<English>
Kisah Atlantis berasal dari dialog
Sokrates, “Timaios” dan “Kritias”, yang ditulis oleh Plato pada sekitar 360 SM.
Dalam dialog tersebut, Plato menjelaskan bahwa Solon, satu dari tujuh orang
bijak, seorang penyair Athena dan penata hukum yang terkenal, pernah ke Mesir
dimana para pendeta bercerita tentang kisah Atlantis yang tertulis pada sebuah
tugu didalam kuil mereka. Atlantis dikatakan sebagai sebuah “kisah nyata”, yang
hancur, dalam sehari semalam, 9.000 tahun sebelum Solon atau sekitar 11.600
tahun lalu. Ini secara akurat bertepatan dengan bencana dahsyat pada akhir
periode Dryas Muda.
Plato menyebutkan bahwa pulau Atlantis telah
dilanda gempa dan banjir, dan kemudian berangsur-angsur terbenam kedalam laut. Dalam
beberapa penjelasan lainnya, tersirat bahwa banjir tersebut datangnya dari
laut, sehingga kemungkinan adalah sebuah tsunami. Plato tidak mengenal
“tsunami” sehingga menyamakannya dengan “banjir”. Gempa dan tsunami sangat
sering berkorelasi.
Pulau itu kemudian berangsur-angsur
terbenam kedalam laut, yang berarti oleh kenaikan permukaan laut selama periode
Pasca-glasial.
Solon, ketika sedang menulis puisinya,
menanyakan arti dan pengetahuan nama-nama tersebut yang telah diterjemahkan
kedalam bahasa Mesir; saat menyalinnya lagi menerjemahkannya kedalam bahasa
Yunani. Dengan demikian, nama-nama dalam cerita Solon ini telah dipinjam dari
mitos Yunani agar orang-orang Athena dapat memahami.
Kisah Atlantis memiliki garis waktu sebagai
berikut.
- Suatu waktu sebelum 10.000 tahun sebelum Solon, masyarakat “Athena” terbentuk.
- Suatu waktu sebelum 9.000 tahun sebelum Solon, masyarakat “Mesir” terbentuk.
- Sesaat sebelum 9.000 tahun sebelum Solon, wilayah dari “Libya” sampai “Mesir” dan “Tirenia” ditaklukkan oleh Atlantis.
- 9.000 tahun sebelum Solon, terjadi perang antara Atlantis dan “Athena”.
- 8.000 tahun sebelum Solon, orang-orang Mesir mencatat register sucinya.
- Antara 9.000 tahun sebelum Solon dan waktu Solon, terjadi berkali-kali banjir besar dan tenggelamnya daratan.
- Sekitar 600 SM, pendeta Mesir menceritakan kisah Atlantis kepada Solon.
- Sekitar 360 SM, Plato menulis “Timaios” dan “Kritias”.
Sejak tulisan pertama kisah Atlantis, yang ditulis
oleh filsuf Yunani Plato lebih dari 2.300 tahun lalu, terus terjadi perdebatan
serius apakah Atlantis pernah benar-benar ada atau tidak. Keberadaan Atlantis
didukung oleh fakta yang dijelaskan secara sangat terinci oleh Plato. Selain
itu, berbagai kondisi, peristiwa dan barang yang tidak diketahui oleh Plato
juga dijelaskan dengan kata-kata yang rinci dan panjang. Plato sendiri
menegaskan bahwa itu adalah kisah nyata.
Ada banyak lokasi yang diusulkan sebagai
lokasi Atlantis. Salah satunya adalah di Sundalandia atau Indonesia.
Gagasan pertama tentang hubungan antara
Atlantis dan Indonesia berasal dari seorang theosophist terkemuka, CW
Leadbeater, dan Letnan-Gubernur Inggris di Jawa, Thomas Stamford Raffles, pada
abad ke-19. Salah satu peneliti pertama Atlantis disana, pada pertengahan tahun
1990, adalah seorang polymath Amerika William Lauritzen. Konsep Atlantis
Sundalandia telah diberi dorongan besar oleh penerbitan buku almarhum profesor
Brasil Arysio Nunes dos Santos “Atlantis: Benua yang Hilang Akhirnya
Ditemukan” pada tahun 2005.
Penggenangan prasejarah wilayah Sundalandia
telah tercakup secara ekstensif oleh seorang dokter anak dan ahli genetika,
Stephen Oppenheimer pada tahun 1998. Hipotesis atlantologi Sundalandia juga
telah disisipkan oleh penelitian dari seorang ahli geologi dan geofisika,
Robert M Schoch bersama-sama dengan Robert Aquinas McNally pada tahun 2003.
Contoh menarik lainnya tentang lokasi
Atlantis ini adalah dari seorang ahli biologi molekuler Sunil Prasannan, yang
telah berkontribusi pada sejumlah forum internet yang berkaitan dengan
Atlantis. Zia Abbas dalam bukunya “Atlantis: The Final Solution” pada
tahun 2002 mengklaim telah membuktikan bahwa Atlantisnya Plato dapat ditemukan
di landas kontinen di Laut Tiongkok Selatan, yang dikenal dengan Sundalandia.
Pada tahun 2013, Danny Hilman Natawijaya
dalam bukunya “Plato Tidak Bohong, Atlantis Ada di Indonesia”,
menyatakan bahwa piramida Gunungpadang di provinsi Jawa Barat rupanya dibangun
oleh orang-orang menjadi bentuk piramida sekitar 13.000 tahun lalu, adopsi
Atlantis yang berada di yang sekarang Indonesia.
Graham Hancock mengusulkan asal usul
berbagai karya arsitektural dan artistik di Sundalandia dalam masa sebelum
bencana dahsyat sebagai lokasi Atlantis yang sebenarnya, dalam bukunya “Magicians
of the Gods”, yang diterbitkan pada tahun 2015.
Dukungan lebih lanjut tentang Atlantis di
Indonesia adalah dengan diterbitkannya sebuah buku, “Atlantis: Kota yang
hilang ada di Laut Jawa” oleh Dhani Irwanto pada bulan April 2015. Ia
berusaha mengidentifikasi ciri-ciri kota yang hilang dengan rincian didalam naskah
Plato dengan sebuah lokasi di Laut Jawa di lepas pantai pulau Kalimantan.
Secara keseluruhan, Dhani Irwanto telah
mengumpulkan 60 bukti yang konvergen untuk menyimpulkan bahwa Atlantis adalah
sesuai dengan ciri-ciri Sundalandia, serta ibukotanya kemungkinan besar
terletak di Laut Jawa.
1. Pada suatu tempat yang jauh di “Samudera
Atlantik” (pemahaman Yunani kuno)
Timaios: 24e
Apa yang kita sebut sekarang dengan nama
“Samudera Atlantik” tidak sama dengan yang dahulu. Herodotos, Aristoteles,
Plato, Strabon dan beberapa penulis kuno lainnya dengan sangat spesifik
menyebutkan bahwa “Samudera Atlantik” adalah keseluruhan “samudera yang
mengelilingi bumi” dan saling menyambung, yang sekarang kita sengaja membaginya
menjadi Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik.
Ungkapan “pada titik yang jauh di Samudera
Atlantik” menyiratkan bahwa Atlantis berada jauh di samudera yang kita kenal
sekarang dengan Samudera Hindia bagian timur atau Samudera Pasifik.
Plato diduga telah mewujudkan “Athena”sebagai bagian dalam kisah Atlantis. Dugaan perwujudan tersebut didukung oleh
ungkapan-ungkapan sebagai berikut.
Negara Atlantis terletak pada titik yang
jauh di Samudera Atlantik, dengan sendirinya menempatkan kota Athena di lokasi
yang jauh pula karena kedua wilayah adalah berdekatan seperti yang
dikisahkannya.
Atlantis dan “Athena” dibatasi oleh
Tugu-tugu Herakles yang antara lain ditempatkan di sebuah selat yang disebut
Selat Herakles. Kota Atlantis terletak didalam selat, yang berarti bahwa kota
“Athena” berada di luar selat dan laut itu. Deskripsi geografis ini tidak
sesuai dengan keberadaan Atlantis di sekitar Laut Mediterania.
Pernyataan bahwa “’Athena’ yang sebelumnya
memiliki lahan yang luas dan subur, pada masa Solon telah tenggelam hampir seluruhnya
dan yang tersisa hanyalah sebagian kecil yang berbatu-batu, dan hanya beberapa
pohon yang tumbuh dan hampir seluruhnya terdiri dari tanah kosong sehingga air
hujan hanya mengalir di atasnya saja dan kemudian hilang ke laut”, tidak
menggambarkan kondisi kota Athena pada masa Solon.
Pernyataan bahwa kota “Athena” telah
didirikan seribu tahun sebelum Mesir juga tidak sesuai.
2. Jalan menuju pulau-pulau lain
Timaios: 24e
3. Dapat mencapai benua di seberangnya yang meliputi samudera yang sebenarnya
Timaios: 24e
4. Lebih besar dari gabungan “Libya” dan
“Asia” (Asia Kecil) (pemahaman Yunani kuno)
Timaios: 24e – Kritias: 108e
5. Bentang daratan seluruh negeri, di
wilayah pada sisi samudera, adalah menjulang tinggi dan terjal.
Kritias: 118a
Permukaan laut pada masa Atlantis, sekitar
11.600 tahun yang lalu, adalah sekitar 60 meter dibawah permukaan laut
sekarang.
Ungkapan Plato bahwa “Atlantis adalah jalan
untuk menuju pulau-pulau lain, dan dari sana dapat mencapai ke benua di
seberangnya yang meliputi samudera yang sebenarnya” dengan tepat menunjuk ke
Sundalandia. Bepergian dari sana, seseorang dapat mencapai beberapa pulau
seperti Nusatenggara, Sulawesi, Maluku, Mindanao dan Luzon, dan dapat mencapai
benua di seberangnya, yaitu “Benua Sahul” yang besar gabungan Australia, Papua dan
daratan yang menghubungkannya.
“Daratan Atlantis lebih besar dari Libya
dan Asia Kecil” juga dengan tepat menegaskan ukurannya. Ungkapan bahwa “wilayah
yang di sisi samudera dikatakan menjulang dan terjal” lebih lanjut menegaskan bahwa
Sundalandia adalah lokasi Atlantis. Ungkapan “didalam selat dan di laut yang
dikelilingi oleh benua tak berbatas” menegaskan lokasi ibukotanya.
6. Beriklim dua musim – “panas” (kemarau)
dan “dingin” (hujan)
Kritias: 112d, 118e
7. Berlimpah air berkat curah hujan yang
tinggi
Kritias: 111c
8. Iklim dengan suhu udara yang amat nyaman
Kritias: 111e, 112d
Dikatakan bahwa Atlantis memiliki “matahari
di atasnya”, “manfaat dari curah hujan tahunan”, “kelimpahan air”, “iklim
hangat yang sangat baik” dan “musim panas dan musim dingin”. Hal ini sangat
mencirikan iklim tropis. Musim “panas” dan “dingin” mengacu pada musim
“kemarau” dan “hujan”, dimana kata-kata tersebut tidak terdapat di Yunani kuno.
9. Tanahnya subur, terbaik untuk
kayu-kayuan, pertanian dan peternakan
Kritias: 111e, 113c
10. Berlimpah makanan untuk setiap satwa,
liar maupun jinak, untuk mempertahankan peradaban dan menciptakan angkatan
perang (sekitar 20 juta orang)
Kritias: 111e, 118b, 118e, 119a
11. Keragaman flora dan fauna yang sangat
luas
Kritias: 114e, 115a, 115b
Atlantis memiliki “tanah yang subur”, “kayu
yang berlimpah”, “budidaya petani sejati”, “alam yang mulia”, “tanah yang
terbaik di dunia”, “hewan yang berlimpah”, “kelapa”, “hasil bumi rempah-rempah”
dan “dua kali panen setiap tahun”. Ini adalah ciri alam yang sebenarnya di
wilayah Sundalandia. Kelimpahan makanan dan kayu yang dibutuhkan untuk
mempertahankan lebih dari dua puluh juta penduduk, untuk membentuk lebih dari
satu juta tentara dan untuk membangun lebih dari dua ratus kapal, yang tidak
mungkin di bagian lain dunia dalam masa tersebut.
Plato juga menyebutkan bahwa “terdapat
berbagai jenis satwa-satwa lain, baik yang hidup di danau-danau dan rawa-rawa
dan sungai, dan juga yang hidup di pegunungan-pegunungan dan di
dataran-dataran, dan terdapat satwa yang paling besar dan paling tamak.”
Spesies besar seperti harimau, badak,
orangutan, gajah dan macan ada di wilayah tersebut, yang meliputi hampir seribu
spesies mamalia yang mendiami wilayah ini. Selain itu, terdapat hampir seribu
spesies burung dan lebih dari seribu spesies ikan.
12. Gajah, kuda, “banteng” dan lumba-lumba
Kritias: 114e, 116e, 117c to 117e, 119b,
119d sampai 120a
Dijelaskan bahwa “terdapat banyak gajah di
Atlantis.”
Dua dari empat sub spesies gajah Asia
terdapat di Indonesia dan Malaysia. Gajah Sumatera terdapat di pulau Sumatera,
dan gajah Kalimantan di pulau Kalimantan. Gajah Jawa yang sekarang telah punah
dan pernah menghuni Jawa adalah identik dengan gajah Kalimantan.
Plato menyebutkan bahwa terdapat kuda,
untuk pacuan maupun untuk perang.
Berbagai jenis keturunan kuda asli
Indonesia adalah pendek dan ramping, tetapi masih kuat dan kokoh, sehingga
lebih cocok disebut poni daripada kuda. Kuda-kuda poni Indonesia telah
terus-menerus disilangkan dengan darah tambahan, umumnya kuda Arab untuk
meningkatkan kualitasnya, sehingga dapat diperkirakan bahwa aslinya adalah
lebih ramping dan lebih pendek dari apa yang kita lihat sekarang.
Plato menjelaskan bahwa ada pengorbanan
banyak banteng.
Banteng adalah satwa asli Asia Tenggara.
Mereka telah dijinakkan di beberapa tempat, digunakan sebagai hewan pekerja dan
untuk pedaging.
Apa yang dimaksud oleh Plato dengan “banteng”
mungkin adalah kerbau, yang asli Asia Tenggara dan anak benua India.
Orang awam umumnya tidak bisa membedakan
antara “banteng” dan “kerbau”. Plato tidak mengenal “kerbau” tetapi satwa yang
menyerupai “banteng” karena hewan ini tidak terdapat di Yunani kuno dan
sekitarnya.
Plato mengatakan bahwa ada seratus patung Dewi
Laut yang mengendarai lumba-lumba.
Sebagian besar spesies lumba-lumba hidup di
daerah dangkal di perairan tropis dan hangat, sehingga merupakan kondisi ideal
untuk laut-laut setelah tenggelamnya Sundalandia, seperti Laut Jawa dan Laut
Tiongkok Selatan.
13. “Buah” yang berkulit keras,
menghasilkan air yang dapat diminum, daging dan minyak urap
Kritias: 115b
Plato menyebutkan bahwa terdapat
“buah-buahan yang berkulit keras, menghasilkan air yang dapat diminum, daging
dan minyak urap” di Atlantis. Buah-buahan ini tidak lain adalah kelapa.
Kelapa memiliki sejarah panjang dan
dihormati di kalangan budaya di daerah Asia Tenggara, Asia Selatan dan Pasifik.
Analisis DNA menunjukkan bahwa kelapa pertama kali dibudidayakan di kepulauan
Asia Tenggara, yang berarti Filipina, Malaysia dan Indonesia, dan mungkin di
daratan benua juga. Kelapa diperkenalkan ke Samudera Hindia beberapa ribu tahun
yang lalu oleh Austronesia kuno yang membangun jalur perdagangan yang
menghubungkan Asia Tenggara dengan Madagaskar dan pesisir timur Afrika.
Genetika kelapa juga memperlihatkan catatan jalur perdagangan prasejarah dan
kolonisasi Amerika.
14. Hasil bumi yang dibusukkan dengan dipelihara, untuk cuci
mulut setelah makan malam
Kritias: 115b
Plato menyebutkan bahwa terdapat “hasil
bumi yang dibusukkan dengan menjaganya, yang kita konsumsi setelah makan malam”
di Atlantis. Ini bisa jadi adalah makanan tradisional terfermentasi yang
dimakan sebagai makanan penutup, secara lokal dikenal sebagai “tapai”.
“Tapai” adalah asli dan populer di seluruh
Asia Tenggara. Berupa pasta alkohol yang manis atau asam dan dapat digunakan
secara langsung sebagai makanan atau dalam pembuatan kue tradisional.
“Tapai” dapat dibuat dari berbagai sumber
karbohidrat, tetapi biasanya dari singkong, beras putih atau beras ketan.
Fermentasinya dilakukan melalui berbagai campuran dengan menambahkan sumber
karbohidrat dengan mikroorganisme yang diperlukan dalam pengembangan awal, yang
dikenal sebagai “ragi”. “Tapai” juga digunakan untuk membuat minuman beralkohol
yang dikenal sebagai “arak” atau “brem”.
15. Akar-akaran, daun-daunan, kayu-kayuan dan esens disuling dari “buah” dan bunga
Kritias: 115a
Plato menyebutkan bahwa “terdapat
akar-akaran, atau daun-daunan, atau kayu-kayuan, atau esens-esens yang disaring
dari buah dan bunga.” Ini bisa jadi adalah ramuan herbal yang terbuat dari
bahan-bahan alami, yang dikenal sebagai
“jamu”, atau campuran rempah-rempah penyedap makanan, yang dikenal sebagai
“bumbu”.
16. Hasil bumi yang dibudidayakan,
dikeringkan, untuk makanan dan lainnya, digunakan sebagai makanan pokok – nama
umumnya “butiran curah”
Kritias: 115a
“Terdapat hasil bumi yang dibudidayakan,
dikeringkan, memberikan makanan dan lainnya, digunakan sebagai makanan pokok –
yang kita sebut secara umum dengan nama ‘butiran curah’.” Ini tiada lain adalah
padi atau beras, yang menjadi makanan pokok wilayah ini.
17. Sejenis kastanye, yang memberikan
kesenangan dan hiburan
Kritias: 115a
18. Semua hasil bumi itu menakjubkan dan
dalam kelimpahan tak terbatas
Kritias: 115a
“Terdapat sejenis kastanye, yang memberikan
kesenangan dan hiburan.” Ini bisa jadi adalah kopi, yang tumbuh baik di wilayah
ini.
19. Emas
Kritias: 114e, 116c, 116d
20. Perak
Kritias: 114e, 116c, 116d, 116e
21. Timah
Kritias: 116b, 116c
22. “Kuningan”/”perunggu” (tembaga, timah
dan seng)
Kritias: 116b, 116c
23. “Orichalcum”, mineral lebih berharga
dari apa pun kecuali emas, gemerlap, berwarna merah
Kritias: 114e, 116c, 116d
24. “Orichalcum” digali dari bumi di banyak
bagian daratan
Kritias: 114e
Atlantis memiliki kelimpahan mineral: emas,
perak, tembaga, timah dan “orichalcum”. Ini juga ciri sejati alam di wilayah Asia
Tenggara.
Apakah itu “orichalcum”?
“Orichalcum” tidak dikenal oleh orang
Yunani, lebih berharga pada masa itu dari apa pun kecuali emas dan “gemerlap”
dengan “cahaya merah”, atau “seperti api”.
Dhani Irwanto mengidentifikasi “orichalcum”
sebagai zirkon karena memiliki ciri-ciri yang sama dengan deskripsinya. Produk
zirkon adalah benar-benar berharga kedua setelah emas; memiliki kualitas batu
permata dan dikenal sebagai berlian tiruan. Zirkon dapat diproses untuk
menghasilkan warna-warna yang berbeda, yang merah dikenal dengan nama
“hyacinth”. Setelah dipoles, sifatnya berkilau seperti berlian yang tidak
dimiliki oleh logam, oleh karena itu Plato menggambarkannya dengan kata-kata
“gemerlap” dan “bercahaya”, secara khusus. Tidak ada logam yang dikenal
berbercahaya dan gemerlap dengan warna merah, atau seperti api, sehingga
“orichalcum” bukanlah sebuah logam.
Ungkapan bahwa itu “digali dari bumi di
banyak bagian daratan” adalah benar karena terdapat berlimpah di wilayah
Kalimantan.
25. Di dekat dan di sekitar kota terdapat
dataran yang rata.
Kritias: 118a
26. Datarannya halus dan tidak
bergelombang.
Kritias: 118a
27. Datarannya dikelilingi oleh pegunungan
yang menurun menuju laut.
Kritias: 118a
28. Datarannya mengarah ke selatan,
terlindung dari utara.
Kritias: 118b
29. Datarannya dikelilingi oleh sederetan pegunungan
besar dan kecil yang indah, dengan desa-desa dan rakyat yang makmur, sungai,
rawa dan padang rumput.
Kritias: 118b
30. Pada datarannya terdapat berbagai macam kayu – berlimpah untuk setiap macam karya.
Kritias: 118b
Plato menjelaskan bahwa terdapat “sebuah
dataran yang rata, halus dan tidak bergelombang, turun menuju
laut”,“dikelilingi oleh sederetan pegunungan besar dan kecil yang indah”,
“menghadap kearah selatan dan terlindung dari utara” dan “terdapat desa-desa
dan rakyat yang makmur, sungai, danau dan padang rumput”.
Dhani Irwanto dalam bukunya menyatakan bahwa
dataran yang memiliki ciri-ciri wilayah tersebut terdapat di Kalimantan sisi
selatan dimana sebagian kini terendam dibawah Laut Jawa. Datarannya memiliki
kemiringan yang sebagian besar kurang dari 1% menurun ke selatan menuju Laut
Jawa dan tidak ada gundukan yang terlihat pada seluruh dataran. Menghadap ke
sebelah selatan dan terlindung oleh Pegunungan Muller-Schwaner dan Meratus di sebelah
utara, sebagian besar tertutup oleh hutan primer, dihuni oleh bermacam-macam
satwa dan sebagai kediaman puluhan suku asli Dayak. Memiliki curah hujan yang
tinggi dan suhu hangat sepanjang tahun, banyak sungai besar dan anak-anak
sungainya sehingga sangat subur dan kaya sumberdaya makanan
dan kebutuhan sehari-hari.
31. Bentuk umum datarannya adalah persegi
panjang dan lonjong.
Kritias: 118a, 118c
32. Datarannya membentang dalam arah memanjang 3.000 stadium (± 555 km),
melintang 2.000 stadium (± 370 km).
Kritias: 118a
Plato menjelaskan bahwa dataran itu
“berbentuk persegi dan lonjong, panjangnya 3.000 stadium atau sekitar 555
kilometer dan lebarnya 2.000 stadium atau sekitar 370 kilometer”. Bentuk
dataran di wilayah Kalimantan bagian selatan dan Laut Jawa yang berdekatan
adalah persegi panjang di sebelah selatan dan lonjong di sebelah utara, hampir
persis panjangnya 555 kilometer dan lebarnya 370 kilometer.
33. Saluran keliling adalah luar biasa
besarnya, tak diduga bahwa itu buatan.
Kritias: 118c
34. Saluran keliling dalamnya 100 kaki (±
30 m), lebarnya 1 stadium (± 185 m), panjangnya 10.000 stadium (± 1.850 km).
Kritias: 118c
35. Saluran keliling memperoleh aliran dari
pegunungan.
Kritias: 118d
36. Saluran pedalaman adalah lurus,
lebarnya sekitar 100 kaki (30 m), intervalnya
sekitar 100 stadium (18,5 km) dan bermuara kedalam saluran keliling.
Kritias: 118d
Mengenai saluran air di dataran tersebut, Plato menjelaskan bahwa “saluran keliling
dalamnya 100 kaki atau sekitar 30 meter, lebarnya 1 stadium atau sekitar 185
meter, panjangnya 10.000 stadium atau sekitar 1.850 kilometer, melingkari
seluruh dataran, mendapatkan aliran dari pegunungan, berliku di sekitar
dataran, bertemu di kota dan bermuara ke laut”.
Plato menggambarkan bahwa “saluran
pedalaman adalah lurus, lebarnya 100
kaki atau sekitar 30 meter, intervalnya 100 stadium atau sekitar 18,5 kilometer
dan bermuara kedalam saluran keliling.”
Menurut Dhani Irwanto, ada saluran-saluran
air yang sesuai dengan ciri-ciri tersebut. Sungai Barito, Kapuas-Murung,
Kahayan dan Sebangau yang ada di wilayah itu diidentifikasi sebagai
saluran-saluran tersebut. Mereka berasal dari Pegunungan Muller-Schwaner dan
Meratus. Sungai-sungai ini lebarnya rata-rata sekitar 600 hingga 800 meter dan
dalamnya 8 meter.
Banjir dan sedimentasi sungai di dataran
yang sangat datar selama 11.600 tahun terakhir telah mengubah rezimnya. Pertukaran
aliran dan orde diantara mereka mungkin juga telah terjadi. Namun, secara umum
kelurusan dan orientasi sungainya masih dapat dilihat sampai saat ini, yaitu
sejajar satu sama lain dan kearah utara-selatan.
Dengan menghitung kapasitas aliran,
yaitu luas × kecepatan, dan dengan asumsi
kecepatan aliran yang sama karena kemiringan energi gravitasi yang sama, luas
penampang aliran, yaitu lebar × kedalaman, seperti yang dijelaskan oleh Plato
adalah sekitar 185 × 30 = 5.550 meter persegi. Sementara luas alirannya saat
ini adalah luar biasa hampir tepat, 700 (rata-rata) × 8 = 5.600 meter persegi.
Jarak rata-rata sungai-sungai ini adalah
sekitar 20 kilometer, dapat dianggap mendekati sekitar 18,5 kilometer yang
dikatakan oleh Plato.
37. Terusan digali dari saluran pedalaman
yang satu ke yang lain.
Kritias: 118e
Plato menyebutkan bahwa “terdapat terusan
yang digali dari satu saluran pedalaman ke yang lainnya”.
Dengan mengamati peta kita dapat melihat
berbagai terusan yang ada di wilayah tersebut, beberapa diantaranya dibangun
atau direhabilitasi akhir-akhir ini. Terusan ini dikenal secara lokal dengan
“anjir”, yaitu saluran yang menghubungkan dua sungai sebagai bagian jaringan
transportasi.
38. Saluran pedalaman dan terusan digunakan
untuk mengangkut kayu dan hasil bumi menggunakan kapal.
Kritias: 118e
Sebagian besar sungai-sungai di Kalimantan
bagian selatan dapat dilayari. Semua sungai dan anak sungainya adalah merupakan
jaringan sistem transportasi, menjadi sarana vital bagi masyarakat dan telah
menjadi urat nadi ekonomi karena sebagian besar kegiatan ekonomi mereka
dilakukan melalui dan di sungai sejak zaman kuno. Berbagai jenis hasil hutan,
pertambangan dan pertanian diangkut ke tempat pengumpulan
atau pelabuhan melalui jaringan sungai.
39. Saluran irigasi menyadap dari saluran
yang lain.
Kritias: 118e
40. Saluran irigasi mengairi lahan di
“musim panas” (musim kemarau) sementara di “musim dingin” (musim hujan)
mendapatkan air dari hujan, menghasilkan dua kali panen dalam setahun.
Kritias: 118e
Plato menyebutkan bahwa “terdapat saluran
irigasi yang menyadap dari saluran lain untuk mengairi lahan di musim panas
(musim kemarau) tetapi dari hujan di musim dingin (musim hujan)
menghasilkan dua kali panen dalam setahun”.
Praktek saat ini sistem irigasi rawa
pasangsurut di Kalimantan bagian selatan secara tradisional dikenal dengan
“sistem anjir” dimana saluran primernya disebut “anjir” atau “antasan” yang
dibuat dengan menghubungkan dua sungai pasangsurut, juga digunakan sebagai
keperluan navigasi. Saluran didalam lahan dibuat untuk mengairi dan menguras
sawah dari dan kedalam “anjir”, yaitu: saluran sekunder yang disebut “handil”
atau “tatah” dan saluran tersier disebut “saka”. Sewaktu air surut,
saluran-saluran ini membuang air beracun dan pada saat pasang air tawar
dialirkan kedalam saluran dan disampaikan ke sawah. Sistem ini menghasilkan dua
kali panen padi dalam setahun.
Semua fakta ini benar-benar konsisten
dengan ungkapan Plato.
41. Pulau kotanya ada di laut yang dikelilingi
oleh benua tak terbatas, yang lainnya adalah samudera yang nyata.
Timaios: 25a
43. Kota itu terdapat didepan sebuah selat.
Timaios: 24e, 25a
44. Ada beberapa pulau di laut itu.
Timaios: 24e – Kritias: 114c
Plato menggambarkan bahwa “pulau ibukota
dimana terdapat sebuah kota dengan benteng dan cincin perairan adalah ada di
laut yang nyata didalam selat dan dikelilingi oleh benua tak berbatas”. Benua
tak berbatas itu adalah Sundalandia yang tersambung dengan Benua Asia, dan
satu-satunya laut yang dikelilingi olehnya pada masa itu adalah Laut Jawa kuno,
menunjukkan bahwa pulau dan ibukotanya terletak di Laut Jawa.
44. Di dan di sekitar kota terdapat dataran
dan semua saluran bertemu di kota dan bermuara ke laut.
Kritias: 118a, 118d
45. Sebuah bukit kecil (pulau pusat) dan
sebuah dataran rata yang luas di dekat laut dapat dicapai dengan kapal dan
perahu dari laut.
Kritias: 113c, 113e
Pernyataan bahwa “pulau itu terletak
didekat dataran dan semua saluran bertemu di kota dan bermuara ke laut”, menunjukkan
bahwa pulau itu terletak di sebelah selatan dataran, di suatu tempat yang
sekarang terdapat dibawah Laut Jawa.
Lokasinya diidentifikasi oleh para pelaut
sebagai Gosong Gia atau Annie Florence Reef, sebuah terumbu karang digambarkan
berukuran kecil dan muncul ke permukaan saat laut surut.
Kota Atlantis adalah sebuah pulau dengan
sebuah bukit kecil didekat pusatnya. Kota dan pulau ini sudah ada cukup lama
dan dibangun oleh banyak raja. Memiliki cincin-cincin perairan dan lintasan
dari laut menuju cincin terdalam. Mereka membuat jembatan diantara zona laut
yang mengelilingi kota metropolitan kuno itu. Sebuah dinding batu dimulai dari
laut dan mengelilinginya. Mereka menggunakan orichalcum, timah dan kuningan
atau perunggu untuk melapisi dinding luar kota mereka.
Ada sebuah bukit, tidak terlalu tinggi, di
dekat pusat pulau sentral. Di puncak bukit sentral, sebuah kuil dibangun untuk
menghormati Poseidon, dimana terdapat patungnya yang sangat besar terbuat dari
emas. Mereka membangun istana di tempat kediaman para dewa dan leluhur, yang
terus diperindah oleh generasi-generasi setelahnya.
Di dermaganya terdapat kapal-kapal dan
banyak perlengkapan angkatan laut.
46. Laut di ibukota Atlantis “sekarang”
(waktu Solon) tidak dapat dilewati dan ditembus karena adanya “beting tanah
liat” (terumbu karang), akibat “penurunan” pulau (kenaikan permukaan laut).
Timaios: 25d
47. Bekas kotanya sekarang berada dibawah
laut.
Timaios: 25d
Ungkapan “karena suatu alasan, laut di
bagian itu tidak dapat dilewati dan ditembus, karena ada sebuah beting lumpur,
atau tanah liat, di tempat itu” menegaskan lokasinya. Terumbu karang adalah
langka di Mediterania sehingga orang Yunani dan Mesir tidak memiliki istilah tersebut,
maka Plato menuliskannya sebagai “beting lumpur, atau tanah liat”.
Terumbu karang tumbuh dengan baik di
perairan yang hangat, dangkal, jernih, terang dan tidak tenang, dan pada
permukaan keras dibawah laut, sehingga merupakan kondisi yang ideal di Laut
Jawa. Hal ini ditegaskan lebih lanjut oleh ungkapan “yang disebabkan oleh
penurunan pulau”, karena tumbuhnya terumbu karang disebabkan oleh kenaikan
permukaan laut dalam periode glasial terakhir.
Permukaan laut terus naik sampai kira-kira
6.000 tahun lalu. Karang tumbuh pada permukaan keras. Bersamaan dengan
sedimentasi dan proses lainnya.
Saat ini, terdapat terumbu karang yang
disebut Gosong Gia atau Annie Florence Reef di Laut Jawa. Bagian atas terumbu
terdapat kira-kira 10 meter dibawah permukaan laut rata-rata, dan dasar laut
kira-kira 55 meter dibawah permukaan laut rata-rata. Struktur kotanya masih
terlihat dari pola terumbu karang ini. Kedalaman laut di sini adalah persis
sama dengan elevasi daratan sekitar 11.600 tahun lalu. Namun demikian, penyelidikan
lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui apa yang ada di dalam terumbu karang
itu.
48. Kotanya berada di seberang tugu batas,
orang Yunani (kuno) menyebutnya “Tugu Herakles”.
Timaios: 24e, 25c – Kritias: 108e, 114b
Plato menyebutkan bahwa “perang dikatakan
telah terjadi antara mereka yang tinggal diluar Tugu Herakles dan semua yang
tinggal didalamnya”. Herakles adalah nama yang
dipinjam dari mitologi Yunani.
Apakah arti “Tugu Herakles” sebenarnya?
Pendeta Mesir mengatakan kepada Solon
tentang batas teritorial antara Atlantis dan seterunya sebagai “yang oleh Anda
disebut Tugu Herakles” untuk menggambarkan gerbang masuk atau tanda batas
negara yang terletak di sebuah selat. Kata-kata “oleh Anda” bisa berarti bahwa
penanda itu biasa dikenal oleh orang Athena tetapi bukan yang mereka maksud,
atau dengan kata lain “seperti Tugu Herakles”. Seperti disebutkan sebelumnya,
batas Atlantis tidak sesuai dengan wilayah di Mediterania. Selain itu, Solon
meminjam istilah mitologi Yunani dalam kisahnya.
Penulis Yunani klasik sering merujuk
tugu-tugu itu tanpa secara spesifik menyebutkan lokasinya. Penyair Pindar
menyebutkan bahwa penanda batas tersebut adalah metafora batas pengetahuan
geografi masyarakat Yunani, suatu batas yang tidak pernah statis. Tugu-tugu itu
pada zaman dulu diidentifikasi sebagai Selat Sisilia, tetapi semenjak masa
Erastosthenes, sekitar tahun 250 SM, metaforanya dipindahkan untuk merujuk pada
Selat Gibraltar, yang mencerminkan perluasan pengetahuan maritim Yunani.
Dhani Irwanto berhipotesis bahwa tugu-tugu
itu adalah monumen yang dibangun di tempat-tempat di gerbang atau tapal batas negara
dan bisa dimana saja di tempat-tempat tertentu di sepanjang perbatasan. “Tugu”
telah menjadi tradisi di Indonesia sampai sekarang untuk menandai batas atau gerbang
masuk suatu wilayah. Tugu-tugu itu seringkali dihiasi dengan wajah batara Kala,
yang banyak terdapat dimana-mana di Jawa dan Bali.
Akan dibahas kemudian bahwa batara Kala
adalah analog dengan Herakles di Yunani.
49. Mata air panas dan dingin
Kritias: 113e, 117a
50. Batu-batu berwarna putih, hitam dan
merah
Kritias: 116a, 116b
51. Batuan dilubangi untuk atap galangan
ganda
Kritias: 116a, 116b
Pulau Bawean di lepas pantai Laut Jawa
merupakan purwarupa pulau Atlantis karena memiliki lingkungan, formasi geologi
dan proses tektonik yang sama, serta letaknya berdekatan. Pulau Bawean dan
Atlantis keduanya terletak pada sebuah busur geologi yang diidentifikasi oleh
para ahli geologi sebagai Busur Bawean.
Dijelaskan bahwa “mereka memiliki mata air,
yang satu dingin dan lainnya panas”. Terdapat beberapa sumber air panas dan
dingin di Pulau Bawean yang dihasilkan oleh kegiatan tektonik di wilayah
tersebut.
Deskripsi “batu-batu itu digali dari pulau
pusat dan zona-zona, dengan warna putih, hitam dan merah” dan “dilubangi
menjadi galangan ganda, yang memiliki atap terbentuk dari batuan asli” juga
sesuai. Batu-batu itu rupanya mirip dengan batuan beku yang terdapat di Pulau
Bawean. Yang putih bersifat asam, hitam abu-abu bersifat basa dan merah dari
oksida besi. Batuan beku ini keras dan kuat memiliki kekuatan alam yang cukup
untuk berdiri sebagai atap galangan yang dilubangi.
52. “Poseidon” (dewa laut atau air, penata
hukum pertama, berkendaraan makhluk laut, dewa tertinggi di masa awal)
Kritias: 113c sampai 113e, 116c, 116d,
117b, 119c, 119d
Kerajaan Atlantis didirikan oleh dewa
bernama Poseidon, dipinjam dari mitos Yunani. Daratan itu dibagi menjadi
sepuluh bagian yang diberikan kepada anak-anaknya. Ada sebuah kuil suci yang
didedikasikan untuk Poseidon dan istrinya, Kleitous di tengah benteng.
Poseidon adalah salah satu dari jajaran dua
belas dewa Olimpus dalam mitologi Yunani. Kekuasaan utamanya adalah lautan,
sehingga ia disebut “Dewa Laut”, yang mengendarai makhluk laut yang menyerupai
kuda. Dalam karya-karya awal sastra Yunani kuno, Poseidon lebih banyak dikenal
daripada Zeus dan dianggap sebagai dewa tertinggi, sebagaimana disebutkan dalam
tablet Linear B dari Zaman Perunggu Yunani pra-Olimpus. Homer dalam “Iliad”
menyebutnya sebagai pelindung kota masyarakat Helena.
Poseidon adalah analog dengan Nethuna dalam
peradaban Etruska, sekitar abad ke-1 SM, yang juga disebut “Dewa Laut”. Dalam
bahasa Latin, nama itu diubah menjadi Neptunus dalam mitologi Romawi. Neptunus
digambarkan sebagai dewa yang mengendarai makhluk laut menyerupai kuda berekor
naga dan bersenjatakan trisula, seperti Poseidon. Hal ini menunjukkan pengaruh
mitologi Yunani yang kuat.
Plato menjelaskan bahwa sepuluh rajanya
dikatakan memiliki kontrol mutlak warganya, dengan penegakan hukum yang diatur
oleh perintah Poseidon yang telah diwariskannya.
Poseidon di Yunani adalah analog dengan
dewa Baruna atau Waruna di kepulauan Nusantara yang dijuluki “Dewa Air”,
penguasa laut dan samudera. Dalam mitologi pra-dharma, Baruna dianggap sebagai
dewa tertinggi terhadap yang lainnya dan penata hukum yang pertama di dunia.
Baruna digambarkan mengendarai raksasa laut
yang disebut Makara, dimana di bagian depan menyerupai binatang, dengan gigi
dan taring besar, dan di bagian belakang menyerupai ekor naga raksasa,
kadang-kadang berkaki. Dalam mitologi India, Makara digambarkan sebagai makhluk
darat di separuh bagian depannya, seperti rusa, buaya atau gajah, dan makhluk
air di separuh belakangnya, seperti ikan atau anjing laut, atau kadang-kadang
ekor merak atau bunga.
Dari hal tersebut, Dhani Irwanto
menyimpulkan bahwa Poseidon dan Baruna adalah analog, dibuktikan bahwa keduanya
adalah dewa laut atau samudera, menjadi penata hukum pertama, merupakan dewa
tertinggi di masa awal, dan mengendarai makhluk laut mitologi.
Selain beberapa nama lain, Kalimantan
dikenal dengan nama Warunapura, yang artinya tanah dewa Baruna. Babad Jawa kuno
“Nagarakretagama” menyebutkan sebuah negara kuno dalam lingkup pengaruh
Majapahit yang disebut “Baruné”, kemudian diidentifikasi sebagai “Barunai”,
yang sekarang menjadi kerajaan Brunei. Sumber-sumber Eropa lebih lanjut dalam
abad ke-16 menunjukkan nama pulau ini sebagai “Burné” oleh Antonio Pigafetta
atau “Bornei” oleh Duarte Barbosa. Babad Tiongkok dinasti Song dan Ming
menunjukkan nama “Boni”. Penjajah Belanda dan Inggris menamai pulau ini
“Borneo”.
Ini adalah kesimpulan lain bahwa Kalimantan,
atau Borneo, yang dulunya pulau dewa Baruna, adalah analog dengan pulau
Poseidon, dan terkait dengan keberadaan Atlantis di wilayah tersebut.
53. “Herakles” (anak dewa tertinggi Zeus,
kelahirannya tidak senonoh, memiliki selera yang tak terpuaskan, sangat kasar,
brutal dan keras)
Timaios: 24e, 25c – Kritias: 108e, 114b
Herakles, atau diromanisasi menjadi
Herkules, adalah putera dari perselingkuhan Zeus dengan wanita fana Alkmena.
Zeus merayu dan bercinta dengan Alkmena setelah menyamar sebagai suaminya, Amphitryon,
raja Theba. Zeus bersumpah bahwa anak berikutnya yang lahir dari rumah
Perseides harus menjadi penguasa Yunani, tetapi oleh muslihat istri Zeus yang
pencemburu, Hera, anak yang lain, Eurystheus yang sakit-sakitan, lahir lebih
dulu dan menjadi raja. Ketika Herakles telah dewasa, ia harus mengabdi
kepadanya dan juga menderita atas penganiayaan Hera yang pendendam. Selain
kegilaan akibat Hera, Herakles memiliki karakter yang sangat brutal.
Herakles di Yunani adalah analog dengan
batara Kala di kepulauan Nusantara. Kala adalah dewa alam gaib dalam mitologi
Jawa dan Bali kuno.
Menurut legenda Jawa, Kala adalah putera
Guru. Guru memiliki istri yang sangat cantik bernama Uma. Suatu hari Guru,
dengan nafsu yang tidak terkendali, memperkosa Uma. Mereka melakukan hubungan
seksual diatas Andini, seekor sapi suci. Perilaku ini mempermalukan Uma yang
kemudian mengutuk Guru tapi Guru mengutuk kembali Uma sehingga berubah menjadi
raksasa yang buruk dan menakutkan. Bentuk jahat Uma ini juga dikenal dalam
mitologi Jawa sebagai Durgha. Dari hubungan ini, Kala dilahirkan dengan sosok
seorang raksasa.
Kala digambarkan memiliki nafsu yang tak
terpuaskan dan berperilaku sangat kasar. Ia dikirim oleh para dewa ke bumi
untuk menghukum manusia atas kebiasaannya yang jahat. Namun, Kala hanya
tertarik untuk memangsa manusia demi memuaskan nafsunya. Karena khawatir, para
dewa kemudian memanggil kembali Kala dari bumi. Ia kemudian menjadi penguasa
alam gaib.
Analogi Kala dan Herakles adalah bahwa
masing-masing adalah putera seorang dewa tertinggi, baik Guru atau Zeus.
Kelahiran mereka adalah secara tidak senonoh; Kala lahir dari nafsu tak
terkendali Guru terhadap Uma sedangkan Herakles adalah dari perselingkuhan Zeus
dengan Alkmena. Keduanya memiliki nafsu yang tak terpuaskan dan berperilaku
sangat kasar, brutal dan penuh kekerasan sepanjang hidup mereka.
Dari dulu hingga sekarang, wajah Kala
banyak terdapat di pintu masuk candi, tugu batas, tugu selamat datang, gerbang,
pintu, relung, perabot, hiasan dinding dan alat musik tradisional; dimana-mana
di Jawa dan Bali. Gambar serupa juga terdapat di rumah-rumah Dayak.
Seperti telah dibahas sebelumnya, tugu
batas yang dihiasi dengan wajah Kala adalah analog dengan Tugu Herakles.
Selain itu, Zeus, ayah Herakles, dan Guru,
ayah Kala, juga analog. Keduanya kemudian diangkat menjadi dewa tertinggi menggantikan
baik Poseidon atau Baruna.
Perhatikan juga analogi dan kesamaan
fonetik antara nama-nama, Kala dan Kleos, Guru dan Zeu, Uma dengan Alkmena, dan
Durgha dengan Hera.
54. Pengorbanan “banteng”
Kritias: 119d sampai 120c
Plato menjelaskan bahwa dalam setiap lima
atau enam tahun secara bergantian, raja-raja Atlantis berkumpul untuk membahas
dan membuat pengaturan, diakhiri dengan pengorbanan banyak “banteng”.
Orang awam umumnya tidak bisa membedakan
antara “banteng” dan “kerbau”. Plato tidak mengenal “kerbau” tetapi satwa yang
menyerupai “banteng” karena hewan ini tidak terdapat di Yunani kuno dan
sekitarnya.
Kerbau, juga disebut kerbau Asia atau
kerbau Asiatis, adalah sapi-sapian besar yang asli Asia Tenggara dan anak benua
India. Kerbau adalah salah satu satwa yang memiliki nilai ekonomi dan agama
terbesar digunakan sebagai korban di Asia Tenggara, anak benua India dan Tiongkok
selatan. Di daerah monsunal Asia ini, kerbau dipersembahkan kepada para dewa
atau roh gaib, sebagai pengantar roh menuju dunia lain atau sebagai simbol
zoomorfis leluhur.
Ciri rumah-rumah di Asia Tenggara adalah
beratap seperti tanduk bercabang, yang dianggap sebagai simbol kerbau,
dipandang di seluruh wilayah sebagai penghubung antara surga dan dunia ini.
55. Candi atau piramida
Kritias: 116c, 116d, 116e, 117c, 119c
Pembangunan piramida batu adalah didasarkan
pada keyakinan asli bahwa gunung-gunung dan tempat-tempat tinggi lainnya adalah
tempat tinggal arwah para leluhur, atau tempat ziarah yang paling ideal untuk
memuja mereka.
Bentuk piramida yang paling sederhana
adalah piramida undakan tanah dan batu yang biasanya dibangun di atas gundukan alami
atau buatan, bukit atau lereng bukit. Biasanya ada tempat pemujaan dan/atau
altar di bagian atasnya.
Budaya megalitik Austronesia di Nusantara
memiliki bangunan piramida undakan tanah dan batu, yang disebut dengan “punden
berundak”. “Punden berundak” dianggap sebagai salah satu ciri budaya asli
Nusantara. Bangunan piramida ini terdapat dan tersebar di seluruh Asia
Tenggara, kebanyakan terdapat di pulau Jawa.
Candi Borobudur yang megah adalah candi
Budha terbesar di dunia, yang diduga dibangun diatas piramida berundak
sebelumnya.
Candi Sukuh dan Cetho di Jawa Tengah,
dimana usianya masih diperdebatkan, menunjukkan piramida undakan tanah dan batu
asli Austronesia yang agak menyerupai piramida di Amerika Tengah.
Gunungpadang adalah situs megalitik yang
terbesar dan tertua di Asia Tenggara berusia sekitar 25.000 tahun atau lebih
tua.
Saat peradaban berkembang, mereka membangun
piramida yang lebih besar sehingga dibutuhkan lebih banyak batu. Mayoritas
beratnya lebih dekat ke tanah dan material yang lebih tinggi akan mendorong
dari atas. Batu-batu itu dapat menimbulkan masalah pada kekuatan tanah untuk
menahan beban. Oleh karena itu, piramida yang dibangun dengan banyak batu
memiliki tanah yang lebih sedikit atau bahkan tanpa tanah.
Piramida telah dibangun oleh peradaban di banyak
lokasi di seluruh dunia. Selama ribuan tahun, bangunan yang terbesar di Bumi adalah
piramida. Mereka tersebar dari Mesir ke Amerika, yang terpisahkan satu sama
lain oleh lautan dan konon tidak pernah menemukan keberadaannya satu sama lainnya.
Tidak ada hubungan yang jelas antara berbagai peradaban yang membangunnya,
namun kemiripannya menunjukkan bahwa mereka berasal dari asal usul yang sama.
Seperti yang dikatakan oleh Plato, kuil
Poseidon dibangun di pulau pusat yang berupa sebuah bukit, dikelilingi oleh
cincin-cincin perairan. Untuk mencapai kuil ini dari cincin perairan terdalam,
undakan di lereng bukit pasti diperlukan. Hal ini bisa berarti bahwa kuil ini
menyerupai bangunan piramida undakan tanah dan batu, sebuah ciri budaya asli
Nusantara yang disebut dengan “punden berundak”. Kuil ini juga menjadi tempat untuk memuja
leluhur mereka.
56. Kegiatan maritim
Kritias: 114d, 115c to 116a, 117d, 117e,
119b
Plato menjelaskan bahwa saluran-saluran
adalah sarana untuk mengangkut kayu dan hasil bumi dengan kapal. Mereka
menurunkan kayu dari pegunungan ke kota, dan mengangkut hasil buminya dengan
kapal. Saluran dan pelabuhan terbesar penuh dengan kapal dan pedagang yang
berasal dari semua penjuru. Dermaganya penuh dengan kapal dan gudang angkatan
laut. Mereka memiliki armada sebanyak 1200 kapal.
Kegiatan maritim adalah budaya khas
Austronesia sejak zaman purba. Bukti yang paling awal diketahui ditemukan
sebagai lukisan gua yang berusia 10.000 tahun atau lebih, yang sepenuhnya
dihiasi oleh lukisan perahu layar. Teknologi berlayar jarak jauh di kawasan ini
pastilah telah muncul jauh lebih awal, dengan penghunian Australia melalui Asia
Tenggara sekitar 40.000 tahun lalu. Arkeolog telah mengungkapkan banyak bukti
tentang jaringan maritim aktif di kawasan Asia Tenggara, yang menyebar ke
seluruh Asia Tenggara dan sebagian besar Pasifik.
57. Peradaban maju pada zamannya
Timaios: 24e, 25a
Plato menggambarkan bahwa Atlantis adalah
sebuah kerajaan besar dan megah yang memiliki kekuatan luas. Atlantis bisa
dikatakan sebagai sebuah peradaban maju pada masanya, dan memiliki berbagai
teknologi unggulan dibanding negara lain.
Piramida Gunungpadang di Jawa adalah
struktur tertua yang diketahui dari jenis apapun di Bumi. Berumur setua 25.000
tahun, piramida itu menjadi bukti peradaban kuno yang maju. Mayoritas situs berundak
itu adalah buatan manusia, dibangun dari generasi ke generasi dalam hitungan
ribuan tahun.
Begitu banyaknya lukisan batu yang
menggambarkan perahu layar di Asia Tenggara, yang berumur hingga 40.000 tahun,
juga membuktikan bahwa teknologi semacam itu telah dikuasai sejak awal.
Teknologi ini telah diwarisi oleh orang-orang Austronesia dan talasokrasi, atau
kerajaan maritim, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Orang-orang Bugis dan
Makassar dari pulau Sulawesi terkenal karena pembuatan kapal layar kayu yang
disebut “pinisi”.
Kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara telah
mengembangkan teknologi arsitektur bangunan batu yang canggih dalam pembangunan
candi-candi. Ini termasuk Borobudur, Prambanan dan Angkor Wat yang megah, dan
ratusan candi lainnya.
Di bidang pertanian, orang-orang di Asia
Tenggara terkenal dengan budidaya dan teknik penanaman padi seperti terasering.
Sistem irigasi dan pengelolaan air yang kompleks telah dikembangkan di Nusantara.
Contoh yang luar biasa adalah Subak, sistem irigasi di Bali.
Dalam teknologi pangan, sebagian karena
iklim tropis yang sarat akan berbagai mikroba, orang-orang di Asia Tenggara
telah mengembangkan pengetahuan tradisional dalam teknik fermentasi, yang
menghasilkan pengembangan makanan terfermentasi misalnya “tapai”, “tempe”, “oncom”,
dan juga minuman seperti “brem” dan “tuak”.
58. Hancur 9.000 tahun sebelum Solon
(sekitar 11.600 tahun lalu)
Timaios: 23e – Kritias: 108e, 111a
Plato menggambarkan bahwa Atlantis adalah sebuah
kerajaan yang kuat dan maju yang hancur, dalam sehari semalam, 9.000 tahun
sebelum Solon, atau sekitar 11.600 tahun lalu. Ini secara akurat bertepatan
dengan bencana alam pada akhir periode Dryas Muda.
Pada akhir periode Dryas Muda, sekitar
11.600 tahun lalu, berat es yang bergeser ke lautan memicu retakan di kerak
bumi untuk bergerak, yang menyebabkan bencana hebat. Gempa, letusan gunung
berapi, gelombang besar dan banjir melanda budaya pesisir dan semua landas
kontinental Sundalandia, dan menghapus banyak populasi. Saat laut mengamuk itu,
terjadi migrasi massal orang-orang yang selamat dari benua yang tenggelam itu.
59. Gempa dan “banjir” dari laut (tsunami)
Timaios: 25c, 25d – Kritias: 108e, 111a,
112a
Plato menyebutkan bahwa pulau Atlantis
telah dilanda gempa dan banjir, dalam sehari semalam. Dalam beberapa penjelasan
lainnya, tersirat bahwa banjir tersebut datangnya dari laut, sehingga
kemungkinan adalah sebuah tsunami. Plato tidak mengenal “tsunami” sehingga
menyamakannya dengan “banjir”. Gempa dan tsunami sangat sering berkorelasi.
Gempa, tsunami dan letusan gunung berapi
yang cukup besar sering terjadi di salah satu wilayah tektonik yang paling
kompleks di bumi ini. Tsunami diketahui memiliki tinggi gelombang pasang yang
dramatis, juga dapat diperbesar dan diperkuat tingginya di perairan yang
dangkal dan dataran yang rata, dan dapat mengalami pantulan berulang-ulang
didalam pelabuhan dan teluk.
Kita bisa beranggapan bahwa kehancuran
Atlantis adalah antara lain disebabkan oleh tsunami di wilayah ini. Ini karena
gelombang tsunami yang merambat di perairan dangkal, yaitu di Laut Jawa kuno,
dan naik ke daratan pada dataran yang sangat rata. Laut Jawa kuno membentuk
sebuah teluk, yang bisa menyebabkan gelombang menjadi lebih tinggi dan
berkepanjangan, dan merusak.
60. Tenggelam tanpa henti (kenaikan
permukaan laut pasca-glasial)
Timaios: 25d – Kritias: 111b, 111c
Plato menjelaskan bahwa daratan Atlantis
dan “Athena” tenggelam tanpa henti sesudahnya. Hal ini sejalan dengan
pengetahuan terkini tentang kenaikan permukaan laut pasca-glasial. Permukaan
laut terus naik sampai sekitar 6.000 tahun lalu, menenggelamkan daratan serta dataran
rendah di Sundalandia.
Kehancuran kota Atlantis dan ceritanya terkubur selamanya
di bawah laut. Kemudian, diingat oleh orang-orang Mesir yang bermigrasi dari
sana, dan menuliskannya dalam catatan suci mereka.
[1] Frase-frase atau nama-nama dalam tanda kutip, sedapat mungkin diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, seperti yang ditulis oleh Plato, baik terjemahan dari rujukan asli dalam Bahasa Yunani atau istilah yang tidak ditemukan dalam bahasa Yunani. Frase-frase dalam kurung adalah interpretasi oleh penulis.
***
Hak Cipta © 2015-2017, Dhani Irwanto
Berdasarkan naskah asli Evidence in Hypothesized Location
hebat...analisis yang sangat scientific.....tidak terbantahkan....Selamat buat Pak Dhani Irwanto....selanjutnya Pemerintah daerah setempat...Pemprov Kalimantan Selatan dan Pemprov Jawa Timur menindak-lanjutinya untuk pencarian bukti dengan penyelaman, explorasi dan sebagainya, hasilnya bisa menjadi cagar budaya dan investasi dibidang Pariwisata.
BalasHapusMungkin bisa dihubungkan dengan naskah epik I laga ligo (epik terpanjang di dunia dari Indonesia) dimana di dalamnya banyak menceritakan mengenai aktifitas manusia pada masa lampau (sistem pertanian, obat-obatan, hasil bumi, konstruksi, dll). Di dalam naskah ini juga dibahas mengenai dewa-dewa termasuk batara guru. Bukan suatu kebetulan terdapat satu tokoh yang dibahas dalam 2 buah naskah yang berbeda. Mungkin dari sini kita bisa mendapat jawaban yang lebih rinci dan akurat.
BalasHapusLa Galigo sedikit dibahas dalam artikel tentang Konsep Hyang.
Hapus