Aurea Chersonesus Terdapat di Sumatera

Penelitian oleh Dhani Irwanto, 8 Juni 2017
Didalam Geographia, yang ditulis oleh Ptolomeus pada abad ke-2 berdasarkan karya Marinus dari Tirus satu abad sebelumnya, terdapat sebuah wilayah bernama Aurea Chersonesus, yang berarti Tanjung Emas dalam bahasa Latin (Χρυσῆ Χερσόνησος, Chrysḗ Chersónēos dalam bahasa Yunani Kuno). Aurea Chersonesus juga ditampilkan di mappa mundi oleh Andreas Walsperger, yang dibuat di Constance sekitar 1448.
Tidak diketahui apakah Ptolomeus menampilkan peta didalam Geographia yang asli. Bagaimanapun, para ilmuwan Renaisans berhasil menyusun kembali serangkaian peta dari tabel lokasi yang tersusun didalam Geographia. Peta paling awal dari karya-karya ini berasal dari akhir abad ke-13. Edisi cetak pertama Geographia dengan lampiran peta telah diterbitkan di Roma pada tahun 1477, sehingga menjadi atlas dunia cetak pertama. Ptolomeus, seperti banyak ahli geografi awal, percaya bahwa Samudera Hindia adalah berupa sebuah laut yang dikelilingi oleh daratan dan peta-peta yang berdasarkan karya Ptolomeus menunjukkan Aurea Chersonesus berada di dalam sebuah perairan tertutup, meskipun pada abad ke-8, para ahli geografi Arab sadar bahwa gagasan tentang Samudera Hindia sebagai perairan tertutup adalah keliru.
Rangkaian peta yang telah dibuat terdiri dari dua belas peta untuk Asia, dimana peta kesebelas (yang diberi nama Undecima Asiae Tabula) menggambarkan India Extra Gangem (India di luar Sungai Gangga) dan Sinae (China). Ada sebuah wilayah pada peta tersebut yang tertulis Aurea Chersonesus. Sesuai namanya, pembuat peta masa Renaisans menggambar daerah tersebut sebagai sebuah semenanjung yang menjorok dari daratan yang diberi nama India Extra Gangem, dan Barussae – sebuah kota pelabuhan Barus yang terkenal di pesisir barat Sumatera – digambarkan sebagai sekelompok pulau kecil meskipun Ptolomeus menulisnya sebagai suatu tempat yang umum dikenal (quinw) dan terdapat kanibalisme. Berdasarkan itu, Aurea Chersonesus secara umum telah dianggap sebagai Semenanjung Malaya. Namun, penulis berpendapat bahwa Aurea Chersonesus adalah suatu daerah di Sumatera Barat yang disebut Tanjungemas, terkenal dengan tambang emasnya pada zaman purba, seperti yang dibahas di bawah ini.
Nama dan koordinat berbagai fitur geografis dan permukiman di Aurea Chersonesus telah tercantum didalam Geographia-nya Ptolomeus, termasuk kota-kota dan sungai-sungai. Pandangan Ptolomeus tentang geografi Asia Tenggara terutama berasal dari karya pendahulunya, yaitu Marinus dari Tirus, yang telah mengutip pengetahuannya dari pelaut Alexander yang telah mengunjungi Aurea Chersonesus. Tentu saja, kita tidak bisa mengharapkan akurasi yang baik terhadap koordinat-koordinat tersebut karena metode pengukurannya dan kebanyakan berasal dari informasi tanpa mengetahui lokasi persisnya. Lintang di sekitar Aurea Chersonesus hanya beberapa derajat dari garis katulistiwa, baik di selatan atau utara, dan mempertimbangkan metodenya dalam mengukur garis lintang pada saat itu, secara umum dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut berada di dekat katulistiwa. Ptolomeus bisa saja bingung mengenai lintang utara atau selatan tempat-tempat itu karena ia hanya mengetahui jumlah jam siang paling lamanya.
Ada sebuah daerah di Sumatera bernama Tanjungemas, sekarang nama sebuah kecamatan di Kabupaten Tanahdatar di Provinsi Sumatera Barat. Daerah ini berada di garis lintang selatan antara 0º 24” dan 0º 33”, sehingga berada di dekat katulistiwa. Wilayah ini terkenal dengan pertambangan emas purbanya dan konon terletak di tanah asal orang Melayu. Lokasinya berada di sebelah hulu Sungai Batanghari dan Inderagiri dimana para penambang tersebut diduga menggunakannya untuk mengangkut produk tersebut ke pantai timur Sumatera.

Gambar 1 – Lokasi Tanjungemas
Daerah ini berada di dekat ibukota Kerajaan Malayapura (Kerajaan Malayu Baru, yang juga dikenal dengan Kerajaan Pagaruyung) yang didirikan oleh Adityawarman dan memimpin wilayah Sumatera Tengah antara tahun 1347 dan 1375, kemungkinan untuk mengendalikan perdagangan emas di wilayah tersebut. Pada antara 1513 dan 1515, seorang Portugis Tomé Pires didalam Suma Oriental menyebutkan tentang sebuah daerah yang kaya akan emas dan menunjuk pada daerah ini. Orang Eropa pertama yang memasuki wilayah tersebut adalah Thomas Dias, seorang Portugis yang dipekerjakan oleh gubernur Belanda di Malaka, yang melakukan perjalanan dari pantai timur untuk mencapai wilayah tersebut pada tahun 1684. Ia melaporkan bahwa kegiatan utama masyarakat setempat pada saat itu adalah pendulangan emas dan pertanian. Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu Sir Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang dicapai dari pantai barat.
Dengan asumsi bahwa Tanjungemas adalah Aurea Chersonesus, penulis mengidentifikasi berbagai fitur geografis dan koordinatnya yang disebutkan dalam Geographia yang ditulis oleh Ptolomeus. Marinus rupanya memperoleh informasi tersebut dari tiga catatan wilayah yang terpisah, yaitu wilayah pertambangan, pantai timur dan rawan pembajakan, dimana Ptolomeus menggambarkannya dalam skala yang berbeda-beda dikarenakan oleh ketidakakuratan data, dan memberikan skala yang berlebihan pada wilayah pertambangan. Oleh karena itu, dibuat tiga identifikasi terpisah, sebagai berikut.
Wilayah Aurea Chersonesus terdiri dari nama tempat, tempat perdagangan (emporium), sungai (fluvius) dan tanjung (promontorium). Plot koordinat mereka yang diberikan oleh Ptolomeus ditunjukkan pada Gambar 2.
1. Balonca, tempat → Batusangkar
Batusangkar adalah ibukota Kabupaten Tanahdatar di Provinsi Sumatera Barat, yang dikenal sebagai “kota budaya”. Kota ini berada di dekat bekas kerajaan Minangkabau yang didirikan oleh Adityawarman, raja Malayapura (Kerajaan Malayu Baru) di Pagaruyung pada abad ke-13, yang ditunjukkan oleh Istana Pagaruyung yang telah dibangun kembali. Kota ini memiliki prasasti yang terbanyak di Sumatera yang ditinggalkan oleh Adityavarman. Terdapat sebuah pos Belanda di kota ini yang didirikan pada masa Perang Padri (1821 – 1837) dan dikenal sebagai Benteng van der Capellen, yang dibangun antara tahun 1822 dan 1826.
2. Tacola, emporium (tempat dagang) → Tikalak, Singkarak
Singkarak adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat, yang terletak di tepi Danau Singakarak. Tikalak adalah sebuah desa di dekat pemukiman utama Kecamatan Singkarak, juga di tepi Danau Singkarak. Ptolomeus menyebutkan bahwa siang terlama di Tacola adalah 12¼ jam atau sekitar 0º 50’ garis lintang. Singkarak dan Tikalak memiliki garis lintang sekitar 0º 40’ sebelah selatan katulistiwa.
3. Cocconagara, tempat → Nagari Solok
Solok, atau yang sebelumnya dikenal dengan Nagari Solok, adalah sebuah kota di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat.
4. Palanda, fluvius (sungai), tempat → Batang Lunto, Sawahlunto
Nama-nama Batang Lunto dan Sawahlunto berasal dari nama dasarnya Lunto, sebuah tempat di tepi persimpangan Sungai Ombilin dan Sungai Batang Lunto. Batang Lunto (batang berarti “sungai”) adalah anak sungai Ombilin dimana konon untuk mengairi persawahan di sekitarnya, sehingga disebut Sawahlunto.
Sawahlunto adalah salah satu kota pertambangan di Sumatera Barat, yang pertama kalinya didirikan sebagai kota pada tahun 1882 oleh Belanda bersamaan dengan operasi penambangan batubara disana. Batubara ditemukan pada pertengahan abad ke-19 oleh seorang ahli geologi Belanda De Greve. Sawahlunto dulunya adalah sebuah kabupaten dan sekarang menjadi kota di Provinsi Sumatera Barat.
5. Chrysoana/Chrysoanu, fluvius (sungai) → Sungaimas, Sungai Selo dan Sungai Ombilin bagian hulu
Chryse dalam bahasa Yunani berarti “emas” dan soana diduga dari “sungai”, sehingga Chrysoana berarti Sungai Emas. Sisi barat Tanjungemas dibatasi oleh Sungai Selo, dan sebagian Sungai Ombilin antara persimpangannya dengan Batang Lunto dan Sungai Selo. Sungai-sungai ini rupanya dulunya diberi nama Sungai Emas, seperti yang masih digunakan oleh sebuah desa bernama Sungaimas yang terletak di tepi Sungai Selo didekat kota Batusangkar.
6. Tharra, tempat → Muara
Muara atau yang kemudian dikenal dengan nama Muara Sijunjung adalah ibukota Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat, yang terletak di tepi Sungai Kuantan dimana sungainya bercabang menjadi tiga di kota ini. Tempat ini diduga merupakan titik awal untuk berlayar ke Tanjungemas setelah melalui jalur darat dari titik pelayaran terakhir di Sungai Batanghari sebelah hulu di Padangroco, yang disebut oleh Ptolomeus sebagai Attibam fluvius (“sungai Attibam”).
7. Attibam, fluvius (sungai); Sarabes, muara → Sungai Batanghari bagian hulu; Muarasabak
Ptolomeus menuliskan bahwa ada sebuah sungai yang terpisah dari Chrysoanu fluvius (Sungai Selo dan Sungai Ombilin bagian hulu) dan Palandas fluvius (Batang Lunto) di sekitar wilayah Aurea Chersonesus (Tanjungemas), bernama Attibam fluvius, yang secara geografis terletak di sebelah selatan Tharra (Muara Sijunjung). Sungai ini rupanya adalah Sungai Batanghari bagian hulu (lihat pula Attaba fluvius setelah ini) di sekitar Padangroco. Selanjutnya, ia menuliskan bahwa sungai ini adalah bagian dari sebuah sungai besar yang mengalir kearah tenggara (Sungai Batanghari) yang bermuara di Sarabes (Muarasabak, lihat pula Zabaæ dan Attaba fluvius setelah ini).
Catatan arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang dulu mencapai Tanjungemas melalui Sungai Batanghari karena lebih mudah dilayari daripada Sungai Inderagiri yang bersebelahan. Titik paling hulu untuk dapat berlayar adalah di Padangroco, yang diduga merupakan tempat peristirahatan – dimana kemudian Adityawarman membangun beberapa candi di daerah ini – sebelum melanjutkan melalui jalur darat ke Muara Sijunjung. Muara Sungai Batanghari di pesisir timur Sumatera, yang dikenal sebagai Muarasabak, kemudian berkembang menjadi pelabuhan perdagangan yang sibuk, pusat Kerajaan Malayu abad ke 7 (Kerajaan Malayu Kuno) dan pusat pendidikan agama Budha, yang ditunjukkan oleh catatan arkeologi, prasasti dan babad orang India, Cina dan Arab.
8. Promontorium (tanjung) → tanjung-tanjung di tepian Danau Singkarak
Ptolomeus menyebutkan dua buah tanjung di sekitar wilayah Aurea Chersonesus. Tanjung-tanjung ini rupanya nama-nama tempat yang diawali dengan “tanjung” di sepanjang pantai timur Danau Singkarak, seperti Tanjungbatutebal, Tanjungbuluh, Tanjungaur, Tanjungtabing dan Tanjungmuara.
