Artikel

Konsep Hyang, Sebuah Pemujaan Leluhur

Penelitian oleh Dhani Irwanto, 9 September 2015
Hyang atau dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang (Kawi, Jawa, Sunda dan Bali) adalah sebuah entitas spiritual yang tak terlihat dan memiliki kekuatan supranatural dalam mitologi Nusantara kuno. Entitas spiritual ini adalah para leluhur atau yang kemudian berkembang menjadi para dewa. Dalam istilah Nusantara moderen, Hyang adalah sebutan untuk para dewa, dewata atau tuhan, yang saat ini banyak dikaitkan dengan ajaran dharmisme di Indonesia yang berkembang di Jawa dan Bali kuno selama ribuan tahun. Namun, istilah ini sebenarnya memiliki asal usul yang lebih tua, memiliki akarnya dalam adat animisme dan dinamisme yang merupakan kepercayaan masyarakat penutur Austronesia yang mendiami kepulauan Nusantara. Konsep pemujaan leluhur ini adalah asli dan dikembangkan oleh pribumi di Nusantara dan dianggap tidak berasal dari agama-agama dharma di India.
Sebelum mengadopsi agama Dharma, Buddha dan Islam, penduduk asli Nusantara percaya kepada entitas spiritual yang kuat namun tak terlihat dan bisa bersifat baik maupun jahat. Mereka juga percaya bahwa nenek moyang atau leluhur mereka tidak pergi atau hilang sepenuhnya. Roh leluhur dapat memperoleh kekuatan spiritual seperti dewa dan masih terlibat dalam urusan duniawi keturunan mereka. Itulah mengapa pemujaan untuk menghormati leluhur merupakan elemen penting dalam sistem kepercayaan kelompok suku pribumi, seperti Nias, Dayak, Batak, Toraja, Papua dan banyak kelompok suku lainnya di Nusantara.
Didalam kosmologi konsep Hyang, alam semesta ini dibagi menjadi tiga bagian, alam atas (surga), alam tengah (kehidupan) dan alam bawah (gaib). Konsep ini kemudian diadopsi dalam dharmisme menjadi swarga (dunia atas), pertiwi (bumi) dan patala (dunia gaib). Konsep Hyang menganut kepercayaan satu dewa tertinggi yang menguasai alam semesta, namanya dapat bervariasi untuk setiap daerah. Pada awalnya adalah dewa penguasa perairan (misalnya Baruna) lalu kemudian penguasa alam semesta yang lebih luas (misalnya Batara Guru). Selain itu, pemujaan terhadap dewa yang memberikan kesuburan dan hasil pertanian, terutama padi (misalnya Dewi Sri), juga merupakan unsur yang penting dalam kepercayaan masyarakat Nusantara. Kedua unsur kuat tersebut, perairan dan pertanian, adalah juga merupakan unsur yang penting di Atlantis. Konsep Hyang berawal dari pemujaan roh leluhur yang dapat memberikan kekuatan spiritual, dilakukan di kuil-kuil atau tempat-tempat suci lainnya. Seperti halnya di Atlantis, mereka memuja roh leluhurnya yaitu Poseidon dan Kleitous di sebuah kuil suci di pusat kota.
Spreads of Hyang Concept
Kahyangan (dari ka-hyang-an, tempat untuk para Hyang), dalam istilah lain adalah swarga atau surga, adalah suatu tempat di alam yang dipercaya oleh para penganut beberapa keyakinan sebagai tempat tinggal para Hyang. Istilah Kahyangan populer di Jawa, Bali dan Lombok dalam kepercayaan mereka, Kejawen, Sunda Wiwitan dan dharmisme Bali serta dalam cerita klasik pewayangan. Kahyangan mirip dengan Banua Ginjang dalam kepercayaan Batak dan Kaharingan dalam mitologi Dayak.
Etimologi Hyang masih terus digunakan sampai sekarang. Sanghyang dan rahyang merujuk kepada para dewa. Dahyang, danyang atau dayang mengacu pada roh penjaga tempat-tempat suci atau tempat angker tertentu. Tiyang dalam bahasa Jawa yang berarti “orang” diyakini berasal dari kata ti dan Hyang berarti “keturunan Hyang”. Parahyangan atau Priangan berarti “tempat tinggal para Hyang yang dimuliakan”. Mojang Priangan adalah sebutan untuk seorang gadis dari Priangan. Dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah terdiri dari gabungan kata-kata di-Hyang yang berarti “kediaman Hyang di tempat yang tinggi”. Gunung Padang di Jawa Barat adalah dari kata-kata pada-Hyang yang berarti “tempat suci para Hyang”. Kata sembahyang, sinonim dengan shalat dalam Islam adalah berasal dari kata gabungan sembah-Hyang yang berarti “ibadah kepada Hyang”. Beberapa orang Jawa percaya bahwa kata wayang adalah berasal dari kata ma dan Hyang yang berarti “untuk Hyang”. Beberapa tokoh dewa dalam kisah pewayangan memiliki gelar yang dimulai dengan Sang Hyang. Istilah Negeri Kahyangan adalah berarti “tanah para Hyang” atau “tanah surga”. Sangeang Api, sebuah kompleks gunung berapi aktif di Kepulauan Nusa Tenggara dan terdapat dalam naskah Majapahit Nagarakretagama pada abad ke-14, adalah berasal dari sang-Hyang api. Pulau Sangiang di Selat Sunda adalah berasal dari sang-Hyang.

Jawa

IDalam mitologi Jawa bagian tengah dan timur, Hyang adalah entitas spiritual yang tak terlihat yang memiliki kekuatan supranatural yang berhubungan dengan para dewa. Batara Guru adalah Hyang penguasa Kahyangan (dari kata ka-hyang-an, kerajaan para Hyang). Ia memberikan wahyu, hadiah dan kemampuan. Batara Guru memiliki permaisuri bernama Dewi Uma dan beberapa anak. Dalam wayang kulit, Batara Guru adalah satu-satunya karakter yang kakinya menghadap ke depan, dengan empat tangan, bergigi taring runcing, leher biru dan kaki lumpuh. Ia selalu naik Lembu Andini, dan juga dikenal dengan beberapa nama termasuk Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagatnatha, Sang Hyang Nilakanta, Sang Hyang Trinetra dan Sang Hyang Girinata. Batara Guru memiliki dua saudara, Sang Hyang Maha Punggung dan Sang Hyang Ismaya. Orang tua mereka adalah Sang Hyang Tunggal dan Dewi Ekawati. Batara Guru adalah ayah Dewi Sri, dewi padi dalam mitologi Jawa.
Batara Guru

Sunda

Menurut keyakinan Sunda Wiwitan dalam masyarakat suku Sunda (Jawa sebelah barat), dewa yang tertinggi adalah bernama Sang Hyang Kersa yang menciptakan alam semesta dan juga dewa-dewa lain, seperti ibu para dewa Batari Sunan Ambu dan Batara Guru. Batara Guru menguasai Kahyangan atau swargaloka sebagai raja para dewa, sementara Sang Hyang Kersa tetap tak terlihat. Menurut legenda Sunda, dataran tinggi Parahyangan (dari pa-ra-hyang-an, tempat untuk Hyang yang agung), juga dikenal sebagai Priangan, tercipta secara ajaib ketika para Hyang (para dewa) sedang bahagia dan tersenyum. Untuk mengisi dataran tersebut, Sang Hyang Kersa menciptakan hewan dan makhluk gaib. Sedangkan mitos Sang Hyang Sri (juga dikenal sebagai Nyai Pohaci Sanghyang Asri) menjelaskan tentang asal usul padi dan tanaman di bumi, seperti yang diceritakan dalam Wawacan Sulanjana, sebuah naskah Sunda kuno yang berisi mitologi Sunda. Menurut legenda Sunda, dataran tinggi Priangan pada zaman dahulu kala adalah sebuah danau yang disebut Danau Hyang.
Sunda Batara Guru

Bali

Dalam perspektif dharmisme Bali, dewa tertingginya dikenal dengan nama Sang Hyang Widhi Wasa (juga dikenal sebagai Acintya atau Sang Hyang Tunggal), yang berarti Tuhan Yang Maha Esa. Sang Hyang Widhi Wasa dikaitkan dengan konsep Brahma, yaitu agama yang memiliki dewa tunggal, meskipun terdapat berbagai penjelmaan. Tiga penjelmaan Sang Hyang Widhi Wasa yang terkenal adalah Brahma, Wisnu dan Siwa, yang disebut sebagai Trimurti; Brahma adalah pencipta (utpatti), Wisnu adalah pemelihara (sthiti) dan Siwa adalah perusak (praline). Penjelmaan yang lain adalah Dewi Sri, dewi padi.
Dharmisme Bali menganut kepercayaan bahwa semua ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa akan menghadapi siklus kelahiran, kehidupan dan kematian. Inti kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dinyatakan dalam sekelompok kuil yang disebut Sanggah Pamerajan yang berada di setiap bagian depan rumah penganut agama dharma di Bali. Kursi kosong (pelinggih) di bagian atas Padmasana, kursi utama, adalah diperuntukkan bagi Sang Hyang Widhi Wasa.
Dharmisme Bali membagi kosmos menjadi tiga lapisan. Tingkat tertinggi adalah surga, atau suarga, tempat tinggal para dewa. Berikutnya adalah dunia manusia, buwah. Di bawahnya adalah neraka atau bhur, tempat tinggal para makhluk gaib dan roh-roh orang yang dihukum karena kejahatannya di bumi. Ketiga bagian ini tercermin dalam tubuh manusia (kepala, badan dan kaki) dan dalam Sanggah Pamerajan.
Acintya_BaliSanggah Pamerajan

Dayak

Dalam Kaharingan, agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Dayak di Kalimantan, memiliki dewa tertinggi yang disebut Ranying Hatalla Langit, roh leluhur mereka, Sangiang, bahasa kuno mereka Sangen dan leluhur mereka Tato-Hiang. Selain itu, Kaharingan memiliki ritual persembahan yang disebut Tiwah, tempat ibadah yang disebut Balai Basarah atau Balai Kaharingan dan kitab suci yang disebut Panaturan, Talatah Basarah (kumpulan doa) dan Tawar (panduan untuk mencari bantuan dewa dengan memberikan beras). Festival utama Kaharingan adalah festival Tiwah, yang berlangsung selama tiga puluh hari, dan melibatkan pengorbanan banyak hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam sebagai persembahan kepada Dewa yang Maha Agung.
Dalam kosmologi mereka, alam semesta dibagi menjadi tiga bagian kehidupan: alam gaib, alam manusia dan surga, yang dilambangkan pada sebuah pohon yang disebut Batang Garing.
Batang Garing
Diantara banyak suku Dayak di Kalimantan, mereka yang tinggal di hulu sungai di provinsi Kalimantan Tengah adalah suku Dayak Ngaju, Lawangan, Ma’anyan dan Ot Danum, yang dikenal sebagai Dayak Barito. Diantara suku-suku tersebut, yang paling dominan adalah Dayak Ngaju, yang mendiami lembah Sungai Kahayan yang saat ini terdapat kota Palangkaraya. Dalam kehidupan sehari-harinya, Dayak Ngaju terfokus pada dunia roh supranatural, termasuk roh-roh leluhur.
Agama Kaharingan adalah berkorelasi dengan konsep Hyang. Nama-nama Ranying, Sangiang, Sangen, Tato-Hiang dan Kahayan secara fonetis memiliki kemiripan dengan kata “hyang”, “ra-hyang”, “sang-hyang” dan “ka-hyang-an”. Demikian pula tentang tiga bagian kehidupan dalam kosmologi mereka, terdapatnya pemujaan terhadap leluhur dan adanya satu dewa tertinggi juga menunjukkan adanya konsep Hyang.

Bugis

Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan mengembangkan mitos penciptaan luar biasa yang disebut Galigo. Menurut Sure' Galigo (sebuah epik mitos penciptaan masyarakat Bugis), Datu Patoto adalah dewa tertinggi; dengan istrinya Datu Palinge' yang mempunyai anak Batara Guru dan diutus ke bumi sebagai manusia. Nama sucinya adalah La Toge' Langi'. Ia memiliki setidaknya sepuluh anak dari lima selirnya, tetapi hanya satu anak dari permaisuri tercintanya, We Nyili' Timo'. Ia adalah ayah Batara Lattu' dan kakek Sawerigading, tokoh utama dalam Sure' Galigo. Ia juga ayah Sangiang Serri, yaitu dewi padi dan kesuburan dalam mitologi Bugis. Namun, manusia tidak lahir dari mereka tetapi dari hamba-hambanya serta para hamba penguasa lainnya.
Sawerigading
Kehadiran Batara Guru dan Sangiang Serri, terdapatnya pemujaan terhadap nenek-moyang, terdapatnya kosmologi tingkatan dunia serta adanya satu dewa tertinggi dalam mitologi Bugis setidaknya menunjukkan korelasinya dengan konsep Hyang.

Toraja

Dalam mitologi masyarakat Toraja di Sulawesi bagian tengah, leluhur mereka turun dari surga dengan menggunakan tangga, yang oleh masyarakat Toraja digunakan sebagai sarana komunikasi dengan Puang Matua, sang pencipta dan dewa tertinggi. Kosmologi Toraja, menurut aluk (jalan), dibagi menjadi dunia atas (surga), dunia manusia (bumi), dan dunia gaib. Pada mulanya, surga dan bumi menikah, lalu terjadi kegelapan, berpisah, dan akhirnya muncullah cahaya. Hewan-hewan juga terdapat di dunia gaib, yang digambarkan sebagai sebuah ruang persegi panjang dan dikelilingi pilar-pilar. Bumi adalah untuk umat manusia, dan surga terletak diatas, yang digambarkan sebagai atap yang berbentuk pelana. Dewa masyarakat Toraja yang lainnya meliputi Pong Banggai (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan) dan masih banyak yang lainnya.
Didalam mitologi Toraja terdapat satu dewa tertinggi yaitu Puang Matua, terdapat pemujaan terhadap leluhur dan terdapat tiga tingkatan dunia dalam kosmologi mereka sehingga mitologi Toraja berkorelasi dengan konsep Hyang. Sebutan Puang adalah mirip dengan Hyang.

Batak

Dalam mitologi masyarakat Batak di Sumatera Utara, alam semesta dibagi menjadi tiga dunia, yaitu dunia atas yang disebut Banua Ginjang, dunia tengah yang disebut Banua Tonga dan dunia bawah yang disebut Banua Toru. Dunia tengah, dimana manusia hidup, juga merupakan perantara antara dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas adalah tempat tinggal para dewa, sementara dunia bawah adalah tempat tinggal para makhluk gaib serta roh-roh bumi dan kesuburan. Warna yang biasa digunakan oleh orang-orang Batak untuk peralatan rumah tangga, Hauduk, kain Ulos dan ukiran kayu adalah berwarna putih, merah dan hitam yang merupakan simbol dari ketiga dunia tersebut.
Pencipta dunia dalam mitologi masyarakat Batak adalah Mulajadi na Bolon, dibantu oleh serangkaian dewa lainnya yang terbagi menjadi tujuh tingkat dalam dunia atas. Mulajadi na Bolon memiliki tiga anak yaitu Debata Guru, Debata Soripada dan Debata Mangala Bulan; mereka dikenal sebagai Debata Sitolu Sada (tiga dewa menjadi satu) atau Debata na Tolu (tiga dewa). Ketiga dewa tersebut berada dibawah kendali dewa tertinggi Mulajadi na Bolon. Diceritakan bahwa Mulajadi na Bolon mengirim putrinya Tapionda ke bumi di kaki gunung Pusuk Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja pertama Batak.
Dewa lain yang tercatat adalah Debata Idup (dewa kehidupan) dan Pane na Bolon yang menguasai dunia tengah. Beberapa dewa lainnya terkait dengan dewa-dewa dharma; antara lain Boraspati ni Nato dan Boru Saniang Naga. Selain itu, terdapat roh-roh yang tinggal di danau, sungai dan gunung.
Istilah debata identik dengan dewata atau Hyang. Terdapatnya pemujaan terhadap leluhur, satu dewa tertinggi dan tiga tingkatan dunia dalam kosmologi mereka menunjukkan bahwa mitologi masyarakat Batak adalah berkorelasi dengan konsep Hyang. Kehadiran Debata Guru dalam mitologi tersebut setidaknya menunjukkan korelasinya dengan konsep tersebut.

Rejang

Suku Rejang adalah salah satu kelompok suku tertua di Sumatera yang mendiami terutama di pantai sebelah barat daya pulau tersebut, di daerah dingin pegunungan Barisan, di provinsi Bengkulu, Indonesia. Sebagian besar suku Rejang mendiami daerah Rejang Lebong, Kepahiang, Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara dan Kabupaten Lebong. Situs megalitik yang banyak terdapat di daerah ini dipengaruhi oleh budaya Basemah di Sumatera sebelah barat daya.
Orang-orang suku Rejang menyebut diri mereka Hejang. Bahasa Rejang diamati tidak ada kedekatan dengan bahasa Melayu-Polinesia lainnya. Suku Rejang memiliki aksara mereka sendiri, yang dikenal sebagai alfabet Rejang Kaganga, agak mirip dengan abjad Fenisia. Suku Rejang tidak ada hubungannya dengan suku Dayak Rejang yang mendiami Pulau Kalimantan sebelah timur dan utara.
Dalam budaya mereka, upacara dilakukan pada peristiwa pembukaan lahan hutan untuk pertanian (disebut kedurai agung) dan selama jeda siklus tanam padi. Upacara yang paling penting, kedurai mundang biniak, dilakukan sebelum menanam padi. Pada kesempatan ini, dewi padi, Nyang Serai, meninggalkan padi dan desa menuju ke surga untuk menyediakan hujan. Perayaannya meliputi tarian yang dilakukan setiap malam oleh tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan dari keluarga yang berbeda sebagai ungkapan tentang perkawinan campuran. Mundang biniak diadakan selama tujuh hari, dan dilakukan hanya sekali setiap tiga sampai tujuh tahun. Dalam tahun-tahun lain, penanaman padi dirayakan dengan upacara kecil, membasuh biniak. Rangkaian upacara berakhir saat panen, saat Nyang Serai kembali ke desa dan memastikan bahwa roh padi tidak akan meninggalkan padi yang disimpan di lumbung.
Masyarakat Rejang memuja dewi padi, Nyang Serai, yang identik dengan Sanghyang Sri, Sangiang Serri dan Dewi Sri dalam budaya lain. Beberapa orang percaya bahwa Rejang berasal dari kata ra dan Hyang, yang berarti Hyang yang agung. Terdapat nama-nama daerah seperti Kepahiang serta Hiang (di daerah Kerinci) yang memiliki usia pra-sejarah yang sama dan juga dapat dikaitkan. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Rejang adalah terkait dengan konsep Hyang.

Nias

Nias adalah sebuah pulau di lepas pantai barat Sumatera. Dalam mitologi mereka, alam semesta adalah terdiri dari tiga dunia. Dunia atas, Tetehöli Ana'a, adalah tempat asal para dewa, di langit, di awan dan dahulu kala dekat dengan bumi. Dunia tersebut memiliki beberapa desa dengan masyarakat yang berbeda dan sering bertentangan satu sama lain. Lowalangi adalah dewa dunia atas ini. Silewe Nazarata, adik dan/atau istrinya, memberi pengetahuan kepada manusia: ia mengajari mereka bagaimana mengolah ladang, membangun rumah dan mengukir patung. Dunia bawah adalah gelap, kadang-kadang diidentifikasi dengan gua atau lubang besar yang dihuni oleh roh-roh jahat. Gempabumi yang sering terjadi di Pulau Nias diyakini berasal dari dunia bawah ini, yang juga menjadi tempatnya Lature Dano, kakak Lowalangi. Dunia tengah, atau dunia manusia, diciptakan oleh para dewa atau dalam versi lainnya diciptakan oleh salah satu dewa dari sisiknya.
Terdapatnya satu dewa tertinggi yaitu Lowalangi, pemujaan terhadap leluhur dan tiga tingkatan dunia dalam kosmologi mereka menunjukkan bahwa mitologi Nias berkorelasi dengan konsep Hyang.
***

2 komentar:

  1. Ruarrrr biasa....
    Buaday tiap daerah di Nusantara mempunyai kemiripan, satu dg yg lainnya
    Paling tidak menambah wawasan kasanah budaya leluhur, yg akhirnya menambah wawasan seperitual kita dlm menjalani kehidupan saat ini,,rahayu rahayu rahayu🙏🙏

    BalasHapus