Penelitian oleh Dhani Irwanto, 9 Oktober 2025
Abstrak
Studi ini mengkuantifikasi laju dan besarnya penggenangan benua di wilayah Sundalandia, subbenua yang kini terendam yang menghubungkan daratan Asia Tenggara dengan pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan paparannya yang berdekatan. Menggunakan grid batimetri GEBCO 2025 yang terintegrasi dengan kurva Muka Air Laut Relatif (RSL) yang sebelumnya dikembangkan untuk Indo-Pacific Warm Pool, perubahan temporal pada luas daratan yang terpapar direkonstruksi dari 22,5 juta tahun yang lalu (Maksimum Glasial Terakhir) hingga saat ini. Perhitungan menunjukkan total kehilangan lahan sekitar 2,53 juta km², dengan laju penggenangan rata-rata sekitar 112 km² tahun⁻¹ dan laju puncak melebihi 1.260 km² tahun⁻¹ selama pulsa air lelehan utama antara 16–11 juta tahun yang lalu. Pola penggenangan bersifat heterogen secara spasial: transgresi bertahap di Paparan Sumatra bagian barat bertolak belakang dengan penggenangan mendadak di sepanjang koridor Laut Jawa–Selat Karimata–Teluk Thailand–Laut Cina Selatan, di mana cekungan dan ambang dangkal mengendalikan penggenangan cepat. Hasil ini mendefinisikan estimasi pertama beresolusi tinggi dan berkelanjutan waktu dari sejarah transgresi deglasial Sundalandia, yang menyediakan dasar kuantitatif untuk menafsirkan dinamika permukaan laut masa lalu, transisi ekologi, dan jalur penyebaran manusia di wilayah maritim Asia Tenggara.
Kata kunci: Sundalandia, deglasiasi, kenaikan muka air laut, laju kehilangan daratan, penggenangan landas kontinen, Indo-Pacific Warm Pool, transgresi Holosen, meltwater pulse, paleogeografi, migrasi manusia.
Kehilangan lahan pada 15,0, 11,6, 8,0 dan 6,0 ribu tahun lalu
1. Pendahuluan
Pada Zaman Es Maksimum Terakhir (LGM, ~22–21 ribu tahun yang lalu), permukaan laut berada lebih dari 120 m di bawah permukaan laut saat ini, memperlihatkan paparan benua yang luas—Paparan Sunda—yang menghubungkan Indochina dengan pulau-pulau di Indonesia bagian barat. Anak benua ini membentuk daratan tropis yang berkesinambungan, yang menampung hutan hujan dataran rendah, jaringan sungai, dan dataran pantai yang menopang megafauna Pleistosen dan populasi manusia purba.
Memahami tempo dan besarnya penggenangan di Sundalandia sangat penting untuk merekonstruksi lingkungan paleo dan koridor migrasi yang kemudian terendam di bawah Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Studi-studi sebelumnya telah menggambarkan pola kualitatif kenaikan muka air laut, tetapi hanya sedikit yang mencoba estimasi kehilangan luasan lahan secara kuantitatif dan terurai waktu menggunakan dataset batimetri yang konsisten. Studi ini mengatasi kesenjangan tersebut dengan menghitung pengurangan progresif luasan Sundalandia yang terekspos dan laju penggenangan yang sesuai dari 22,5 ribu tahun lalu hingga saat ini.
2. Data dan Metode
2.1 Sumber Data
- Batimetri: Kisi GEBCO 2025 global 15 detik busur (referensi WGS 84).
- Data muka air laut: Kurva Muka Air Laut Relatif yang Disempurnakan untuk Sundalandia (Irwanto, 2025), diselaraskan dengan rekonstruksi global (Lambeck et al., 2014; Siddall et al., 2003).
- Luas spasial: Wilayah Sundalandia dibatasi ke utara oleh 19.9378° LU, meliputi Paparan Sunda, Laut Jawa, dan tepian Laut Cina Selatan.
2.2 Prosedur Analisis
- Luas daratan maksimum (22,5 ka BP) dan minimum (0 ka BP) dihasilkan dari grid GEBCO 2025.