Tanjungemas 1a
Gambar 2 – Tempat-tempat di wilayah Tanjungemas dan sekitarnya. Inset adalah plot tempat-tempat yang diberikan oleh Ptolomeus menggunakan sistem koordinatnya. Angka-angka adalah terkait dengan penjelasannya dalam artikel ini.
Wilayah pesisir timur terdiri dari nama tempat, sungai (fluvius), teluk (sinus), tanjung (promontorium), badan sosial (civitas) dan tempat perdagangan (emporium). Plot koordinat mereka yang diberikan oleh Ptolomeus ditunjukkan pada Gambar 3.
1. Perimula, tempat; Perimulicus, sinus (teluk) → Pulau Berhala, Teluk/Selat Berhala
Berhala sekarang menjadi nama selat dan teluk, dan dua pulau kecil di lepas pantai timur Sumatera dekat kota Jambi.
2. Coli, civitas (badan sosial) → Kuala, Kualatungkal
Ada beberapa nama tempat dengan awalan “kuala” di tepi Teluk Berhala. Yang paling dikenal adalah Kualatungkal, yang merupakan kota kuno yang banyak didiami oleh masyarakat Banjar dari Kalimantan.
3. Attaba, fluvius (sungai) → Batang Sabak, Sungai Batanghari
Ada sebuah delta di muara Sungai Batanghari bernama Muarasabak. Ini menyiratkan bahwa Sungai Batanghari sebelumnya disebut Batang Sabak (batang berarti “sungai”). Lihat juga Zabæ setelah ini.
4. Maleucolon, promontorium (tanjung) → Sungailokan, Tanjung Jabung
Tanjung Jabung adalah sebuah tanjung di pantai timur Sumatera yang merupakan ujung selatan Teluk Berhala (Perimulicus sinus). Terdapat sebuah desa bernama Sungailokan disana.
5. Sabana, emporium (tempat perdagangan) → kota Jambi, lihat pula Sobani fluvius setelah ini
Jambi adalah ibukota Provinsi Jambi yang terletak di dekat pesisir timur Sumatera bagian tengah di tepi Sungai Batanghari. Kota ini adalah lokasi Kekaisaran Sriwijaya yang menguasai perdagangan di Selat Malaka dan sekitarnya. Jambi menggantikan Palembang, saingan ekonomi dan militer di sebelah selatannya, sebagai ibukota kerajaan. Pergerakan ibukota ke Jambi sebagian disebabkan oleh serangan pada tahun 1025 oleh para bajak laut dari wilayah Chola di India bagian selatan, yang menghancurkan sebagian besar kota Palembang.
Pemerintah Provinsi Jambi berusaha keras untuk menjadikan situs percandian kuno Muarojambi di desa Muarojambi yang tidak begitu jauh dari kota Jambi, untuk menjadi situs warisan dunia. Situs ini merupakan pusat pendidikan agama Budha yang berkembang pada abad ke-7 dan ke-8 yang candi-candinya terbuat dari batubata yang serupa dengan yang digunakan di candi-candi Budha di India. Prasasti Nalanda (860 M) berbicara tentang raja Dewapaladewa dari Bengala (Kekaisaran Pala) yang telah mengabulkan permintaan Sri Maharaja dari Suwarnadwipa (Sumatera), Balaputera, untuk membangun sebuah biara Budha di Nalanda (negara bagian Bihar di India bagian timur laut).
Jambi disebutkan dalam babad Tiongkok di era Dinasti Sung sebagai Chan-pi (Slamet Muljana, 2006). Sejarah Dinasti Sung menggambarkan bahwa raja San-fo-tsi (Suwarnabumi, “Tanah Emas”) tinggal di Chan-pi. Utusan dari Chan-pi datang untuk pertama kalinya di istana Kaisar pada tahun 853 M. Utusan kedua datang juga pada tahun 871 M. Informasi ini menunjukkan bahwa Chan-pi telah dikenal di Tiongkok pada tahun-tahun itu. Sebuah babad Tiongkok oleh Ling Pio Lui (890 - 905 M) juga menyebutkan Chan-pi telah mengirimkan sebuah misi perdagangan ke Tiongkok. Sebelumnya dari seorang biksu masa Dinasti Tang, Yijing, menulis bahwa ia mengunjungi pusat pendidikan agama Budha pada tahun 671 M selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sanskerta dan bahasa Melayu. Pada tahun 687 M, ia singgah lagi dalam perjalanannya kembali ke Tang di Tiongkok dan tinggal di sana selama dua tahun untuk menerjemahkan kitab suci Sansekerta kedalam bahasa Tiongkok. Ia menggambarkan bahwa tempat itu adalah pusat agama Budha dimana para ilmuwan asing berkumpul.
Tanjungemas 2a
Gambar 3 – Tempat-tempat di wilayah pesisir timur. Inset adalah plot tempat-tempat yang diberikan oleh Ptolomeus menggunakan sistem koordinatnya. Angka-angka adalah terkait dengan penjelasannya dalam artikel ini.
Daerah rawan pembajakan terdiri dari nama tempat, sungai (fluvius), badan sosial (civitas) dan tempat perdagangan (emporium). Tampaknya tempat-tempat ini berada di sepanjang Sungai Batanghari yang rawan pembajakan. Plot koordinat mereka yang diberikan oleh Ptolomeus ditunjukkan pada Gambar 4.
1. Zabæ, civitas (badan sosial) → Muarasabak
Menurut Ptolomeus, Marinus telah mengutip pengetahuannya dari pelaut Alexander saat melakukan perjalanan dari Aurea Chersonesus (Tanjungemas), dari arah barat menuju ke timur, untuk jangka waktu dua puluh hari, sampai mencapai sebuah pelabuhan bernama Zabæ. Dari titik ini, ia menyatakan, kapal-kapal berlayar kearah tenggara untuk waktu yang lebih lama untuk dapat mencapai kota Cattigara (tempat tak dikenal). Ptolomeus menyebutkan bahwa siang terlama di tempat ini adalah lebih dari 12¼ jam atau sekitar 1º dalam garis lintang. Rupanya, Zabæ adalah yang sekarang dikenal dengan Muarasabak (dari “muara” dan “Sabak”), sebuah delta di muara Sungai Batanghari, yang konon merupakan pelabuhan perdagangan yang sibuk di masa lalu. Garis lintangnya sekitar 1º di sebelah selatan katulistiwa.
Begitu banyak artefak arkeologi ditemukan di Muarasabak, seperti peerahu kuno, permukiman, patung emas dan makam, juga tembikar, keramik, manik-manik dan pipisan yang diperkirakan berasal dari Dinasti Song (abad ke-11 sampai ke-13 Masehi). Babad Arab oleh Abu Zaid Hassan (916 M) menyebutkan tempat itu sebagai Zabag atau Zabaj dimana ada seorang kaisar Sribuza (Sriwijaya) disana. Penjelajah Arab dan kronik lainnya juga menyebutkannya: Mas’udi (abad ke-10), Ibn Serapion (sekitar 950 M), Aja’ib al-Hind (sekitar 1000 M), Mukhtasar al-Aja’ib (sekitar 1000 M), India oleh Al-Biruni (awal abad ke-11), Marwasi (sekitar 1120 M) dan Al-Idrisi (abad ke-12). Beberapa peta abad ke-16 sampai ke-17 menyebutkannya sebagai Saban atau Sabi.
2. Acadra, tempat → Kotokandis
Kotokandis adalah sebuah desa di tepi persimpangan Sungai Batanghari dan deltanya. Terdapat reruntuhan candi Budha dan ditemukan patung perunggu Hindu Dipalaksmi disini dan di desa Simpang yang berdekatan. Terdapat juga situs makam kuno yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai makam Orang Kayo Hitam, Putri Mayang Mangurai dan Orang Kayo Pingai, pendiri Kesultanan Jambi.
3. Thipinobasti, emporium (tempat perdagangan) → Suakkandis
Suakkandis, yang sebelumnya dikenal sebagai Muarakumpeh, adalah sebuah desa di tepi persimpangan Sungai Batanghari dan anak sungainya, sungai Kumpeh. Suakkandis diduga merupakan pelabuhan perdagangan kuno dimana saat ini sebagian besar penduduknya adalah para nelayan. Belanda menggunakannya sebagai pos perdagangan untuk mengendalikan logistik ke Muarasabak di masa penjajahan.
4. Sobani, fluvius (sungai) → Sungai Jambi Kecil, Muarojambi
Terdapat sebuah tempat di tepi Sungai Batanghari di dekat kota Jambi bernama Muarojambi, yang berarti muara Sungai Jambi. Sebuah sungai bernama Sungai Jambi Kecil disini. Muarojambi terkenal dengan kompleks percandian Budha yang luas, yang konon digunakan sebagai pusat pembelajaran agama Budha yang disebutkan dalam naskah-naskah kuno.
5. Pagrasa, tempat → Lubukrusa
Lubukrusa adalah sebuah desa kecil di tepi Sungai Batanghari di sebelah barat kota Jambi. Terdapat Sungai Danaubangko di seberangnya sehingga rawan pembajakan.
6. Samarade, tempat → Muaratembesi
Muaratembesi adalah sebuah kecamatan di tepi persimpangan Sungai Batanghari dan Sungai Tembesi sehingga rawan pembajakan. Muaratembesi diduga merupakan pusat Kerajaan Malayu (Kerajaan Malayu Kuno) dari abad ke-6 sampai abad ke-7. Disini terdapat sebuah reruntuhan benteng yang dibangun oleh Belanda.
Tanjungemas 3a
Gambar 4 – Tempat-tempat di wilayah rawan pembajakan. Inset adalah plot tempat-tempat yang diberikan oleh Ptolomeus menggunakan sistem koordinatnya. Angka-angka adalah terkait dengan penjelasannya dalam artikel ini.
Pengetahuan orang-orang Yunani tentang wilayah-wilayah di timur bertambah setelah penaklukan Alexander Agung, namun referensi khusus tentang tempat-tempat di Asia Tenggara tidak diketahui sampai setelah bangkitnya Kekaisaran Romawi. Ahli geografi Yunani Eratosthenes (ca 276 – 195/194 SM) dan ahli geografi Romawi Pomponius Mela (43 M) telah menulis tentang Chryse Insula (“Pulau Emas”). Filsuf Romawi Pliny (23 – 79 M) dalam Sejarah Alamiah menyebut Chryse sebagai tanjung maupun pulau. Periplus Laut Eritrea (antara abad ke-1 dan ke-3 Masehi) mengacu pada sebuah pulau Chryse, yang terletak di timur jauh yang dihuni dan terbentang dibawah matahari. Dionysius Periegetes (sekitar akhir abad ke-3) menyebutkan bahwa pulau Chryse terletak dimana matahari terbit. Avienus (abad ke-4 Masehi) merujuk pada Insula Aurea (“Pulau Emas”) yang terletak dimana fajar muncul di laut Scythia.
Saat ini orang menganggap bahwa Pulau Chryse atau Aurea adalah Pulau Sumatera dan menyamakannya dengan Suwarnabumi (“Tanah Emas”) dan Suwarnadwipa (“Pulau Emas”), baik termasuk atau tidak termasuk Semenanjung Malaya. Banyak sumber kuno seperti Mahawamsa (antara tahun 543 SM dan 304 M), beberapa cerita tentang kisah Jataka (sekitar abad ke-4 SM) dan Milinda Panha (antara 100 SM dan 200 M) menyebutkan tentang Suwarnabumi. Sebuah prasasti yang ditemukan di Padangroco (1286 M), menyatakan bahwa patung Budha Amogapasa Lokeswara telah dibawa ke Dharmasraya (Kerajaan Malayu Baru) di sebelah hulu Sungai Batanghari, yang diangkut dari Bumijawa (Jawa) ke Suwarnabumi (Sumatera), dan didirikan dengan perintah dari penguasa Jawa Kertanegara. Prasasti tersebut dengan jelas mengidentifikasi Suwarnabumi sebagai daerah Tanjungemas, atau Aurea Chersonesus oleh Ptolomeus, yang terletak di Sumatera. Sebuah babad Majapahit Nagarakretagama (1336 M) menyebutkan Suwarnabumi yang merujuk ke Sumatera.
Sebuah naskah India Samaraiccakaha (abad ke-8 Masehi) menggambarkan perjalanan laut ke Suwarnadwipa. Hal ini menunjuk kearah bagian barat Asia Tenggara. Seorang pemimpin dan sarjana agama Budha Bengali Atisha, ilmuwan Budha Brahmana India dan seorang profesor Nalanda Dharmapala, dan seorang pemeluk Budha di India Selatan Vajrabodhi telah mengunjungi Suwarnadwipa yang merujuk pada pusat pembelajaran agama Budha di Sumatera. Seorang filsuf Budha India Dharmakirti yang berpengaruh dan bekerja di Nalanda, yang juga seorang pangeran Sriwijaya dari Dinasti Sailendra, lahir sekitar pergantian abad ke-7 di Suwarnadwipa. Semua ini dengan jelas mengidentifikasi Suwarnadwipa sebagai Sumatera.
Sebuah bagian dapat dikutip dari Yosefus dalam Zaman Purbakala Orang-orang Yahudi (93/94 M) yang menulis tentang nahkoda-nahkoda yang diserahkan kepada Raja Sulaiman oleh Hiram dari Tirus. Raja Sulaiman memberikan perintahnya agar mereka harus berangkat bersama dengan awaknya ke negeri yang sebelumnya bernama Ophir, tapi kemudian menjadi Aurea Chersonesus, untuk memperoleh emas. Dari sini ia telah membuat pernyataan yang jelas, bahwa Ophir dan Aurea Chersonesus adalah sama. Peta-peta yang dibuat antara abad ke-16 sampai abad ke-17 menyebutkan Gunung Ophir, sekarang adalah Gunung Talamau, yang terletak sekitar 100 kilometer barat daya Tanjungemas. Ini adalah bukti lain bahwa Aurea Chersonesus dan Ophir adalah Tanjungemas.
Sementara bukti tekstual mungkin ambigu, ada banyak bukti fisik yang menunjukkan bahwa Sumatera adalah lokasi industri pertambangan emas yang berkembang di masa pra-sejarah. Ketika penjelajah dan pedagang Zaman Baru Eropa datang ke pulau itu, mereka menemukan sisa-sisa penambangan emas pada endapan sungai dan bawah tanah. Meluasnya kegiatan penambangan ini menunjukkan adanya angkatan kerja yang sangat besar dan teratur. Beberapa situs yang lebih besar terdapat di Lebongdonok di Bengkulu, dimana batu gerinda besar dan koin emas klasik ditemukan, penggalian bawah tanah di endapan sungai kuno yang tertutup oleh endapan vulkanik di Jambi, dan Salido di Sumatera Barat. Terdapat juga bukti arkeologi yang menunjukkan bahwa telah ada peleburan dan kerajinan emas di Kotacina yang terletak 6 kilometer barat daya Belawan di timur laut Sumatera, yang merupakan pusat perdagangan utama antara abad ke-12 dan ke-14. Kekayaan dan ketenaran Sriwijaya adalah terutama disebabkan oleh cadangan emas yang ditemukan di dalam wilayah kerajaannya. Pada abad ke-14, seorang menteri senior Majapahit Adityawarman mendirikan Kerajaan Malayapura yang berpusat di dekat Tanjungemas dan memimpin wilayah Sumatera bagian tengah, yang kemungkinan untuk mengendalikan perdagangan emas di wilayah tersebut.
Sebagai kesimpulan, kita dapat mengasumsikan bahwa Aurea Chersonesus, Chryse Insula, Aurea Insula, Suwarnabumi, Suwarnadwipa dan Ophir merujuk ke pulau yang sama, yaitu Sumatera, dan khususnya Tanjungemas adalah yang paling dikenal di masa pra-sejarah.
***
Hak cipta © 2017, Dhani Irwanto
Berdasarkan naskah asli Aurea Chersonesus is in Sumatera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar