Telaga Purba Borobudur dan Awalmula Peradaban

Penelitian oleh Dhani Irwanto, 20 Oktober 2015

Lembah Progo

Lembah Progo, atau kadang-kadang disebut Lembah Kedu, adalah dataran vulkanik yang subur yang terletak di antara gunung-gunung berapi di Jawa Tengah, Gunung Sumbing dan Gunung Sundoro di sebelah barat, dan Gunung Merbabu dan Gunung Merapi di sebelah timur. Dataran tersebut juga berbatasan dengan Bukit Menoreh di sebelah barat daya dan Dataran Prambanan di sebelah tenggara. Sungai Progo mengalir di tengah-tengahnya, dari sumbernya di lereng Gunung Sumbing ke pantai selatan Jawa menuju Samudera Hindia. Dataran ini memiliki arti penting dalam sejarah Jawa Tengah selama lebih dari satu milenium, karena terdapat peninggalan-peninggalan Dinasti Sailendra serta Borobudur dan tempat-tempat lainnya. Menurut cerita rakyat setempat, Lembah Progo adalah tempat ‘suci’ di Jawa dan dijuluki “taman Jawa” karena tingkat kesuburan pertaniannya yang tinggi.
Pulau Jawa merupakan bentangan memanjang daratan, panjangnya lebih dari 1000 km dan lebarnya sekitar 100 km dari utara ke selatan. Pantai utara yang menghadap Laut Jawa berbatasan dengan dataran aluvial dengan lebar yang bervariasi, antara 40 km sampai beberapa kilometer di Jawa Tengah. Lebih jauh ke pedalaman, terdapat Pegunungan Serayu Utara yang sejajar dengan pantai. Gunung-gunung utamanya adalah, dari barat ke timur, Slamet (3432 m), Ragajembangan (2177 m), Prahu (2.565 m) dan Ungaran (2050 m). Pegunungan Serayu Utara berlanjut ke timur sampai dengan Pegunungan Kendeng, yang mencapai ketinggian 899 m. Di sebelah selatan pegunungan ini terdapat Zona Depresi Tengah, yang meliputi dataran dengan ukuran yang bervariasi, seperti dataran-dataran Purwokerto, Magelang, Yogyakarta, Solo, Purwodadi dan Ngawi. Zona depresi ini sebagian dibatasi oleh serangkaian gunungapi yang tinggi: Sundoro (3155 m), Sumbing (3371 m), Merbabu (3145 m), Merapi (2947 m) dan Lawu (3265 m). Zona Depresi Tengah dibagi lagi dengan adanya Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Menoreh. Hampir membentang di sepanjang pulau, Zona Depresi Tengah berbatasan di sebelah selatan dengan Pegunungan Selatan, sebuah rangkaian pegunungan terjal yang berbatasan dengan Samudera Hindia.
Di Jawa Tengah, dengan pengecualian bagian paling timur, Zona Depresi Tengah tidak dibatasi oleh pegunungan. Datarannya pelan-pelan menurun kearah selatan menuju ke Samudera Hindia. Sejarah Jawa Tengah, yang meliputi Lembah Progo dan daerah sekitarnya yang berbatasan langsung, merupakan zona transisi antara lanskap pegunungan barat yang tertutup dan dataran yang terbuka di sebelah timur. Secara geografi, Lembah Progo dapat dipandang sebagai perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sungai Serayu yang berujung di Gunung Sundoro mengalir ke barat melalui dataran Wonosobo-Purwokerto, hingga mencapai Samudera Hindia di sekitar Cilacap. Sungai Progo menjadi sungai utama dalam sejarah Jawa Tengah. Berbeda dengan sungai lainnya yang berasal dari Depresi Tengah dan berarah ke timur atau ke barat, Sungai Progo mengalir langsung dari utara ke selatan. Ujung utamanya di Gunung Sundoro, kecuali anak sungai utamanya, Sungai Elo, berujung di Gunung Merbabu.
Lembah Progo merupakan tempat bagi sejumlah besar candi-candi Dharma dan Buddha yang dibangun dari abad ke-8 sampai ke-9. Oleh karena itu, Lembah Progo dianggap sebagai tempat lahirnya peradaban klasik Indonesia. Candi-candi di kawasan ini mencakup sebagai berikut.
Borobudur: candi Buddha yang berupa mandala batu raksasa abad ke-8 yang dibangun oleh Dinasti Sailendra.
Mendut: candi Buddha abad ke-8 yang didalamnya terdapat tiga patung batu besar Wairosana, Awalokiteswara dan Wajrapani.
Pawon: candi Buddha kecil abad ke-8 di tepian Sungai Progo yang terletak antara Candi Mendut dan Candi Borobudur.
Ngawen: candi Budha abad ke-8 yang terletak sekitar 5 kilometer di sebelah timur Candi Mendut.
Banon: sebuah reruntuhan candi Dharma; terletak beberapa ratus meter di sebelah utara Candi Pawon. Namun, hanya sedikit sisa-sisa candi yang selamat, sehingga tidak mungkin untuk dilakukan rekonstruksi. Hanya patung Siwa, Wisnu, Agastya dan Ganesha yang telah ditemukan, sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Canggal: juga dikenal sebagai Candi Gunung Wukir. Merupakan salah satu candi Dharma yang tertua di daerah tersebut. Candi ini terletak di daerah Muntilan, di dekat candi telah ditemukan Prasasti Canggal yang terkait dengan Sri Sanjaya, raja Kerajaan Medang.
Gunungsari: berupa reruntuhan candi Dharma di atas bukit, yang terletak di dekat Candi Gunung Wukir, di pinggiran kota Muntilan.
Umbul: di Grabag, Magelang; berupa tempat mandi dan peristirahatan bagi raja-raja Medang.
Distribution of Central Java Temples (2)
Gambar 1. Sebaran candi di Jawa Tengah
Lebih dari 300 sisa-sisa candi pernah ditemukan di Jawa Tengah, tersebar di seluruh wilayah tersebut. Saat ini, sebagian besar reruntuhan candi telah lenyap. Beberapa diantaranya digunakan sebagai bahan untuk membangun rumah, masjid atau jembatan. Yang lainnya telah rusak dengan berjalannya waktu atau tertimbun akibat aktivitas manusia. Situasi yang hampir lebih baik masih dapat diamati dari situs-situs selebihnya: beberapa candi hanya menyisakan puluhan batu yang tersebar di kebun atau di sepanjang jalan. Diluar semua itu, beberapa candi tertentu masih relatif utuh dan telah dilakukan pemugaran untuk menghidupkannya kembali. Setelah selesai dipugar, candi-candi ini menunggu untuk dikunjungi dan dikagumi.