- Posisi garis pantai antara diinterpolasi sepanjang kurva RSL, menghasilkan serangkaian tegakan permukaan laut dan estimasi luas paparan yang sesuai. Pulau-pulau dengan luas kurang dari 500 km² diabaikan.
- Laju penggenangan (R) diperoleh dengan rumus: R = ( A t – Δt – A t )/Δt, dimana A adalah luas lahan (km²) dan t adalah waktu (thn BP).
- Hasilnya dikompilasi menjadi rangkaian waktu CSV untuk visualisasi dan analisis statistik.
2.3 Keterbatasan
Proses geomorfik dan dinamis seperti sedimentasi, pengikisan, pelarutan batu kapur, pergerakan tektonik, progradasi delta, pergeseran litoral, meandering, dan perubahan rezim sungai tidak diikutsertakan karena data regional yang jarang dan tidak konsisten. Kurva penggenangan yang dihasilkan dengan demikian merepresentasikan transgresi hidrostatik murni—sebuah pendekatan orde pertama dari penurunan muka air tanah yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut semata.
3. Hasil
3.1 Total Kehilangan Lahan
Dari 22,5 ka BP hingga saat ini, luas wilayah Sundalandia menurun dari ≈5,38 juta km² menjadi ≈2,85 juta km², menghasilkan kehilangan bersih sebesar ≈2,53 juta km² (≈47% dari daratan asli).
3.2 Tingkat Penggenangan
Rata-rata laju penggenangan selama periode deglasial penuh (22,5–0 ka BP) adalah sekitar 1,12 × 10⁵ km² kyr⁻¹, dengan dua percepatan berbeda yang terkait dengan denyut air lelehan global.
Pemeriksaan terfokus pada fase transgresif utama (16,65–6,5 ribu tahun yang lalu) menunjukkan laju rata-rata yang jauh lebih tinggi, yaitu ≈ 2,41 × 10⁵ km² kyr⁻¹, yang menunjukkan adanya penggenangan dataran rendah yang berkelanjutan dan meluas secara regional. Dalam interval ini, subfase ekstrem (13,15–8,9 ribu tahun yang lalu) mempertahankan laju penggenangan di atas 0,25 × 10⁶ km² kyr⁻¹, dengan rata-rata ≈ 3,97 × 10⁵ km² kyr⁻¹, yang sesuai dengan kulminasi Pulsa Air Lelehan 1A dan 1B.
Lonjakan tajam pada 12,05 ribu tahun lalu (≈ 1,26 × 10⁶ km² kyr⁻¹) menandai penggenanganmendadak sistem danau purba besar di Teluk Thailand, yang menghasilkan salah satu peristiwa transgresi landas kontinen tercepat yang tercatat dalam urutan tersebut. Setelah itu, laju penggenangan secara bertahap menurun menuju stabilisasi Holosen setelah ~6 ribu tahun lalu, ketika kenaikan muka air laut sebagian besar berhenti dan konfigurasi garis pantai modern terbentuk.
Gambar 1. Luas daratan Sundalandia terhadap waktu (22,5–0 ka BP)
Gambar 2. Tingkat penggenangan vs. waktu (22,5–0 ka BP)
Gambar 3. Kehilangan lahan pada 15,0, 11,6, 8,0 dan 6,0 ribu tahun lalu
4. Diskusi
4.1 Dinamika Permukaan Laut Deglasial
Bentuk kurva penggenangan Sundalandia mencerminkan rekonstruksi muka air laut deglasial global, dengan interval kenaikan cepat yang berbeda terkait dengan disintegrasi lapisan es Laurentide dan Antartika. Lonjakan Fase I (18–14 ribu tahun yang lalu) sesuai dengan Pulsa Air Lelehan 1A (~14,6 ribu tahun yang lalu), ketika laju mencapai hampir 1 cm tahun⁻¹ secara global dan >1 × 10⁶ km² kyr⁻¹ secara regional. Fase II sejalan dengan terminasi Dryas Muda dan stabilisasi awal Holosen (~11–8 ribu tahun yang lalu). Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara pemaksaan eustatik global dan paparan landas kontinen regional di seluruh Asia Tenggara.
4.2 Implikasi Lingkungan dan Biogeografis
Penyusutan Sundalandia memecah ekosistem dataran rendah yang berkelanjutan menjadi inti-inti pulau yang muncul, memicu divergensi genetik di antara flora dan fauna serta mendorong pola biogeografi pulau yang diamati saat ini. Jaringan sungai purba utama (misalnya, sungai Siam, Malaka, Sunda Utara, dan Sunda Timur) secara bertahap tenggelam, membentuk kembali jalur transportasi sedimen dan nutrisi yang menopang lahan basah pesisir awal.
4.3 Implikasi Budaya dan Arkeologi
Bagi populasi manusia, penyusutan garis pantai yang cepat kemungkinan besar telah menekan zona layak huni dan memaksa migrasi adaptif menuju batas pantai yang baru. Episode transgresif ini secara temporal berkaitan dengan denyut inovasi teknologi dan budaya yang tercatat di situs-situs litik dan timbunan kerang regional. Waktunya juga selaras dengan koridor penyebaran populasi Austroasiatik dan proto-Austronesia yang dihipotesiskan, yang memperkuat peran penggenangan Paparan Sunda dalam membentuk prasejarah maritim Asia Tenggara.
4.4 Diferensiasi Regional
Paparan Sunda Barat (Paparan Sumatra) mengalami transgresi yang relatif bertahap dan berkelanjutan karena morfologinya yang luas dan landai. Sebaliknya, koridor Laut Jawa–Selat Karimata–Teluk Thailand–Laut Cina Selatan mengalami penggenangan yang lebih mendadak, dipengaruhi oleh penggenangan depresi struktural dan ambang batas batimetri yang menghubungkan serangkaian cekungan dangkal. Transisi mendadak ini menghasilkan peristiwa tenggelam bertahap dan migrasi garis pantai lateral yang cepat, terutama di mana ambang batas yang sempit mengendalikan pertukaran hidrodinamik antar cekungan.
Penurunan muka air tanah lokal di sekitar Kalimantan dan Selat Makassar semakin memodulasi waktu dan pola penurunan muka air tanah, sehingga menciptakan heterogenitas spasial dalam penggenangan air landas kontinen di seluruh wilayah Sundalandia yang lebih luas.
5. Kesimpulan
Paparan Sunda kehilangan sekitar 2,5 juta km² daratan sejak Maksimum Glasial Terakhir, dengan dua denyut utama penurunan cepat yang terkait dengan peristiwa air lelehan global. Laju transgresi rata-rata ≈ 112 km² tahun⁻¹ menggarisbawahi sifat dinamis kenaikan muka air laut pasca-glasial di zona ekuator. Namun, pola transgresi bervariasi secara regional—bertahap di Paparan Sumatra bagian barat tetapi tiba-tiba di sepanjang koridor Laut Jawa–Selat Karimata–Teluk Thailand–Laut Cina Selatan, yang mencerminkan interaksi antara ambang batas batimetri dan cekungan struktural. Catatan penggenangan berkelanjutan ini memberikan fondasi geospasial yang penting untuk mengevaluasi pergeseran lingkungan, adaptasi budaya, dan geomorfologi landas kontinen sepanjang Holosen.
Referensi
- GEBCO Compilation Group. (2025). GEBCO 2025 Grid — A continuous bathymetric dataset.
- Hanebuth, T. J. J., Stattegger, K., & Grootes, P. M. (2011). Rapid flooding of the Sunda Shelf: A late-glacial sea-level record. Science, 288, 1033–1035.
- Lambeck, K., Rouby, H., Purcell, A., Sun, Y., & Sambridge, M. (2014). Sea level and global ice volumes from the Last Glacial Maximum to the Holocene. PNAS, 111(43), 15296–15303.
- Siddall, M., Rohling, E. J., Almogi-Labin, A., et al. (2003). Sea-level fluctuations during the last glacial cycle. Nature, 423, 853–858.
- Irwanto, D. (2025). A Refined Relative Sea-Level Curve for Sundaland.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar