab Kejadian 10 (Daftar Bangsa-bangsa) disebutkan bahwa Eldorado adalah nama salah satu anak-anak Yoktan. Yoktan adalah anak kedua dari dua anak Eber, cicit Sem – anak Nuh. Dalam literatur-literatur pra-Islam, Tanah Ophir disebutkan dalam tiga sumber Arab dan Ethiopia pra-Islam: Kitab al-Magall, Gua Harta Karun dan Pertentangan Adam dan Hawa dengan Setan. Kitab al-Magall menyatakan bahwa pada hari-hari Reu, seorang raja Negeri Saba bernama “Firaun” menggabungkan Ophir dan Hawila kedalam kerajaannya, dan “membangun Ophir dengan batu emas, karena batu dalam gunung-gunungnya adalah terdiri dari emas murni”.
Onycha adalah salah satu komponen yang digunakan dalam kebaktian Ketoret yang terdapat dalam Kitab Taurat Keluaran (Kel 30: 34-36) dan digunakan didalam kuil Sulaiman di Yerusalem. Bochart, peneliti Alkitab terkenal menyatakan dalam salah satu topik penelitiannya bahwa onycha sebenarnya adalah kemenyan, suatu getah kering yang disadap dari spesies pohon Styrax (Abrahams, 1979), yang kemungkinan didatangkan dari Sumatera. Kemenyan telah didatangkan ke tanah-tanah yang disebutkan dalam Alkitab selama era Perjanjian Lama.
Penulis berkesimpulan bahwa lokasi Tanah Ophir adalah sama dengan Tanah Punt atau berada di wilayah yang berdekatan. Keduanya menjadi perhatian raja-raja di Mesir dan Timur Tengah karena kekayaannya akan logam mulia, kayu, batu mulia, wewangian, binatang dan hasil hutan. Karena Tanah Punt adalah tanah asal orang-orang Mesir, hal yang sama dapat diberlakukan pula untuk Tanah Ophir. Kisah Atlantis yang tercatat dalam dokumentasi Mesir diduga bersumber dari Tanah Punt atau Tanah Ophir, yaitu di Sumatera yang merupakan wilayah Atlantis.

3) Bahasa

Jones-Gregorio pada tahun 1994 melakukan studi dalam tesisnya tentang hubungan antara bahasa Mesir dan Semit Barat dengan bahasa Rejang berdasarkan kamus Rejang yang disusun oleh MA Jaspen (1983). Ia menyimpulkan bahwa banyak kata-kata dalam bahasa Rejang yang memiliki kemiripan dekat dengan bahasa Mesir kuno dan Fenisia.
Tabel 1. Kaitan silabus Mesir-Rejang-Indonesia-Malaysia (Jones-Gregorio, 1994)
Table 1a Table 1b Table 1c
Tabel 2. Kaitan silabus Ibrani-Rejang-Indonesia-Malaysia (Jones-Gregorio, 1994)
Table 2

4) Lokasi Tanah Punt

Gambar 50
Gambar 51. Kemungkinan lokasi pelabuhan Punt


Berdasarkan bukti-bukti diatas, penulis membuat hipotesis bahwa Tanah Punt terletak di sekitar pantai Bengkulu, Sumatera baratdaya. Wilayah ini mudah dicapai dari Samudera Hindia. Lokasi yang mungkin untuk pelabuhan Punt adalah Ipuh, Kota Bengkulu, Mana dan Bintuhan tetapi yang paling mungkin adalah Kota Bengkulu.
Kota Bengkulu sebagai lokasi yang paling mungkin adalah dengan alasan bahwa kondisi pantainya mendukung bagi kapal untuk berlabuh dan berada pada jarak yang terdekat dengan pusat budaya Rejang, habitat pohon kemenyan dan tambang emas kuno Lebong Donok. Sebuah teluk yang terdapat di situ dan lereng pantainya yang landai menjadikannya tempat yang terbaik untuk berlabuh. Sebuah pelabuhan baru telah dibangun di pantai tersebut, yaitu di Pulau Baai, pada tahun 1984.
Perusahaan Inggris, East India Company (EIC) mendirikan pusat perdagangan lada dan garnisun di sekitar Kota Bengkulu (Bencoolen) pada tahun 1685. Pada tahun 1714, mereka membangun Benteng Marlborough, yang sampai sekarang masih berdiri. Pos perdagangan tersebut tidak pernah menguntungkan bagi Inggris, karena terhambat oleh lokasi yang tidak disenangi oleh orang Eropa, dan karena ketidakmampuannya untuk mendapatkan lada yang cukup banyak untuk dibeli. Kemudian hanya menjadi pelabuhan sesekali kunjung saja bagi East Indiaman, kapal yang disewa EIC. Meskipun terdapat kesulitan-kesulitan ini, Inggris tetap bertahan dan berada disana selama kira-kira 140 tahun sebelum menyerahkannya ke Belanda sebagai bagian dari Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824 dalam pertukarannya dengan Malaka. Bengkulu tetap menjadi bagian dari Hindia Belanda sampai pendudukan Jepang dalam Perang Dunia Kedua.
Kemungkinan lokasi yang lain adalah Ipuh, Manna dan Bintuhan. Di Ipuh tidak ada teluk yang dapat melindungi kapal untuk berlabuh tetapi pantainya landai. Dikatakan bahwa pernah ada pasar kuno di Ipuh. Manna adalah kota tua dan pasar yang telah terdapat pada peta-peta buatan Eropa sejak abad ke-16. Suku Serawai, suku terbesar kedua di Bengkulu setelah suku Rejang, mendiami daerah di sekitar Manna, antara lain di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna dan Seginim.

Tanah Punt dan Kaitannya dengan Atlantis

Sebutan Tanah Punt sebagai Ta Netjer oleh orang-orang Mesir yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai Tanah Dewata, merupakan tempat tinggalnya para dewa dan lokasinya adalah kearah matahari terbit, tempatnya Dewa Matahari Ra. Sebutan Tanah Dewata dapat ditafsirkan sebagai “tanah para leluhur”, yang berarti bahwa orang Mesir kuno melihat Tanah Punt sebagai tanah leluhur mereka.
Dari pembahasan diatas dan banyaknya bukti-bukti, dengan jelas dapat diduga bahwa Tanah Punt terdapat di Sumatera. Berkaitan dengan Tanah Punt sebagai tanah leluhur orang-orang Mesir kuno, maka dapat disimpulkan bahwa tanah asal bangsa Mesir adalah di Sumatera, dengan lokasi yang paling mungkin adalah di Bengkulu.
Kisah Atlantis berasal dari Mesir, yang dikatakan terdapat pada prasasti di sebuah kuil di Mesir. Secara umum, Mesir memiliki catatan yang paling lengkap dan akurat tentang kejadian-kejadian masa lalu, bahkan sampai yang paling kuno. Disebutkan juga bahwa asal bangsa Mesir adalah di Atlantis, sebagai sebuah wilayah yang telah ditaklukkannya. Kita bisa menduga bahwa Mesir purba yang diceritakan oleh pendeta Mesir tersebut sebenarnya adalah suku primordial yang merupakan nenek moyang mereka sebelum banjir besar dan bencana lainnya. Mereka adalah diantara para pengungsi dan korban bencana; kemudian bermukim kembali di daratan yang sekarang disebut Mesir. Dalam penyelamatan, mereka membawa catatan, dan selanjutnya disimpan dalam kuil-kuil mereka, ataupun ingatan mereka ditulis kembali setelah berada di tempat barunya.
Kaitan antara Tanah Punt dan Atlantis adalah keduanya merupakan tanah asal bangsa Mesir. Hal ini dengan jelas memperkuat hipotesis penulis bahwa negara Atlantis adalah di Sundalandia, mengingat Sumatera adalah dulunya berada didalam wilayah Sundalandia. Primordial bangsa Mesir yang merupakan wilayah yang ditaklukkan oleh Atlantis terdapat di Sumatera, sedangkan ibukota Atlantis terdapat di tempat yang sekarang disebut Laut Jawa.
***
Hak Cipta © 2015, Dhani Irwanto
Dari naskah asli Land of Punt is Sumatera

Referensi

Johannes Duemichen, Historiche Inschriften Altägyptischer Denkmäler, Leipzig, 1869
Auguste Mariette-Bey, Deir-El-Bahari, Documents Topographiques, Historiques et Ethnographiques, Recueillis dans Ce Temple, Leipzig JC Hinrichs, 1877
Amelia Ann Blanford Edwards, Pharaohs Fellahs and Explorers, Chapter 8: Queen Hatasu, and Her Expedition to the Land of Punt, Harper & Brothers, New York, 1891 (First edition), pp 261-300
WM Flinders Petrie, AS Murray and FLL Griffith, Tanis, Part 11, Nebesheh (Am) and Defenneh (Tahpanhes), Trubner & Co, London, 1888
Eduardo Naville, The Temple of Deir El Bahari, The Offices of The Egypt Exploration Fund, London, 1898
Shih-Wei Hsu, The Palermo Stone: the Earliest Royal Inscription from Ancient Egypt, Altoriental. Forsch., Akademie Verlag, 37 (2010) 1, 68–89
Kathryn A Bard and Rodolfo Fattovich, The Middle Kingdom Red Sea Harbor at Mersa/Wadi Gawasis, Boston University and University of Naples “l’Orientale”, 2011
Fiona Marshall, Rethinking the Role of Bos indicus in Sub-Sahara Africa, Current Anthropology Vol 30, No 2, 1989.
Elio Modigliani, L’Isola Delle Donne, Viaggio ad Engano, Ulrico Hoepli Editore – Libraio Della Real Casa, Milano, 1894
Pieter J ter Keurs, Enggano, Digital publications of the National Museum of Ethnology, nd
Masakazu Kashio, Dennis V Johnson, Monograph on Benzoin (Balsamic Resin from Styrax Species), RAP Publication: 2001/21, Food and Agriculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand, 2001
HJ Abrahams, Onycha, Ingredient of the ancient Jewish incense: An attempt at identification in Econ, 1979
Francesca Modugnoa, Erika Ribechinia and Maria Perla Colombini, Aromatic resin characterisation by gas chromatography–mass spectrometry: Raw and archaeological materials, Journal of Chromatography A Volume 1134, Issues 1-2, 17 November 2006, Pages 298-304.
Kathi Keville, Mindy Green, Aromatherapy: A Complete Guide to the Healing Art, nd
Theo van Leeuwen, A Brief History of Mineral Exploration and Mining in Sumatra, Proceedings of Sundaland Resources 2014 MGEI Annual Convention, 2014
OL Helfrich & JAJC Pieters, Proeve van Eene Maleisch-Nederlandsch-Enganeesch Woordenlijst, Batavia Albrecht Rusche, ‘s Hage M Nijhoff, 1891
Archive of Materials for the Study of the Rejang Language of Sumatra http://www.ohio.edu/people/mcginn/rejanglang.htm
Immanuel Velikovsky, From the Exodus to King Akhnaton, Paradigma Ltd, 2009
Charles Robert Jones-Gregorio, Egyptian And West Semitic Words In Sumatra’s Rejang Culture, Dominican School of Theology and Philosophy St Albert the Great College, 1994
Paul Dickson, Dictionary of Middle Egyptian in Gardiner Classification Order, Creative Commons, 2006
Tatiana M Karafet, Fernando L Mendez, Herawati Sudoyo, J Stephen Lansing and Michael F Hammer, Improved phylogenetic resolution and rapid diversification of Y-chromosome haplogroup K-M526 in Southeast Asia, European Journal of Human Genetics (2015) 23, 369–373
Spencer Wells, Deep Ancestry: The Landmark DNA Quest to Decipher Our Distant Past, National Geographic Books, Nov 20, 2007
Bonn Universitätsklinikum, Bonn scientists shed light on the dark secret of Queen Hatshepsut’s flacon, https://www.uni-bonn.de/Press-releases/deadly-medication



8 komentar:

  1. Mantap. Saya sependapat dengan "kemungkinan" Punt adalah SUmater dsk. Ijin jadi rujukan saya dalam menulis
    Salam

    BalasHapus
  2. Mantap gan . Saya dari Malaysia juga mendukunh kajian ini . Bisa dikatakan apa yang dikaji ini hampir benar semuanya. Teruskan mencari lagi fakta dan bukti, supaya kita semua (bangsa SUNDALAND) bersatu .

    BalasHapus
  3. Sy suka kajian2 sejarah spt ini...
    Mudah2an banyak kajian lainnya ttg sejarah di indo...
    Mgkn ada kajian ttg sejarah gempa di indo.. dan pergeseran lempeng yg aktif di indonesia.. agar bs jadi bahan pelajaran bagi generasi mendatang tentang materi kegempaan di negeri ini..

    Karena banyak pulau2 di negwri kita yg bentuk nya aneh dan unik.. menurut sy ada hubungannya dengan aktifitas gemoa selama ini...

    BalasHapus