Candi Borobudur

Candi Borobudur adalah salah satu monumen Buddha terbesar di dunia, dibangun pada abad ke-8 dan ke-9 pada masa pemerintahan Dinasti Sailendra. Monumen ini terletak di Lembah Progo, di bagian selatan Jawa Tengah, di tengah pulau Jawa, Indonesia.
Borobudur Temple
Gambar 2. Candi Borobudur
Candi utama berupa stupa-stupa yang dibangun dalam tiga tingkatan diatas bukit alami: bagian bawah berupa dasar piramida terdiri dari lima teras persegi yang konsentris, diatasnya berupa dasar kerucut dengan tiga lantai yang melingkar dan paling atas berupa sebuah stupa besar. Dinding dan langkannya dihiasi dengan relief, dengan luas permukaan total 2.520 m2. Pada lantai yang melingkar terdapat 72 stupa kurungan, masing-masing berisi sebuah patung Buddha.
Pembagian vertikal Candi Borobudur berupa dasar, tubuh dan suprastruktur adalah selaras sempurna dengan konsepsi alam semesta dalam kosmologi Buddha. Diyakini bahwa alam semesta ini dibagi menjadi tiga bidang lapisan, Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu, yang mewakili masing-masing bidang keinginan dimana kita terikat, dimana kita meninggalkan tetapi masih terikat dengan nama dan bentuk, dan bidang tak berbentuk dimana tidak ada lagi ikatan nama atau bentuk. Didalam Candi Borobudur, Kamadhatu diwakili oleh dasar, Rupadhatu oleh lima teras persegi, dan Arupadhatu oleh tiga lantai melingkar serta stupa besar. Seluruh struktur menunjukkan campuran unik ide-ide yang sangat sentral tentang pemujaan leluhur, yang berkaitan dengan gagasan gunung bertingkat, dikombinasikan dengan konsep Buddha mencapai Nirwana.
Candi ini juga harus dilihat sebagai sebuah monumen dinasti yang luar biasa yaitu Dinasti Sailendra yang memerintah Jawa selama sekitar lima abad sampai abad ke-10.
Kompleks Candi Borobudur terdiri dari tiga monumen: yaitu Candi Borobudur dan dua candi kecil yang terletak di sebelah timur pada sebuah sumbu yang langsung ke Borobudur. Kedua candi yang lain adalah Candi Mendut, berupa penggambaran Buddha yang terbuat dari batu monolit keras didampingi oleh dua Bodhisatwa, dan Candi Pawon, berupa sebuah candi kecil yang bagian dalamnya tidak mengungkapkan dewa siapa yang menjadi obyek pemujaan. Ketiga monumen mewakili fase-fase dalam pencapaian Nirwana.
Candi utama digunakan sebagai candi Buddha dari mulai konstruksi sampai suatu waktu antara abad ke-10 dan ke-15 yang kemudian ditinggalkan. Sejak penemuan kembali pada abad ke-19 dan restorasi pada abad ke-20, candi tersebut telah menjadi situs arkeologi Buddha.
Borobudur disebutkan dalam Serat Centhini, sebuah kompilasi dua belas volume tentang cerita dan ajaran Jawa, ditulis dalam bait-bait dan diterbitkan pada tahun 1814. Pengetahuan ke seluruh dunia tentang keberadaan Borobudur dipicu pada tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang kemudian menjadi penguasa Inggris di Jawa, setelah ditunjukkan lokasinya oleh orang Indonesia asli. Semenjak itu, Borobudur telah diperbaiki melalui beberapa pemugaran. Proyek pemugaran terbesar dilakukan antara tahun 1975 dan 1982 oleh pemerintah Indonesia dan UNESCO, setelah monumen itu terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Borobudur masih digunakan sebagai tempat upacara keagamaan; setahun sekali, umat Buddha di Indonesia merayakan Waisak di tempat tersebut, dan Borobudur merupakan daya tarik wisata penting yang paling banyak dikunjungi di Indonesia.
Potongan-candi-borobudur-2
Gambar 3. Potongan melintang Candi Borobudur. A: timbunan tanah; B, C dan D: lapisan horizon.

Letusan Gunung Merapi

Merapi (2.911 m) mungkin adalah gunungapi yang paling dikenal di sekitar cekungan Borobudur. Gunung ini adalah salah satu anggota kelompok empat gunungapi yang mencakup Ungaran, Telomoyo dan Merbabu. Merapi adalah gunungapi yang paling aktif di kepulauan Indonesia dan juga paling berbahaya, dengan aktivitas hampir terus menerus yang menjadi ancaman serius bagi penduduk sekitarnya (misalnya Newhall et al, 2000; Thouret et al, 2000). Oleh karena itu, Merapi telah menjadi obyek berbagai penelitian dalam letusan terakhirnya (misalnya Charbonnier dan Gertisser, 2008; Gomez et al, 2008; Lavigne dan Thouret, 2003), evolusi dan sejarah letusannya (misalnya Andreastuti et al, 2000; Camus et al, 2000; Gertisser dan Keller, 2003a; Kalscheuer et al, 2007; Newhall et al, 2000; Voight et al, 2000), serta bahaya dan risiko terkaitnya (misalnya Lavigne et al, 2008; Thouret et al, 2000).
Sebuah runtuhan struktur Merapi Purba diikuti oleh letusan-letusan yang mengakibatkan bencana telah membuang bahan runtuhan dan letusan ke daerah di sekitarnya (van Bemmelen, 1949). Mengadopsi ide awal yang dikemukakan oleh Ijzerman (1891) dan Scheltema (1912), dan dikembangkan oleh van Hinloopen Labberton (1922), van Bemmelen berpendapat bahwa runtuhan dan letusan yang terjadi pada 1006 M telah melemahkan peradaban Medang di Jawa Tengah, menyebabkannya untuk berpindah ke Jawa Timur. Letusan berikutnya telah membangun Merapi Baru yang sebagian besar mengisi kawah yang runtuh. Wirakusumah et al (1980, 1989) telah menyusun peta geologi yang meliputi Merapi Purba dan Baru, dan menambahkan kronologi radiokarbon awal; kemudian Wirakusumah et al(1986), Bronto dan Sayudi (1995), Bronto et al (1997) dan Andreastuti et al (2000) menambahkan lagi rincian stratigrafi yang penting.
Geology of Merapi as inferred by van Bemmelen (1949) (2)
Gambar 4. Geologi Merapi yang disimpulkan oleh van Bemmelen (1949)
Geological Setting of Merapi
Gambar 5. Tatanan geologi Merapi (Rahardjo et al, 1977)
Merapi memiliki sejarah yang kompleks dengan berbagai tahap, dengan usulan penjelasan yang berbeda-beda (misalnya Berthommier, 1990; Camus et al, 2000; Gertisser dan Keller, 2003b; Newhall et al, 2000). Diluar keragaman ini, dipilih untuk mengadopsi kerangka waktu berikut untuk tujuan praktis, meskipun temuan-temuannya memerlukan evaluasi ulang terhadap pengusiaan yang diusulkan dalam literatur: (1) periode pertama dari akhir Holosen sampai sekarang; (2) Merapi Purba dari ~ 10.000 tahun SS (sebelum sekarang) sampai akhir Holosen; (3) Proto-Merapi, sampai sebelum ≈ 10.000 tahun SS, menggunakan ‘proto’ seperti istilah aslinya.
Fase terbaru, dimana semua penulis setuju, ditandai dengan aliran piroklastik dan lahar yang menyertai tumbuh dan runtuhnya kubah lava puncak yang aktif. Meskipun kejadian-kejadian historis tersebut cenderung untuk mengendap di lereng gunung, endapan aliran piroklastik Holosen meliputi wilayah yang luas dan membentuk sebagian besar apron gunung.
Periode pertama berupa penutupan tebal lava andesit basalan diselingi dengan endapan piroklastik gunungapi purba, dimana para ilmuwan menamakannya Merapi Purba. Tidak ada pengusiaan yang tepat perihal tahap awal Merapi Purba ini. Newhall et al (2000) mengusulkan pengusiaan 9630 ± 60 tahun SS (pengusiaan 14C) dan Gertisser (2001) mengusiakan sedikit lebih awal yaitu 11.792 ± 90 tahun SS. Sedikit yang diketahui tentang periode ini, namun Andreastuti et al (2000) telah mengidentifikasi tahap akhirnya (3000 SS sampai 250 SS) dengan serangkaian letusan subplinian, plinian dan volcanian, sementara tahap ini didominasi oleh peristiwa-peristiwa yang terkait dengan runtuhan kubah.
Bagian gunungapi yang lebih tua ini (Merapi Purba) ditandai dengan berbentuknya sebuahSomma rim berbentuk tapal kuda, berorientasi kearah barat, dimana terbentuk teori tentang runtuhnya satu atau beberapa sektor dan mengakibatkan tumpukan material longsoran. Gagasan ini pertama kali diusulkan oleh Ijzerman (1891), kemudian Scheltema (1912) dan akhirnya dikembangkan oleh van Hinloopen Labberton (1922). Pada tahun 1949, van Bemmelen mengadopsi gagasan ini dan membahas sebuah runtuhan gunung Merapi Purba sekitar 1006 M, yang menjadi penyebab pindahnya kekuasaan peradaban Medang kearah Timur. Namun, Newhall et al (2000) merangkum bukti arkeologi bahwa pindahnya kerajaan Medang di Jawa Tengah tidak terjadi pada 1006 AD, tetapi hampir satu abad sebelumnya, dan menyarankan usia yang jauh lebih tua untuk runtuhnya sayap Merapi: 1900 ± 60 tahun SS. Pengusiaan ini ditantang oleh Camus et al (2000), yang mengusulkan runtuhnya adalah antara 6700 dan 2200 SS. Perlu dicatat bahwa semua upaya ini adalah terbatas pada waktu runtuhnya Merapi Purba (dan terkait dengan penumpukan material longsoran) yang didasarkan pada bukti tidak langsung, karena penumpukan material longsoran yang bisa dikaitkan dengan peristiwa tersebut belum ditemukan. Penumpukan material longsoran, jika ada, mungkin terkubur dibawah tumpukan yang lebih baru (Newhall et al, 2000). Memang, Candi Sumbersari (10 m tingginya) telah terkubur dibawah material klastik dalam waktu kurang dari seribu tahun, dan Candi Kedulan telah terkubur selama ~ 400 tahun sedalam 2,5 m. Dengan demikian, penumpukan material longsoran tidak mungkin muncul sebagai singkapan, jika ada.
Literatur yang ada juga menyampaikan gagasan mengenai telaga purba di cekungan Borobudur, terletak di sebelah barat Gunung Merapi, yang telah terbentuk sekitar 660 ± 11014C tahun SS (Newhall et al, 2000) oleh potensi material longsoran. Murwanto et al (2004) mengembangkan gagasan ini didasarkan pada beberapa penentuan usia 14C, memperpanjang keberadaan telaga dari Holosen sampai periode sejarah.
Aktivitas vulkanik Merapi tentu telah dimulai lebih awal dari tahap Merapi Purba seperti dijelaskan diatas. Berthommier (1990) dan Camus et al (2000) berpendapat bahwa perkembangan vulkaniknya dimulai dari akhir Pleistosen yaitu tahap ‘Merapi Purba’ (atau tahap ‘Proto-Merapi’; Newhall et al, 2000), ~ 40.000 tahun SS, berdasarkan pengusiaan U-Th yang dilakukan pada basal-basal Gunung Turgo/Plawangan.
Tahap awal Merapi ini telah terbangun diatas sebuah struktur vulkanik andesit basalan yang lebih tua, Gunung Bibi, pengusiaannya dengan metode K/Ar adalah pada 670.000 ± 250.000 tahun SS (Berthommier, 1990; Camus et al, 2000). Interpretasi struktur vulkanik purba ini masih kontroversial, karena didasarkan pada sebuah pengusiaan saja, dengan margin kesalahan yang signifikan. Bahkan, Newhall et al (2000) menyatakan bahwa Gunung Bibi bisa jadi adalah kerucut parasit muda Merapi.

Geologi Cekungan Borobudur

Terletak di Jawa Tengah, 30 km sebelah utara kota Yogyakarta, Cekungan Borobudur adalah sebuah depresi yang terletak diantara gunungapi Merapi dan Merbabu di sebelah timur, gunungapi Sumbing di sebelah utara dan pegunungan Menoreh di sebelah barat dan selatan. Akibatnya, Cekungan Borobudur sebagian terisi oleh material klastik diselingi dengan material sungai (Gambar 6) dan tumpukan endapan telaga (Murwanto et al, 2004; Newhall et al, 2000). Sungai Progo, dan anak sungai utamanya, Sungai Elo, mengalir di cekungan Borobudur, memotong lembah endapan material sungai-telaga dan vulkanik dengan tepian yang curam.
Location of the Borobudur basin and location of the four deep cores (Gomez et al, 2010)
Gambar 6. Lokasi Cekungan Borobudur dan lokasi empat bor inti dalam (dari Gomez et al, 2010)
Geology of MerapiMurwanto & Subandrio (1997) (2)
Gambar 7. Profil geologi Lembah Progo (dari Murwanto dan Subandrio, 1997)
Dataran aluvial di tengah lembah, sekitar Sungai Sileng dan Progo, terdiri dari material lepas abu-abu, cokelat kehitaman dari letusan Gunung Merapi dan Gunung Sumbing, dan batuan andesit beku dari Perbukitan Menoreh. Litologi daerah Borobudur di bagian utara-barat, utara-timur dan selatan-timur adalah batuan Kuarter masing-masing dari Gunung Sumbing, Merbabu dan Merapi; di sisi utara adalah breksi vulkanik Gunung Tidar. Di sisi barat, terdapat batuan porfiri diorit dan di selatan adalah breksi vulkanik formasi andesit tua. Murwanto (1996) mengatakan bahwa di bagian tengah, di sekitar bukit-bukit Borobudur, adalah material pasir tanahliat, berwarna abu-abu kehitaman, yang terbentuk oleh telaga purba Borobudur, dan ditutupi oleh lapisan piroklastik usia terbaru dari Gunung Merapi.
Batulumpur berpasir ditemukan di daerah ini berupa endapan telaga, sarat dengan serbuk sari dari tanaman habitat rawa yang berada di Cekungan Borobudur sampai akhir abad ke-13. Endapan tersebut tersingkap di lembah bawah Sungai Progo, Elo dan Sileng. Diatas batulumpur berpasir terdapat tufa lapili abu-abu kecoklatan yang mengandung fragmen berpori, batu apung kompak dengan ketebalan lebih dari sepuluh meter, akibat aktivitas vulkanik Kuarter di utara (Murwanto 1996).
Ekosistem daerah ini juga dipengaruhi oleh gunung Menoreh, dari kata Jawa Kuno yang berarti ‘menara’ (Soekmono, 1976), bagian dari formasi pegunungan Kulon Progo, daerah yang memberikan air ke Lembah Progo. Bukit Menoreh adalah formasi vulkanik berusia Tersier. Bukit Menoreh adalah rawan terhadap gerakan tanah dan longsor, terutama di daerah yang relatif curam, karena terdiri dari tanah liat tebal tercampur dengan pasir dan pelapukan breksi andesit. Pada musim kemarau, tanah bukit tersebut berpori dan mudah retak. Hujan dengan intensitas sedang selama dua jam sudah cukup untuk memicu tanah longsor di Bukit Menoreh.
Tanah tinggi di daerah Borobudur mencapai ketinggian sekitar 200 – 350 meter diatas permukaan laut. Sebagian besar lahannya relatif datar, dengan kemiringan bergelombang hingga 0 – 7 °. Daerah yang curam dengan kemiringan 25 – 40 ° sebagian besar berada di Pegunungan Menoreh.
Geomorfologi daerah Borobudur, menurut Van Bemmelen (1970), terbentuk oleh proses tektonik orogenesis Plio-Pleistosen pada periode Tersier Akhir, sekitar satu sampai dua juta tahun yang lalu. Sebagai hasil proses yang sedang berlangsung dari awal sampai sekarang, cekungan endapan tersier Kulonprogo terlipat, terangkat dan tersesar, membentuk kubah Kulonprogo. Di sisi utara, struktur kubah Kulonprogo terganggu oleh sesar normal beberapa tingkat dan membentuk ngarai dan tebing di Pegunungan Menoreh, yang membentang dari timur ke barat sepanjang hampir dua puluh kilometer. Sesar di bagian utara blok kubah Kulonprogo menunjam kebawah permukaan laut, sementara beberapa puncaknya terangkat, menciptakan deretan bukit terisolir (yaitu Bukit Gendol, Sari, Pring, Borobudur, Dagi dan Mijil). Daerah yang menunjam pada masa Kuarter berkembang lebih lanjut menjadi cekungan endapan Kuarter Borobudur.
Pada saat itu, cekungan Borobudur terhubung baik ke Samudera Hindia melalui celah Graben BantuI di selatan maupun ke Laut Jawa di utara. Adanya air asin di desa Candirejo, Sigug dan Ngasinan (yang berarti asin), dan juga di Kars Menoreh, adalah bukti bahwa daerah Borobudur pernah dibawah permukaan laut.
Mendekati akhir orogenesis Plio-Pleistosen, aktivitas magmatik mulai muncul di sisi utara Cekungan Borobudur, membentuk serangkaian gunungapi muda pada periode Kuarter seperti Sumbing, Sindoro, Tidar, Merbabu dan juga Merapi. Bahkan sekarang, Merapi adalah gunungapi yang paling aktif di dunia. Sejak itu, cekungan Borobudur secara bertahap berubah dari lingkungan laut ke laguna. Seiring dengan perkembangan tumbuhnya gunungapi, yang menjadi lebih tinggi dan lebih besar, cekungan tersebut seluruhnya terisolasi dari Samudera Hindia dan Laut Jawa. Akhirnya, cekungan antar gunung Borobudur terbentuk. Cekungan tersebut dikelilingi oleh deretan gunungapi muda dan Pegunungan Menoreh di sisi selatan. Cekungan tersebut adalah tertutup dan disebut cekungan terisolir (Sutikno et al, 2006). Selanjutnya, daerah ini diduga pernah menjadi telaga. Endapan telaga purba tersebut terkait erat dengan lingkungan yang membentuk air garam yang terkandung dalam batuan lempung hitam dalam endapan di tengah bawah telaga. Bukti dari hasil pengeboran selama proyek restorasi Borobudur pada tahun 1973 mendukung hal ini. Pada dataran bekas telaga terdapat air garam pada kedalaman lebih dari empat puluh lima meter, yang diduga sebagai air pembentuk.
Dalam 119.000 tahun terakhir, setidaknya dua peristiwa vulkanik besar tercatat di Cekungan Borobudur, tetapi cekungan belum terpengaruh oleh material longsoran besar dari Gunung Merapi, seperti yang diusulkan oleh beberapa penulis (van Bemmelen, 1949; Camus et al, 2000; Newhall et al, 2000). Selama dua peristiwa yang tercatat, rentang usia 119.000/115.000 tahun SS dan 31.000 tahun SS berdasarkan pengusiaan radiokarbon baru, meskipun sumber tumpukan tetap sulit dipahami. Diantara kedua peristiwa tersebut, gunung berapi yang mengelilingi Cekungan Borobudur mengalami beberapa letusan yang signifikan dan menghasilkan aliran piroklastik yang tersimpan di cekungan, selanjutnya membendung jaringan hidrografi dan menghasilkan setidaknya enam telaga purba selama 119.000 tahun terakhir. Telaga purba terbaru yang tercatat adalah sebelum 27.000 tahun SS dan menggenang sampai abad pertengahan di sekitar Sungai Sileng didekat Candi Borobudur. Jaringan hidrografi itu sangat terganggu oleh aktivitas gunungapi, menghasilkan tatanan endapan sungai dan telaga secara bergantian di lembah tersebut.
Sebuah studi oleh Gomez et al (2010) menguatkan interpretasi Murwanto et al (2004), bahwa, sebelum dan setelah konstruksi, Candi Borobudur berdiri disamping telaga purba, dan bahwa candi ini dan peradaban Medang tidak berpindah ibukota setelah ambigu letusan Merapi 1006 M (atau 928 M), dimana tidak ditemukan bukti apapun yang mendukung. Penelitian ini juga menekankan pada dua hal penting: (1) temuan ini menyerukan agar siap terhadap risiko yang lebih besar akan adanya bahaya besar ke depan yang perlu diantisipasi dan (2) pentingnya mengambil kesimpulan dari bukti yang kuat, dan dengan jelas memisahkan kesimpulan dan hipotesis. Misalnya, hipotesis van Bemmelen (1949) tentang letusan besar Merapi sekitar 1000 tahun yang lalu dan konsekuensinya terhadap Kerajaan Medang di Jawa Tengah, telah banyak ditulis dalam literatur, dan seakan-akan menjadi fakta yang diterima, sementara bukti-bukti baru belum dapat mempertahankan dugaan tersebut.

Hipotesis Telaga Borobudur

Pada tahun 1931, seorang seniman dan ilmuwan Belanda tentang arsitektur Dharma dan Buddha, WOJ Nieuwenkamp, mengembangkan suatu teori bahwa Lembah Progo pernah menjadi sebuah telaga dan Borobudur awalnya berupa bunga teratai yang mengapung diatas telaga. Bunga teratai yang ditemukan di hampir setiap karya seni Buddha, sering melambangkan tahta Buddha dan terukir pada dasar stupa. Arsitektur Borobudur itu sendiri menunjukkan gambaran teratai, dimana postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai, yang sebagian besar ditemukan di banyak teks penganut Buddha Mahayana (sekolah agama Buddha banyak tersebar di wilayah timur Asia). Tiga lantai atas yang melingkar juga diduga merupakan kelopak bunga teratai.
Nieuwenkamp menyarankan bahwa lanskap di dekat Borobudur meliputi sebuah telaga, sebuah candi diletakkan diatas telaga yang menyerupai bunga dan pola matematikanya dianggap menguntungkan, dan candi tersebut dihubungkan oleh jalan bersusunan bata dengan dinding di kedua sisinya. Telaga dan jalan tersebut kemudian tertimbun oleh abu vulkanik dari beberapa letusan Gunung Merapi, yang terletak sangat dekat di sebelah timurnya.
Teori Nieuwenkamp, bagaimanapun, dipertentangkan oleh banyak arkeolog, seperti Dumarçay dan Soekmono, yang mendebatkan bahwa lingkungan alam sekitar monumen itu adalah lahan kering. Teori ini kontroversial, tetapi bukti geologi baru-baru ini mendukung teori Nieuwenkamp tersebut.
Dumarçay bersama dengan Profesor Thanikaimoni telah mengambil sampel tanah pada tahun 1974 dan kemudian pada tahun 1977 dari parit uji yang digali pada bukit Borobudur, serta dari dataran di sebelah selatannya. Sampel ini kemudian dianalisis oleh Profesor Thanikaimoni, yang meneliti kandungan serbuk sari dan spora untuk mengidentifikasi jenis vegetasi yang tumbuh di daerah itu sekitar waktu pembangunan Borobudur. Mereka tidak dapat menemukan sampel serbuk sari atau spora yang merupakan karakteristik vegetasi yang diketahui tumbuh di lingkungan perairan. Daerah di sekitar Borobudur tampaknya telah dikelilingi oleh tanah pertanian dan pohon kelapa pada saat monumen dikonstruksi, seperti keadaan sekarang.
Caesar Voûte dan ahli geomorfologi JJ Nossin pada 1985-86 melakukan studi lapangan kembali untuk memeriksa hipotesis telaga Borobudur dan menyimpulkan bahwa tidak ada telaga di sekitar Borobudur pada saat konstruksi dan hanya digunakan secara aktif sebagai suaka alam.
Pada tahun 2000-an, para ahli geologi, di sisi lain, mendukung pandangan Nieuwenkamp ini, dengan menunjukkan endapan lempung yang terdapat di dekat situs. Sebuah studi stratigrafi, endapan dan sampel serbuk sari yang dilakukan pada tahun 2000 mendukung keberadaan lingkungan telaga purba didekat Borobudur tersebut, yang cenderung untuk mengkonfirmasi teori Nieuwenkamp.
Wilayah telaga berfluktuasi dengan waktu dan penelitian juga membuktikan bahwa Borobudur adalah berada didekat tepi telaga antara abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik telah membentuk lanskap di sekitarnya, termasuk telaga. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia, Gunung Merapi telah sangat aktif sejak Pleistosen.
Dalam mengkompromikan temuan-temuan tersebut, tampaknya pernah ada sebuah telaga di dekat Borobudur selama konstruksi dan pada saat aktif digunakan pada awal abad ke-9. Namun tidak sesuai dengan teori Nieuwenkamp – bahwa Borobudur adalah berupa sebuah teratai yang mekar di tengah kolam – telaga tidak sepenuhnya mengelilingi seluruh batuan dasar bukit Borobudur, tetapi hanya beberapa bagian kecil saja.
Ada kemungkinan bahwa bagian-bagian Lembah Progo yang lebih rendah di sekitar Borobudur di dekat sungai, pernah mengalami banjir dan menciptakan sebuah telaga dangkal kecil setidaknya pada abad ke-13 sampai ke-14. Bagian terdekat telaga memanjang ini diperkirakan berada sekitar 500 meter di sebelah selatan Borobudur di sepanjang sungai kecil yang mengalir ke tenggara yang kemudian bergabung dengan Sungai Progo. Telaga tersebut hanya menggenangi bagian bawah lembah yang terletak di sebelah selatan dan tenggara candi, sedangkan di sisi timur, barat dan utara adalah lahan kering yang mungkin dibudidayakan sebagai sawah, kebun dan pohon-pohon kelapa seperti sekarang. Ada kemungkinan terdapat telaga lain yang terletak beberapa ratus meter di sebelah selatan Candi Mendut pada pertemuan Sungai Progo dan Elo, dan di sebelah utara Candi Pawon sepanjang Sungai Progo. Telaga ini ada sampai antara abad ke-13 dan ke-14, ketika kemudian aktivitas vulkanik Merapi meruntuhkan bendungan alami dan akhirnya mengeringkan telaga.

Newhall et al, 2000

Setidaknya terdapat endapan pasir halus sampai lempung setebal 20 m membentang sampai dataran Progo dari titik barat-daya Merapi (Purbohadiwidjojo dan Sukardi, 1966; Nossin dan Voûte, 1986; Murwanto, 1996) (Gambar 4). Singkapan terbaik dapat dilihat di sepanjang Kali Sileng, anak Sungai Progo. Tak satu pun dari timbunan ini adalah endapan telaga diatom klasik putih; tetapi terdiri dari bahan klastik yang relatif baik, secara lokal dengan stratifikasi berskala halus. Dua satuan utama yang dikenal: urutan yang lebih tebal, hitam sampai abu-abu tertimbun dan tersimpan dalam lingkungan sempit, tertindih oleh urutan kuning-coklat yang lebih tipis, baik tertumpuk maupun selanjutnya dalam lingkungan oksidasi. Kayu yang diperoleh dari dekat dasar tumpukan endapan ini berusia 3430 tahun. Kayu dari bagian atas urutan endapan telaga ini berusia 860, 680 dan 660 tahun; pengusiaan oleh Murwanto, 1996.
Usia yang berbeda jauh mungkin menunjukkan: (a) sebuah telaga yang berumur panjang, pertama terbentuk sekitar 3430 tahun SS; (b) dua buah telaga, yang terbentuk dan menggenang sekitar 3430 tahun SS dan yang lain di daerah yang sama sekitar 860 – 660 tahun SS (sekitar 1200 – 1400 M); (c) sebuah telaga, terbentuk dan menggenang selama 1200 – 1400 M, dimana sepotong kayu yang jauh lebih tua terbawa; atau (d) perbedaan yang sistematis dan serius antara pengusiaan oleh dua laboratorium yang menguji.
Hipotesis (a) dan (b) adalah mungkin; (c) kurang mungkin karena kayunya tidak terkelupas seandainya terbawa dari erosi Merapi. Tidak ada alasan untuk mencurigai (d), karena belum ada pemisahan sampel yang dibagikan kepada kedua laboratorium untuk mengkonfirmasi konsistensinya. Hipotesis (b) mirip dengan kejadian di kaki Gunung Pinatubo, Filipina: sebuah telaga di kaki Pinatubo yang tertimbun lahar pada tahun 1991 telah terisi endapan sejak saat itu, dan penemuan sebuah perahu kuno di lokasi yang sama menunjukkan bahwa telaga tersebut juga terbentuk setelah letusan sebelumnya, dan telah menggenang sebelum adanya pemukiman modern (Umbal dan Rodolfo, 1996 dikutip oleh Newhall et al, 2000).
Dua sebab pembendungan yang mungkin: pengendapan cepat gunung api (seperti yang dijelaskan, misalnya oleh Umbal dan Rodolfo, 1996) atau pembendungan oleh material longsoran (misalnya oleh Siebert et al, 1987; Costa dan Schuster, 1988). Jika Sungai Progo sendiri terbendung, material pembendung yang relatif efektif adalah seperti oleh material longsoran yang tiba-tiba tampaknya lebih mungkin.
Nossin dan Voûte (1986) berpendapat bahwa terjadinya pembendungan Sungai Progo dan terbentuknya telaga Borobudur pasti terjadi pada waktu “jauh” sebelumnya, karena telaga harus terbendung oleh endapan, runtuh dan kemudian seluruh daerah harus terangkat secara tektonik sehingga terbentuk teras-teras yang terpotong pada endapan telaga. Namun, pengalaman pada pengendapan cepat di telaga Pinatubo menunjukkan skenario yang lebih sederhana: telaga dapat tergenang, terisi dan runtuh hanya dalam beberapa tahun sampai dekade, mungkin berabad-abad, dan teras-teras terbentuk terutama selama penyayatan kembali ke dasar. Pengangkatan tektonik tidak perlu terlibat.
Tiga usia muda radiokarbon endapan telaga Borobudur, berkisar 860 – 660 tahun SS menunjukkan adanya baik pengendapan lanjutan ataupun diperbaharui di telaga Borobudur. Seperti yang dibahas dalam kaitannya dengan Merapi Purba, penyebaran usia hampir 3000 tahun pada sedimen ini mungkin menunjukkan: (a) telaga berumur panjang, berlangsung sekitar 3430 – 660 tahun SS; atau (b) dua buah telaga, yang terbentuk dan tergenang sekitar 3430 tahun SS dan yang lain di daerah yang sama sekitar 860 – 660 tahun SS (sekitar 1200 – 1400 M). Catatan mengenai endapan tersebut adalah ambigu. Perubahan endapan dari hitam ke kuning menunjukkan bahwa sekitar 660 tahun SS, kondisi di dasar telaga lebih oksidan daripada sebelumnya, tetapi sedimen hitam tidak dapat dikaitkan dengan telaga awal dan sedimen kuning dengan telaga yang lebih muda, karena dua dari pengusiaan yang muda (860 dan 680 tahun SS) juga berupa batulempung hitam.
Kemungkinan bahwa telaga Borobudur (generasi 2?) ada, selama dan (atau) segera setelah pembangunan Candi Borobudur adalah informasi yang pasti akan menarik bagi para arkeolog.

Murwanto et al, 2004

Karakteristik stratigrafi, endapan dan serbuk sari batulempung mendukung keberadaan telaga purba Borobudur yang berselang-seling terbentuk antara masa glasial maksimum Pleistosen Akhir dan abad pertengahan akhir. Dalam selang 22.000 – 19.000 tahun SS, telaga tersebut membentang jauh ke utara dan timur. Sekitar 3000 SM luasan telaga menyempit dalam arah tenggara sampai baratlaut karena masuknya material vulkanik dari utara-timurlaut, dengan beberapa pulau diantara pertemuan Sungai Sileng dan Progo. Perubahan habitat terjadi berulang kali dari genangan air ke daratan, meskipun dengan frekuensi yang lebih tinggi di utara (inti Elo), yang lebih terbuka terhadap gerusan volkaniklastik dan konsentrasi endapan yang tinggi dalam aliran sungai, daripada di selatan (inti Sileng). Di sini, berada pada topografi rendah di kaki lereng curam Pegunungan Menoreh, kondisi telaga relatif lebih permanen. Hal ini terlihat jelas selama abad ke-13 sampai ke-14, ketika telaga terpisahkan menjadi dua bagian (Gambar 8). Tepian telaga yang mundur secara periodik terjadi akibat pengaruh kipas endapan Progo yang maju sejalan dengan fluktuasi endapan yang masuk dari hulu.
Palaeolake Borobudur through space and time, a preliminary reconstruction.
Gambar 8. Rekonstruksi awal Telaga Borobudur (dari Murwanto et al, 2003)
Kurva ukuran butir unimodal 20% volume sedimen) ataupun aliran sungai normal (<20% volume sedimen). Oleh karena itu, stratigrafi inti tersebut tidak menunjukkan bukti pengaruh longsoran besar dari Gunung Merapi. Bukti yang cukup banyak ini menantang pandangan yang ada bahwa telaga tersebut merupakan konsekuensi kejadian tunggal setelah pembangunan Borobudur, misalnya pembendungan oleh bencana letusan atau material longsoran seperti yang pada awalnya diusulkan oleh van Bemmelen (1949). Dibandingkan dengan bagian lain daerah tropis, endapan tersebut lebih jauh lagi bukan karakteristik peristiwa erosif yang berkaitan dengan pembukaan lahan antropogenik, meskipun keberadaan serbuk sari Macaranga, spesies pohon sekunder, di lapisan paling atas batulempung adalah sugestif dari campur tangan manusia terhadap tutupan lahan setelah abad keempat belas.

Gomez et al (2010)

Selama 119.000 tahun terakhir, Gomez et al (2010) mengidentifikasi setidaknya 6 generasi telaga purba yang berbeda di cekungan Borobudur. Endapan telaga purba ini selalu bersalang-seling dengan material vulkanik dalam periode sebelumnya 31.000 tahun SS. Hal ini menunjukkan bahwa telaga purba tersebut terbentuk oleh pembendungan sementara endapan vulkanik dan kemudian terisi oleh material vulkanik baru. Hanya endapan telaga purba tertua di inti 4 (60 – 58 m) dan satu di 45 m di inti 4 tertutup dengan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa, secara umum, telaga purba tersebut tidak memiliki waktu pengeringan diantara letusan atau material vulkanik mengikis tanah yang ada sebelum terendapkan.
Setelah peristiwa vulkanik besar kedua pada 31.000 tahun SS, endapan tanah liat telaga dari telaga purba besar, berusiakan 27.640 tahun SS dan 27.630 tahun SS, terdapat pada inti 1, 2 dan 3 dan di bagian bawah pertemuan antara Sungai Elo dan Progo. Perpanjangan spasial endapan ini menunjukkan adanya penyusutan telaga purba besar yang menjauh dari Sungai Elo dan Progo. Telaga purba ini kemudian muncul kembali secara lokal di sekitar abad ke-13 di Sungai Elo, tetapi, selama masa sejarah, telaga purba tersebut pasti terletak didalam sungai atau saluran purba, karena keberadaan candi mengesampingkan kemungkinan adanya sebuah telaga yang besar. Interpretasi ini sependapat dengan pengamatan Newhall et al(2000) bahwa telaga dalam masa sejarah semestinya sebagian besar telah dangkal, seperti sebuah rawa yang besar daripada sebuah telaga air tawar.
Di sebelah selatan cekungan, telaga purba tampaknya telah ada terus menerus dari 19.650/19.520 tahun SS sampai abad ke-13. Telaga purba ini tentu sudah ada sebelum masa tersebut, karena telah diambil endapan telaga pasir halus dan lempung hitam setebal 10 m dari inti dibawah yang telah terusiakan tersebut. Ketebalan endapan telaga purba ini sesuai dengan pengamatan Newhall et al (2000), yang juga diambil dari endapan telaga pasir halus sampai tanah liat setebal 20 m. Seperti endapan di sekitar Sungai Elo dan Progo, bagian telaga tersebut juga tampaknya dangkal. Newhall et al (2000) mendeskripsikan sedimen tersebut sebagai “sedimen telaga diatom putih bukan klastik”, dengan material klastik halus didalamnya; suatu deskripsi yang juga sesuai dengan pengamatan Gomez et al.
Ontogeni umum telaga purba yang berumur panjang dan dangkal ini konsisten dengan hasil dan bagian interpretasi Murwanto et al (2004). Memang, Gomez et al (2010) setuju dengan kesimpulan Murwanto et al (2004) tentang keberadaan telaga purba yang berselang-seling antara Pleistosen Akhir dan akhir abad pertengahan, dan menyempit ke arah barat, yang paling mungkin adalah karena masuknya material vulkanik. Namun, hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstensi spasial telaga-telaga purba yang diusulkan oleh Murwanto et al(2004) tersebut adalah berlebihan secara signifikan. Lokasi candi tidak sesuai dengan batas telaga purba penulis (candi tenggelam dibawah air), dan endapan telaga purba tidak mencerminkan telaga air tawar yang besar, tetapi dangkal dan agak terbatas, yang juga tidak konsisten dengan batas telaga purba yang diusulkan oleh Murwanto et al (2004). Salah satu alasan perihal perbedaan antara hasil-hasil Gomez et al dengan Murwanto et al (2004) adalah mungkin Murwanto et al (2004) berdasarkan batas generasi-generasi telaga purba di cekungan Borobudur yang berbeda dengan topografi dan sistem hidrografi sekarang.
 Synthetic map of the Borobudur basin (Gomez et al, 2010)
Gambar 9. Peta sintetis Cekungan Borobudur (dari Gomez et al, 2010). (1) saluran purba dan saluran drainase telaga purba; (2) teras; (3) bentangan telaga purba masa sejarah; (4) bentangan telaga purba maksimum; (5) Pegunungan Menoreh; (6) lokasi desa Sabrangrowo (“seberang rawa”) dan Danurejo (“pusat air”); (7) kelanjutan saluran purba dari bukti topografi; (8) kemungkinan kelanjutan saluran purba; (9) patahan seismik; (10) sungai saat ini; (11) lokasi candi; (12) sumur air tawar dengan pasir didalamnya – dalamnya 8 sampai 12 m; (13) sumur air tawar dengan lempung hitam endapan rawa didalam dan dasarnya – umumnya pada kedalaman 6 m.

Murwanto et al, 2014

Keberadaan telaga dibuktikan dengan adanya endapan rawa berupa lempung hitam mengandung serbuksari dari tanaman komunitas rawa. Murwanto (1996), mengidentifikasi bahwa serbuk sari pada batulempung hitam di Kawasan Borobudur antara lain mengandung: Nymphaea stellata, Cyperaceae, Eleocharis, Commelina, Hydrocharis dan sebagainya. Sebaran endapan lempung hitam ini cukup luas dan saat ini menyisakan bekas rawa atau dataran lakustrin yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk aktivitas pertanian.
Pegunungan Menoreh mempunyai ketinggian sekitar 900 m dpl, dengan banyak puncak yang menyerupai bentuk menara, salah satunya adalah puncak Suroloyo. Pegunungan ini terletak di bagian selatan telaga Borobudur dengan litologi berupa batuan breksi Old Andesite Formation (OAF). Kondisi morfologi pada Pegunungan Menoreh menunjukkan bahwa pada wilayah ini telah mengalami tingkat erosi yang sangat lanjut. Tingkat erosi ini selain disebabkan oleh adanya proses iklim juga dipengaruhi oleh proses tektonik yang berkembang pada wilayah tersebut. Iklim dan tektonik tersebut mengakibatkan kawasan Menoreh ini mudah terjadi tanah longsor. Bukti adanya longsor tersebut dapat diamati dari bekas atau sisa-sisa bidang longsor.
Dengan citra satelit struktur-struktur tersebut dapat terdeteksi, berupa kelurusan gawir sesar dengan deretan triangular facets, pergeseran off set blok sesar, kelurusan dan pembelokan secara tajam pola aliran sungai yang berkembang pada zona struktur. Kenampakan-kenampakan sesar tersebut terlihat jelas pada gawir Pegunungan Menoreh yang terletak di bagian selatan dari Candi Borobudur. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan adanya material longsoran dari Pegunungan Menoreh (breksi OAF) dengan ukuran bervariasi. Material-material tersebut banyak ditemukan di Desa Ngadiharjo dan Karanganyar Kecamatan Borobudur, baik di permukaan maupun pada lembah-lembah sungai. Material vulkanik tidak ditemukan di daerah tersebut. Kegiatan tektonik dan materi longsoran yang ditemukan di Sungai Sileng.
Batuan OAF dan endapan lempung hitam terpotong dan terangkat akibat aktivitas sesar. Berdasarkan pengamatan stratigrafi diketahui bahwa endapan lempung hitam tertutupoleh material hasil longsoran Pegunungan Menoreh. Hasil pengujian radiokarbon 14C menunjukkan bahwa endapan telaga berumur 22,140 BP.
Aluvial fan at Borobudur paleolake (Murwanto et al, 2013)
Gambar 10. Kipas aluvial penutup telaha Borobudur (dari Murwanto et al, 2014)
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa pada sisi selatan telaga purba Borobudur telah mengalami pendangkalan yang disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik dan longsor lahan dari Pegunungan Menoreh. Rekaman aktivitas tektonik yang terdapat di lapangan menunjukkan bahwa wilayah penelitian dikontrol oleh struktur geologi. Struktur geologi tersebut mengubah morfologi dan membuka jalan keluar bagi genangan air telaga. Aktivitas tektonik juga mengakibatkan terjadinya longsor lahan di Pegunungan Menoreh yang juga dipicu oleh curah hujan dan gravitasi bumi. Keberadaan struktur geologi akan membantu mempercepat terjadinya pelapukan batuan dan berpotensi terjadi longsor.

Nama-nama Tempat

Keberadaan telaga purba Borobudur didukung oleh nama-nama tempat di daerah yang memiliki arti yang berhubungan dengan air. Ada Bumisegoro (berarti “tanah air”), Sabrangrowo (berarti “seberang rawa”), Tanjungan, Tanjungsari dan Wanurejo (berarti “pusat air”). Aktivitas warga sekitar candi yang berkaitan dengan paleolake yang juga tercermin dalam relief Borobudur.

Rekonstruksi Penulis

Longsoran-longsoran yang berasal dari Menoreh adalah penyebab pembendungan Sungai Sileng yang paling mungkin. Dengan daerah tangkapannya di Borobudur yang hanya sekitar 29 kilometer persegi, aliran rata-rata adalah sekitar 1,5 m3/detik dan banjir dengan kala ulang 100 tahunnya adalah sekitar 100 m3/detik. Longsoran-longsoran yang menutupi Sungai Sileng mungkin tidak dapat runtuh dengan aliran tersebut sehingga telaga akan tetap ada. Pengeringan telaga tersbut lebih disebabkan oleh pengendapan dari bahan yang terbawa oleh aliran dari daerah tangkapannya dan abu vulkanik dari letusan Merapi.
Lain halnya dengan Sungai Progo. Dengan daerah tangkapannya yang sekitar 1600 kilometer persegi, aliran rata-ratanya lebih dari 50 m3/detik dan banjir dengan kala ulang 100 tahunnya adalah hampir mencapai 2.000 m3/detik. Pembendungan Sungai Progo dengan endapan dari longsoran bisa menciptakan sebuah telaga, tetapi dapat runtuh hanya dalam beberapa tahun atau dekade, mungkin kurang dari satu abad.
Penulis merekonstruksi telaga purba berdasarkan hipotesis yang ada seperti ditunjukkan pada gambar berikut.
Borobudur Lake Map
Gambar 11. Rekonstruksi telaga purba Borobudur oleh penulis

Awalmula Peradaban

Borobudur dibangun pada abad ke-9, di Lembah Progo yang bersejarah, sebuah tempat lahirnya peradaban di Pulau Jawa di lereng subur Gunung Merapi sebagai pusat kerajaan Medang i Bhumi Mataram. Dinasti Sanjaya dan Sailendra memiliki basis awal kekuatan mereka disana.
Masyarakat Medang umumnya bermatapencaharian di sektor pertanian, terutama sebagai petani padi. Namun, selain itu juga terdapat mata pencharian lain, seperti pemburu, pedagang, tukang, pengrajin senjata, pelaut, tentara, penari, musisi, penjual makanan atau minuman, dll. Gambaran kekayaan kehidupan Jawa sehari-hari di abad ke-9 dapat dilihat di banyak relief candi. Budidaya padi telah menjadi dasar bagi perekonomian kerajaan dimana desa-desa di wilayah mengandalkan hasil padi tahunan mereka untuk membayar pajak kepada negara. Dengan mengeksploitasi tanah vulkanik yang subur di Jawa Tengah dan membudidayakan padi basah yang intensif menyebabkan penduduk tumbuh secara signifikan, yang berkontribusi pada ketersediaan tenaga kerja dan buruh untuk proyek-proyek publik negara. Desa-desa dan lahan tertentu diberi status sebagai tanah sima (bebas pajak) yang diberikan melalui dekrit kerajaan yang ditulis pada prasasti-prasasti. Hasil panen padi lahan sima biasanya dialokasikan untuk pemeliharaan bangunan keagamaan tertentu.
Sisa-sisa fosil bahan makanan pokok, yang terdiri dari jagung dan beras masih di dalam keranjang bambu, ditemukan di situs arkeologi Liyangan di lereng Gunung Sundoro, juga di Lembah Progo. Mereka juga telah menemukan banyak artefak dari negara lain, terutama Tiongkok yang berusiakan Dinasti Tang dari abad ke-9 sampai ke ke-10. Berdasarkan pengusiaan 14C, batang pohon terbakar yang ditemukan di situs tersebut memiliki usia 590 M, jauh lebih tua dari Borobudur.
Sebuah perahu kuno, berukuran 15,6 meter panjang dan lebar 4 meter ditemukan di Desa Punjulharjo, Kabupaten Rembang, di sebelah timur laut Lembah Progo. Hasil uji laboratorium menunjukkan perahu itu digunakan sekitar tahun 670 – 780 M.
Kalingga, ada antara abad ke-6 dan ke-7, adalah sebuah kerajaan di pesisir utara Jawa Tengah. Sumber Tiongkok berusiakan Dinasti Tang. Menurut seorang biksu Tiongkok Yijing, pada tahun 664 seorang biksu Tiongkok bernama Huining telah tiba di Heling (Kalingga) dan tinggal disana selama sekitar tiga tahun. Pada tahun 674 kerajaan diperintah oleh Ratu Shima. Menurut Carita Parahyangan, sebuah buku yang disusun dalam periode kemudian, cicit Shima adalah Sanjaya, yang adalah raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan juga pendiri Kerajaan Medang.
Prasasti Tritepusan, ditemukan di Lembah Progo bertanggalkan 842 M, menyebutkan mengenai tanah sima (bebas pajak) di desa Tritepusan yang diberikan oleh Sri Kahulunnan untuk menjamin pendanaan dan pemeliharaan sebuah kamulan yang disebut Bhumi Sambhara Bhudhara. Kamulan itu sendiri dari kata mula berarti “tempat asal”. Sejarawan Casparis menyarankan bahwa Bhumi Sambhara Bhudhara adalah nama asli Borobudur.
Diduga, peradaban telah ada di Lembah Borobudur jauh sebelum pembentukan kerajaan yang memiliki basis kekuatan mereka disana. Hal ini didukung oleh suburnya Lembah Progo, sehingga peradaban yang berbasis pertanian dengan mudah dan cepat berkembang. Dengan tujuan untuk menyebarkan agama Buddha kepada masyarakat tersebut, dinasti Sailendra membangun monumen-monumen, Borobudur dan lain-lain. Besarnya monumen Borobudur menunjukkan bahwa peradaban di daerah itu telah benar-benar meluas dan maju.
Berbagai budaya kuno di dunia yang dipisahkan oleh jarak dan waktu telah membangun berbagai macam gundukan tanah secara kolektif yang disebut Pembangun Gundukan untuk tujuan upacara keagamaan, penguburan dan perumahan elit. Budaya ini secara luas ditemukan di Nusantara yang selanjutnya berkembang menjadi struktur piramida tanah dan batu, yang disebut punden berundak. Pembangunan punden berundak didasarkan pada keyakinan masyarakat bahwa gunung dan tempat-tempat tinggi lainnya adalah tempat tinggal roh para leluhur, atau Hyang. Punden berundak adalah desain dasar Candi Borobudur.
Pemugaran Borobudur antara tahun 1975 dan 1982 telah menemukan sisa-sisa batu yang diduga membentuk punden berundak sebelum pembangunan candi. Ini merupakan indikasi bahwa peradaban non Buddha telah ada sebelumnya.
Mengamati daerah tersebut, penulis menemukan tiga gundukan yang memiliki ukuran dan tinggi yang hampir sama pada pinggiran telaga purba, diidentifikasi sebagai Gumuk Bakal, Gumuk Ndagi dan Borobudur. “Gumuk” adalah kata Jawa untuk “gundukan”, “bakal” adalah untuk “calon” dan “ndagi” (dari “undagi”) adalah untuk “tukang”. Candi Borobudur dibangun di atas sebuah gundukan yang telah ada sebelumnya. Ketiga gundukan dapat menjadi obyek yang menarik untuk penelitian tentang peradaban awal di Lembah Progo.
Ada sebuah teori bahwa batu-batu Borobudur mungkin dipahat di Gumuk Ndagi karena arti nama tempat tersebut. Dikabarkan bahwa dulunya ada dua patung Dwarapala (penjaga gerbang) di Gumuk Ndagi tapi kemudian dibawa ke Thailand oleh Raja Chulalongkorn pada tahun 1896, sekarang dipamerkan di Museum Nasional Bangkok. Suatu tempat yang bernama Gopalan, dari “gopala”, sebuah sebutan singkat untuk Dwarapala adalah diduga sebagai pintu gerbang untuk memasuki Borobudur.
Borobudur Mounds
Gambar 12. Tiga gundukan di sekitar Borobudur di tepian telaga purba: Gumuk Bakal, Gumuk Ndagi dan Borobudur

Referensi

D Karnawati, S Pramumijoyo, and H Hendrayana, Geology of Yogyakarta, Java: The dynamic volcanic arc city, IAEG2006 Paper number 363, 2006
Benjamin Clements, Robert Hall, Helen R Smyth and Michael A Cottam, Thrusting of a volcanic arc: a new structural model for Java, Petroleum Geoscience, Vol 15 2009, pp 159 – 174
Véronique Myriam Yvonne Degroot, Candi Space and Landscape: A Study on the Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains, Thesis to afford the degree of Doctor from the University of Leiden, 2009
H Murwanto, Y Gunnell, S Suharsono, S Sutikno and F Lavigne, Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and historical implications, The Holocene April 2004, 2004
CG Newhall, S Bronto, B Alloway, NG Banks, I Bahar, MA del Marmol, RD Hadisantono, RT Holcomb, J McGeehin, JN Miksic, M Rubin, SD Sayudi, R Sukhyar, S Andreastuti, RI Tilling, R Torley, D Trimble and AD Wirakusumah, 10,000 Years of explosive eruptions of Merapi Volcano, Central Java: archaeological and modern implications, Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) pp 9 – 50, 2000
C Gomez a, M Janin, F Lavigne, R Gertisser, S Charbonnier, P Lahitte, SR Hadmoko, M Fort, P Wassmer, V Degroot and H Murwanto, Borobudur, a basin under volcanic influence: 361,000 years BP to present, Journal of Volcanology and Geothermal Research 196 (2010) pp 245 – 264, 2010
Helmy Murwanto, Ananta Purwoarminta dan Darwin A Siregar, Pengaruh tektonik dan longsor lahan terhadap perubahan bentuklahan di bagian selatan Danau Purba Borobudur (“Tectonics and landslides control of the landform changes in the southern part of Borobudur ancient lake”), Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol 5 No 2 Agustus 2014 pp 143 – 158, 2014
***
Hak Cipta © 2015, Dhani Irwanto

1 komentar: